Hari HAM Sedunia 2025, Orang Muda Riau Serukan Penghentian Pembungkaman dan Kekerasan

Hari HAM Sedunia 2025, Orang Muda Riau Serukan Penghentian Pembungkaman dan Kekerasan

Riaumandiri.co Orang muda Riau memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia dan penutupan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) melalui aksi di Tugu Perjuangan, depan kediaman Gubernur Riau pada Kamis (11/12). peserta aksi mendesak negara segera menghentikan segala bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM, menjamin kepastian ruang hidup, serta mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi seluruh rakyat.   


Aksi yang bertajuk “16 HAKTP: Hentikan Kekerasan dan Pelanggaran HAM” ini diikuti oleh organisasi masyarakat sipil dan kelompok orang muda, antara lain WALHI Riau, Wanapalhi, Laskar Penggiat Eko Wisata (LPE) Riau, Rumah Sunting, Aksi Kamisan Pekanbaru, LPM Bahana Mahasiswa UNRI, Himpunan Mahasiswa Pendidikan Masyarakat UNRI, Selaras, dan orang muda lainnya. Dalam aksinya peserta menyampaikan aspirasi melalui orasi, teatrikal, poster, dan payung bertulisan “Pulihkan”.  



Kunni Masrohanti, Dewan Daerah WALHI Riau, melakukan peragaan teatrikal dengan mengenakan pakaian adat Melayu sambil mulutnya ditutup lakban hitam. Peragaan ini melambangkan upaya sistematis negara dan korporasi untuk membungkam suara rakyat, khususnya perempuan dan masyarakat adat. “Negara yang absen, korporasi yang rakus, dan budaya patriarki yang masih kuat telah melahirkan relasi kuasa timpang. Perempuan dan masyarakat adat terus dibungkam ketika mempertahankan ruang hidupnya,” tegas Kunni. 


Sri Depi Surya Azizah, Staf Kampanye WALHI Riau, menegaskan bahwa penghormatan HAM harus mencakup perlindungan atas tubuh, ruang hidup, dan lingkungan hidup yang sehat. “Di Riau, kerusakan ekologis adalah wajah lain dari kekerasan terhadap perempuan. Ketika hutan ditebang, gambut dibakar, dan tanah dirampas untuk perkebunan monokultur, yang paling terdampak adalah perempuan: kehilangan air bersih, pangan, ruang aman, hingga masa depan anak-anaknya. Namun ketika perempuan bersuara, mereka justru dihadiahi intimidasi, stigma, hingga kriminalisasi,” ujar Depi. 


Sabila Dwi Purnama, anggota Wanapalhi USTI, menegaskan bahwa budaya patriarki menjadi salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan keadilan gender saat ini. “Budaya patriarki tidak hanya membatasi ruang gerak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi juga merugikan laki-laki dengan mengekang ekspresi emosional dan peran sosialnya. Keadilan gender bukan sekadar isu perempuan, melainkan isu kemanusiaan sekaligus fondasi utama penegakan HAM. Karena itu, tidak akan pernah ada keadilan ekologis tanpa keadilan gender,” tegas Sabila. 


Dalam aksi ini, peserta juga menyatakan solidaritas kepada korban bencana ekologis di Sumatera melalui penggalangan dana bertuliskan “Pulihkan Sumatera”. Peserta aksi mengingatkan bahwa Riau saat ini sangat rentan terhadap banjir, longsor, dan kebakaran hutan-lahan. Berdasarkan analisis spasial WALHI Riau, hampir seluruh lokasi rawan banjir berada di empat Daerah Aliran Sungai (DAS) utama yang hutannya telah dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit dan HTI.



Berita Lainnya