“Saya Sudah tak Mau, Tapi Terus Dipaksa”

Selasa, 29 Maret 2016 - 08:15 WIB
Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi berbincang dengan Ap dan EP, dua remaja yang terlibat peredaran narkoba, di Mapolresta Pekanbaru.
PEKANBARU (riaumandiri.co)-Dua remaja warga Kota Pekanbaru, yakni Ep (15) dan AP (15), tampak tak kuasa menahan air mata, ketika dikunjungi Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi. Pertemuan itu terjadi di Mapolresta Pekanbaru, Senin (28/3) pagi. 
 
Seperti diketahui, sepak terjang kedua remaja itu sempat menjadi sorotan. Hal itu setelah keduanya diduga terlibat dalam jaringan pengedar sabu-sabu yang omzetnya mencapai miliaran rupiah. 
 
Saya Keduanya ikut diamankan bersama tersangka lain, dalam penggerebekan di Kampung Dalam, Senapelan, baru-baru ini. 
Yang mengejutkan, adalah peran kedua remaja itu dalam jaringan tersebut. Setiap hari, mereka diduga ikut mengedar sabu-sabu dengan gaji sebesar Rp500 ribu per hari, plus sabu-sabu untuk dikonsumsi sendiri. Akibat dari perbuatan itu, keduanya masih menjalani pemeriksaan di Mapolresta Pekanbaru.
 
Rupanya, keberadaan dua remaja itu mendapat perhatian serius dari Kak Seto. Sehingga pria yang asal Klaten yang dikenal ramah itu, menyempatkan diri bertatap muka dengan keduanya.
 
Di hadapan Kak Seto, kedua remaja itu tak kuasa menahan airmata. Keduanya juga mengaku menyesali perbuatan yang mereka lakukan."Saya sebenarnya sudah ketakutan Pak, karena sudah banyak yang ditangkap. Saya sudah bilang tak mau kerja gitu lagi (menjual sabu-sabu, red), tapi dipaksa terus," tutur EP di hadapan Kak Seto.
 
Ada beberapa pertanyaan yang dilontarkan pria berkacamata yang juga berprofesi sebagai psikolog anak tersebut. Di antaranya, seputar sekolah mereka, cita-cita, hingga uang tabungan yang mereka miliki. 
 
EP dan AP sempat mengakui kalau mereka digaji sebesar Rp500 ribu perhari, dengan tugas menjual sabu kepada si pemesan. "Uangnya saya buat belanja, sisanya ditabung dan bantu-bantu orangtua juga," sambung EP.
 
Dalam pertemuan itu juga terungkap, aksi EP dan AP dalam mengedar sabu-sabu, rupanya tidak diketahui orangtua masing-masing. Ketika ditanyakan hal itu oleh Kak Seto, keduanya langsung tertunduk. Selanjutnya, baik EP mau pun AP mengakui, selama ini orangtua mereka tidak tahu mengenai pekerjaan mereka sebagai pengedar sabu-sabu.
 
"Mereka tak tahu Pak, orangtua saya tahunya saya kerja jadi tukang parkir saja di sana," terang AP terbata-bata.Usai bertatap muka, Kak Seto pun menyampaikan rasa prihatinnya. Ia juga berjanji, Komnas Perlindungan Anak beserta pihak LPA Riau, akan mendampingi keduanya dalam menjalani masa hukumannya. 
 
Kak Seto juga menegaskan, kedua remaja itu harus tetap mendapatkan haknya untuk melanjutkan pendidikannya dan mengikuti ujian akhir sekolah, yang pelaksanaannya tinggal hitungan hari.
 
"Mereka berdua adalah korban. Kami pasti membantu dan tidak akan membiarkan mereka tanpa pendamping. Kami juga pasti upayakan agar nantinya mereka bisa mengikuti ujian akhir sekolah," ujarnya.
 
Tetap Jalan Sementara itu, Kasat Narkoba Polresta Pekanbaru, Kompol Iwan Lesmana Riza, menyatakan  proses hukum terhadap keduanya terus dilanjutkan. Saat ini, keduanya juga masih tahap pemeriksaan lanjutan.
 
"Proses hukumnya masih terus kita lanjutkan dan saat ini kita masih lakukan pemeriksaan terhadap keduanya. Kita masih butuh keterangan dari keduanya guna pengembangan penyelidikan," terangnya. 
 
Terkait kasus yang menjerat AP dan EP, Kak Seto mengatakan, hal itu terjadi akibat tidak terkontrolnya pergaulan anak di lingkungannya. Untuk menyiasati hal tersebut, orangtua harus mengubah pola pendekatan terhadap putra-putri mereka.
 
"Kecenderungan orangtua adalah memposisikan anak di komunitas terbawah. Diberi komando, perintah dan instruksi. Disuruh ini itu atas karena masih anak-anak. Sebetulnya hal tersebut kurang tepat dilakukan. Bisa membuat mereka tertekan," lontarnya.
 
Harusnya, seorang anak diposisikan sebagai sahabat. Dengan suasana ini maka psikis mereka akan nyaman terhadap orangtua, termasuk menceritakan pengalaman-pengalaman mereka sepanjang hari. "Imbasnya komunikasi akan terjalin dengan baik," tambahnya.
 
Namun kebanyakan, hubungan antara anak dan orangtua banyak renggang karena buruknya komunikasi. Walhasil, anak-anak mencari pelarian di lingkungannya sebagai ekspresi perasaan mereka. Itulah yang kemudian menggiring anak di bawah umur terjerumus berbagai kasus kejahatan.
 
Selain itu, lemahnya pemberdayaan di keluarga juga turut jadi faktor penyebab. Saat ini, banyak orangtua disibukkan pekerjaan, sehingga kontrol terhadap buah hati jadi berkurang. Ini membuat anak terjerumus kejahatan bahkan jadi korban kekerasan seksual.
 
"Maka itu sekarang kita sedang menggesa program Satgas Perlindungan Anak di setiap RT dan RW. Ini jadi prioritas kita di 2016. Kita sudah bentuk di Tangerang Selatan. Mudah-mudahan Riau menyusul, hingga anak dapat dikontrol dengan maksimal," tambahnya. (nom, grc)

Editor:

Terkini

Terpopuler