Kejagung Setujui Satu Pengajuan Restorative Justice dari Kejati Riau

Kejagung Setujui Satu Pengajuan Restorative Justice dari Kejati Riau

RIAUMANDIRI.CO - Kejaksaan Tinggi Riau melaksanakan Video Conference Ekspose Pengajuan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada hari Selasa tanggal 15 November 2022, sekira pukul 08.30 WIB, dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI Dr. Fadil Zumhana, SH., MH, Direktur OHARDA Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI Agnes Triani, SH., MH dan Koordinator pada Jampidum Kejaksaan RI.

Dalam Ekspose Pengajuan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dihadiri oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Dr. Supardi, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas, SH., MH, Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Riau Martinus, SH, Koordinator bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Riau Sunandar Pramono, SH., MH dan Kasi OHARDA pada Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Riau Faiz Ahmed Illovi, SH. MH.

Tersangka yang diajukan penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif :


Kejaksaan Negeri Siak

Atas nama tersangka Irawadi alias Adi Bin Silis.

Pasal 44 ayat (1) Jo pasal 5 huruf a Undang - Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Subsidiair : Pasal 44 ayat (4) UU 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.

Kasus Posisi :

Bahwa tersangka dan korban Helma Masri merupakan pasangan suami istri yang telah menikah delapan bulan yang lalu, pada hari Jumat tanggal 7 Oktober 2022 sekira pukul 06.00 WIB, tersangka masih dalam keadaan tidur dan terdakwa terbangun mendengar teriakan korban memanggil tersangka dengan mengatakan “tolong hidupin air bang” dijawab tersangka “gak mau” korban mengatakan “kalau sama anak kamu langsung mau tapi kalau sama aku tidak”, mendengar hal itu tersangka emosi dan menghampiri korban dan memukulnya dengan cara meninju tangan korban sambil berjalan keluar rumah, karena sikap tersangka tersebut korban mengambil benda berupa gula aren dan membuangkannya ke arah keluar rumah, melihat hal itu tersangka mengatakan “kenapa kamu buang gula itu kan dari orangtua saya” korban menjawab “kan bisa di ambil kembali”, mendengar perkataan itu membuat tersangka makin emosi dan menghampiri korban yang sedang membersihkan gula aren dilantai menggunakan alat pel, tersangka langsung mematahkan kayu pel menggunakan kedua tangannya sambil memukul, meninju dan menendang tubuh korban diantaranya terkena rahang, tangan dan perut bagian ulu hati korban, setelah melakukan perbuatan tersebut tersangka jalan menuju keluar rumah dan korban mengatakan ingin keluar pergi dari rumah untuk kembali ke orangtuanya, mendengar hal itu tersangka langsung berbalik arah kembali kedalam rumah sambil meminta kepada korban untuk mengembalikan uang miliknya sejumlah Rp.1.200.000 dikarenakan korban tidak berkenan, tersangka langsung menarik tangan korban hingga terlempar ke atas kasur kamar, dengan posisi korban terlentang tersangka menimpanya dan langsung mencekik leher korban, dikarenakan kesakitan korban berteriak dan mengundang masyarakat hingga melerainya.

Bahwa berdasarkan hasil Visum Et Repertum, akibat perbuatan tersangka korban mengalami luka lecet, lebam dan memar pada bagian pipi kanan, pergelangan tangan kanan dan kiri, punggung tangan kanan dan lengan kanan bagian bawah, diduga akibat kekerasan benda tumpul. 

Bahwa pengajuan 1 perkara untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan Restoratif Justice disetujui oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI dengan pertimbangan telah memenuhi Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor : 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran Jampidum Nomor : 01/E/EJP/02/2022 Tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum.

Alasan pemberian penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif ini diberikan yaitu :

1. Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf kepada korban dan korban sudah memberikan maaf kepada tersangka;

2. Tersangka belum pernah dihukum;

3. Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;

4. Ancaman pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun;

5. Tersangka berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya;

6. Proses perdamaian dilakukan secara sukarela (tanpa syarat) dimana kedua belah pihak sudah saling memaafkan dan tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya dan korban tidak ingin perkaranya dilanjutkan ke persidangan;

7. Masyarakat merespon positif penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

Selanjutnya Kepala Kejaksaan Negeri Siak menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restoratif justice sebagai perwujudan kepastian hukum berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.



Tags Siak