Jika kita menganalisis berapa besaran riil cadangan devisa dari sektor haji akan diperoleh kesimpulan besarannya bergantung dua hal. Pertama, bergantung pada kebijaksanaan Arab Saudi mengenai kuota haji kepada Indonesia.
Pembagian jatah kuota haji dari Arab Saudi ini tidak selalu konstan, tapi terkait daya tampung yang ada. Daya tampung ini berkaitan dengan proyek perluasan area Masjidil Haram.
Pada 2016 proyek perluasan area Masjidil Haram diperkirakan rampung. Tahun ini, sebagaimana yang dinyatakan Kementerian Agama, kuota haji yang diterima Indonesia kembali normal, yaitu 211 ribu jamaah.
Kedua, terkait kebijakan Kementerian Agama mengenai haji, baik tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) maupun pembagian lebih lanjut atas kuota haji yang diberikan oleh Arab Saudi. Alokasi kuota dari Arab Saudi yang berjumlah 211 ribu itu, oleh Kementerian Agama diatur menjadi; 194 ribu untuk kuota jamaah haji reguler dan 17 ribu untuk kuota jamaah haji khusus.
Untuk skema haji reguler, besaran setoran awal BPIH ditentukan dalam bentuk rupiah dengan jumlah nominal Rp 25 juta per orang. Sedangkan, untuk skema haji khusus ditentukan dalam mata uang dolar AS dengan jumlah nominal 4.000 dolar AS per orang. Baik angka Rp 25 juta maupun 4.000 dolar AS ini hanya sebagai syarat mendapatkan jatah berangkat ke Tanah Suci.
Bagi pendaftar dengan skema haji reguler, tidak dengan sendirinya bisa berangkat tahun itu juga, tapi harus menunggu rata-rata lima hingga 10 tahun. Bahkan, di Tulungagung dan Kalimantan Barat daftar tunggunya 17 dan 20 tahun.
Adapun pendaftar melalui skema haji khusus atau populer dengan istilah haji plus, secara tertulis dapat berangkat tahun itu juga, tapi sebenarnya rata-rata baru berangkat satu hingga dua tahun ke depan. Pertanyaannya, berapakah dana yang diterima Kementerian Agama dari dua skema haji ini berdasarkan besaran setoran awal tanpa biaya pelunasan?
Sebagaimana disebutkan di atas, kuota jamaah haji Indonesia 211 ribu orang, terdiri atas 194 ribu kuota jamaah haji reguler dan 17 ribu kuota jamaah haji khusus. Dana yang diterima dari skema haji reguler per tahun, yaitu 194 ribu dikali Rp 25 juta maka hasilnya Rp 4,85 triliun.
Sedangkan, dana yang diterima dari skema haji khusus, yaitu 17 ribu dikali 4.000 dolar AS maka jumlahnya 68 juta dolar AS. Jika kurs rupiah terhadap dolar Rp 14 ribu maka 68 juta dolar AS setara dengan Rp 952 miliar.
Jika dijumlahkan, Rp 4,85 triliun dari skema haji reguler ditambah Rp 952 miliar dari skema haji khusus, diperoleh penerimaan Rp 5,802 triliun. Suatu angka yang besar sekali yang diterima secara tunai oleh Kementerian Agama dalam satu musim haji saja. Angka ini baru dihitung per tahunnya, belum keseluruhan dana yang terus mengalir dari para calon jamaah haji.
Pada 2014 Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama Anggito Abimanyu menyatakan, "Potensi orang yang mau haji per tahun sekitar 500 ribu orang, dikali setoran awal pendaftaran haji, akan ada outstanding dana total tambahan Rp 10 triliun minimal tiap tahun." Ia memperkirakan, pada 2018 dana outstanding haji bisa terkumpul hingga Rp 100 triliun. Yang harus diingat, angka tersebut baru dihitung dari sektor haji, belum dari umrah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No 23 Tahun 2011, pengembangan BPIH dilakukan dengan cara: (1) Membeli SBSN; (2) membeli SUN; dan/atau menempatkan dalam bentuk deposito berjangka. PMA No 23 Tahun 2011 ini dilandaskan pada UU No 13 Tahun 2008 pasal 21 ayat 3 dengan bunyi, "Ketentuan lanjut mengenai pengelolaan BPIH diatur dengan Peraturan Menteri." Penempatan dana haji dalam SBSN itu berwujud Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI).
Sampai 28 Februari 2015, Ditjen Pengelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama mengelola Rp 70,02 triliun dana BPIH, terdiri atas kas tunai Rp 267,95 juta, rekening giro Rp 1,7 triliun, deposito Rp 36,17 triliun, penempatan dalam SBSN Rp 31,75 triliun, dan penempatan SBSN optimalisasi Rp 400 miliar. Besaran penerimaan riil Kementerian Agama sebagai investor atas dana haji hanya mereka yang tahu.
Jamaah haji sebagai pemilik sah dana tersebut tidak mengetahui persis detailnya. Sampai di situ, sebenarnya ditinjau dari syariah complience, tentulah bermasalah.
Bila dibandingkan dengan Arab Saudi, perspektif Indonesia terhadap potensi ekonomi haji tertinggal jauh. Arab Saudi telah lama menempatkan sektor haji sebagai sumber pengembangan ekonomi negara, selain sektor minyak.
Dengan perspektif ini, banyak subsektor ekonomi yang didongkrak, mulai dari sektor properti, transportasi, produk buah dan makanan lokal, jasa, peternakan, dan lainnya. Sebagaimana diberitakan harian al-Yaum, potensi ekonomi dari ibadah haji dan umrah bagi Saudi pada 2020 mencapai 47 miliar riyal.
Pada musim haji 2014 Arab Saudi meraup 8,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 98,8 triliun. Indonesia, menurut AM Fachir, wakil menlu RI, menyumbang 16 hingga 18 persen atau sekitar 3 miliar dolar AS bagi sektor pariwisata Arab Saudi yang didominasi kegiatan haji dan umrah.
Indonesia mestinya dapat mencontoh Arab Saudi. Potensi ekonomi yang digerakkan oleh 211 ribu atau 500 ribu potensial calon jamaah haji per tahun itu harusnya dapat dikelola sedemikian rupa bagi pengembangan ekonomi di berbagai sektor secara terintegrasi.
Harap diingat, 500 ribu orang merupakan konsumen potensial yang akan membeli langsung setiap produk dan jasa yang memang diperlukan untuk proses haji dan umrah mereka. Seperti yang terungkap dalam riset harian al-Yaum, rata-rata biaya setiap jamaah haji selama masih berada di negaranya sebelum tiba di Arab Saudi mencapai 36 persen. Biaya yang dibelanjakan selama di Saudi rata-rata 63 persen dari total biaya haji keseluruhan.
Guna mencapai manfaat yang lebih besar dari potensi ekonomi haji adalah mengelolanya lebih komprehensif dan teratur di masa depan. Tidak saja dengan mengelola keuangan haji semata, tapi juga mengelola dan mengembangkan sektor terkait kebutuhan haji secara lebih terintegrasi.
Dengan demikian, akan ada ribuan pengusaha yang terdongkrak, baik pengusaha travel, konveksi, jasa layanan pengurusan dokumen, jasa pelatihan ibadah umrah dan haji, penukaran uang, transportasi, makanan dan minuman, ekspedisi, IT, percetakan, dan seterusnya. Jutaan tenaga kerja pun terserap asal tersedia regulasi dari pemerintah dengan baik dan gejala monopolistik direduksi sedemikian rupa.(rol)
Chairman of Cisfed
Oleh: Farouk Abdullah Alwyni