Penjualan Pakaian Bekas Marak

Dewan Nilai Pengawasan Pemerintah Lemah

Dewan Nilai Pengawasan Pemerintah Lemah

EKANBARU (hr)- Maraknya penjualan pakaian bekas impor di Riau dinilai akibat kelalaian pemerintah selama ini. Pasalnya, selama ini sudah ada aturan larang impor pakaian bekas, namun nyatanya, pedagang pakaian bekas masih menjamur di Riau.Hal ini dikatakan Ketua Komisi B DPRD Riau, Marwan Yohanis, Jumat (6/2). Dikatakannya,  larangan impor pakaian bekas itu sudah lama, namun sekarang dimunculkan kembali karena indikasi mengandung virus dan bakteri. Menurutnya, penindakan dan pengawasan terhadap pakaian bekas impor ini kurang dilakukan pemerintah.
"Untuk itu, kita minta Disperindag selaku mitra kerja kita berkoordinasi dengan pihak berwenang, seperti Bea Cukai untuk mengatasi masalah ini," ungkap Marwan.
Politisi Asal Kuansing ini menyebutkan, penindakan penjualan pakaian bekas tinggal dari kemauan pemerintah melakukan tindakan dan penegakan aturan. "Kita minta pemerintah sekarang benar-benar serius. Ini jelas merugikan negara, devisa tidak masuk malah penyakit yang datang.
Lebih lanjut, Marwan menjelaskan, dirinya sudah turun langsung ke pedagang pakaian bekas dan wawancara langsung dengan beberapa pedagang, "Mereka siap kalau itu sudah dilarang. Namun, mereka mempertanyakan nasib pakaian bekas milik mereka," terangnya.
Disebutkannya, pemerintah juga harus mencarikan solusi jika itu benar-benar dilarang, aturan itu harus ditegakan dan jika ada yang melanggar maka harus ditindak dan diberikan sangsi.
"Bagaimana caranya, apakah didirikan koperasi, mereka diberi permodalan. Sebab, paling minim mereka dapat Rp400 ribu per hari," terangnya.
Sementara itu, Ketua DPRD Riau, Suparman, mengatakan, kebijakan Pemerintah Pusat tentang pelarangan penggunaan pakaian bekas harusnya melihat aspek budaya di masyarakat. Meskipun, ada aturan dalam negara hukum terkait larangan impor pakaian bekas tersebut.
"Karena budaya tersebut kebiasaan masyarakat sehari-hari. Tapi kebijakan Pemerintah Pusat saya tidak melihat aspek budaya kebiasaan masyarakatnya. Kalau dibolehkan ada pengecualian dalam aspek legalitas hukum kenapa tidak, karena itu menjadi kebiasaan dan budaya masyarakat kita,” pungkas Suparman. **