Sidang Kasus SK Menhut di PN Siak, PH Terdakwa: di Mana Palsunya?

Sidang Kasus SK Menhut di PN Siak, PH Terdakwa: di Mana Palsunya?

RIAUMANDIRI.CO, SIAK - Penasehat Hukum (PH) terdakwa eks Kadishutbun Siak Teten Effendi dan Direktur PT Duta Swakarya Indah (DSI) Suratno Konadi, Yusril Sabri, SH, MH membantah tuntutan JPU dalam nota pembelaannya (pledoi), Selasa (2/7/2019) dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Siak. 

Dua pekan lalu, JPU menuntut kedua terdakwa 2,5 tahun penjara dengan alasan terbukti dan meyakinkan melakukan pemalsuan sebagaimana dakwaan terhadap pasal 263 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke satu KUHP. 

Yusril Sabri dkk menyatakan dalam pledoinya, kedua terdakwa tidak terbukti menggunakan surat palsu, dan minta dibebaskan dari segala tuntutan hukum.


PH terdakwa Yusril Sabri menanyakan di mana palsunya? Sebab, semua saksi yang diperlihatkan SK pelepasan kawasan di muka persidangan menyatakan tidak tahu palsunya di mana.

"Suratnya asli, tanda tangan asli kemudian dari empat lembar bukti yang diajukan semuanya saksi saksi dan bahkan ahli mengatakan bahwa surat SK pelepasan kawasan hutan Nomor 17 tanggal 6 Januari 1998 tidak satupun yang menyatakan palsu atau mengetahui palsu," tegas Yusril.

Ia melanjutkan, kalau dari sisi tempus atau waktu kejadian Yusril menyebut JPU tidak nyambung. Sebab, JPU dalam tuntutannya berpijak kepada Putusan PK Nomor 198 tahun 2017.

"Bagaimana terdakwa tahu akan ada putusan pengadilan pada tahun 2017, padahal terdakwa dituntut melakukan peristiwa menggunakan surat palsu untuk menerbitkan izin lokasi (inlok) pada tahun 2006 dan izin usaha (IUP) perkebunan pada tahun 2009," kata dia lagi.

Justru menurutnya, seharusnya JPU berpedoman kepada  putusan PK Nomor 158 tahun 2016 yaitu perkara perdata antara PT DSI dengan PT Karya Dayun yang relevan dengan perkara ini. Sebab menyatakan PT. DSI sah sebagai pemegang izin pelepasan kawasan hutan berdasarkan SK Menhut Nomor 17 tanggal 6 Januari 1998.

Putusan perkara tersebut, kata dia, yang relevan dijadikan pijakan oleh JPU. Karena meski tidak punya kaitan langsung dengan substansi pokok perkara (obiter dicta) tetapi kasusnya ada hubungan tertentu dengan perkara ini. 

"Lagi pula JPU mempersoalkan tentang SK pelepasan kawasan yang sudah mati dengan sendirinya karena tidak mengurus HGU sebagaimana disebutkan dalam dictum kesembilan SK tersebut," tambah dia.

Padahal dari fakta persidangan diketahui melalui saksi ahli Ferry Amsari dan Husnul Abadi sepakat kalau suatu keadaan yang disebut dengan keadaan bahaya dimana pada 1998 terjadi pemindahan kekuasaan dari Suharto kepada Habibi. Saat itu negara dalam keadaan darurat.

"Bagaimana caranya terdakwa mengurus surat dan lain-lain, di mana negara saja dalam keadaan kacau," kata dia.

Berdasarkan apa yang diuraikannya tersebut, ia menyatakan para terdakwa tidak terbukti memenuhi unsur- unsur yang dituntut. Yakni,  melakukan  menggunakan surat palsu sebagaimana didakwakan kedua menurut ketentuan pasal 263 ayat 2 jo pasal 55 KUHpidana. Terutama unsur dengan sengaja tidak pernah dibuktikan atau JPU tidak mampu membuktikan unsur dengan sengaja tersebut.Padahal diketahui dari berbagai teori pembuktian unsur sengaja tersebut harus dibuktikan dimana terdakwa harus mengetahui dan menyadari untuk melakukan perbuatan yang didakwakan tersebut. 

"Bagaimana caranya terdakwa tahu, surat tersebut sudah tidak berlaku lagi padahal JPU baru menyatakan surat itu palsu berdasarkan putusan PK Nomor 198 tahun 2017, hal yang tidak masuk akal," kata dia.

Sidang tersebut dibuka oleh Hakim Ketua Roza Elafrina dan didampingi hakim anggota Fajar Riscawati dan Selo Tantular. Sidang tersebut dilanjutkan 9 Juli 2019 dengan agenda mendengarkan jawaban JPU atas pledoi PH terdakwa.

Reporter: Darlis Sinatra



Tags Siak