Polemik Pembebasan Lahan Jalan Tol di Siak, SK Tahun 57 Jadi Penghambat

Polemik Pembebasan Lahan Jalan Tol di Siak, SK Tahun 57 Jadi Penghambat

RIAUMANDIRI.CO, SIAK - Persoalan ganti rugi lahan untuk pembangunan jalan tol, khususnya di wilayah Kecamatan Minas dan Kandis, Kabupaten Siak sampai hari ini masih menjadi polemik. Banyak warga yang tidak terima terhadap nilai ganti rugi yang diberikan, jalur hukum telah ditempuh hingga proses pengadilan, namun hal itu justru membuat runyam. 

Ruwetnya masalah ini terungkap dalam hearing yang digelar DPRD Siak, Jumat (15/2/2019) di Gedung Panglima Gimbam. 

Hearing dipimpin oleh Wakil Ketua II DPRD Siak Hendrik Pangaribuan, didampingi Ketua Komisi II Toha Nasrudin bersama anggota DPRD Siak dapil Siak IV. 


Tampak hadir Asisten I Budi L Yuono, Kabag Pertanahan Tomi Lesmana, Camat Kandis Irwan Kurniawan, utusan BPN Riau dan Siak, utusan Chevron Rumbai, Pejabat Pembuat Komitmen dari unsur Kementerian PUPR, utusan Pengadilan Negri serta puluhan masyarakat Minas dan Kandis.

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari PUPR, Norman Simamora mengungkapkan, pihaknya selaku juru bayar mengaku kesulitan dalam merealisasikan ganti rugi ini, masyarakat tidak terima atas nilai yang ditetapkan. 

Sementara, untuk mengabulkan tuntutan masyarakat, pihaknya terganjal oleh SK Gubernur Riau tahun 1957 yang menyatakan bahwa 100 meter kiri dan kanan jalan dari Pekanbaru-Dumai merupakan areal hak kelola PT Chevron.

"Munculnya permasalahan ini di tahun 2016. SKK Migas, Chevron mengklaim wilayah itu," kata Norman Simamora.

Terkait ganti rugi warga yang ada hanya tertera Rp. 1,5 jt itu. Norman sebelumnya sudah meminta kepada stakeholder di Riau agar tuntutan masyarakat bisa dipenuhi, namun ia sedikit kesal, pasalnya pihak yang berwenang seolah saling lempar.

"Permasalahnya, stakeholder yang berkaitan masalah ini saling lempar. Jadi kami tidak bisa mengambil keputusan, terjadi kesalahan bayar, kami yang nyangkut dengan BPK. Pak Gubernur tidak berani mencabut SK tersebut, padahal sudah jelas memiliki kuasa untuk itu," ujarnya.

Ia bahkan sampai mengusulkan kepada semua pihak yang berkepentingan atau terkait untuk mendesak Perpres yang memiliki kekuatan untuk mencabut SK Gubernur, khusus untuk penyelesaian jalan tol ini.

"Apa perlu kita semua mendesak Perpres yang menjadi dasar, khusus pembangunan jalan Tol ini," tegasnya.

Sebelumnya dalam forum hearing perwakilan masyarakat, Riska warga Kelurahan Kandis Kota memaparkan persoalan yang ada, warga menuntut keadilan, karena terlalu jelas ketimpangan nilai ganti rugi yang diterima masyarakat. 

Riska, perwakilan masyarakat menceritakan permasalahan dan konflik ganti rugi lahan pembebasan jalan tol.

"Pada hamparan yang sama, ada yang menerima ratusan juta, namun ada yang menerima hanya Rp4,5 juta. Bahkan dalam list ada yang dapat Rp1,5 juta. Kami seolah dipaksa menerima, yang tidak terima disuruh lapor ke Pengadilan," cerita Riska.

"Kami ada berusaha mengadu ke pengadilan, namun tidak bisa kolektif. Satu orang harus buat pengaduan sendiri, anehnya biaya pengaduan Rp 2,7 juta lebih mahal nilainya dibanding nilai ganti rugi. Kami yang difonis hanya dapat Rp1,5 juta berusaha, uang sudah habis, di pengadilan menang, di kasasi kalah dan kembali ke angka Rp1,5 juta. Biaya kasai kami harus tanggung," tegasnya lagi.

Riska menegaskan, persoalan ini tidak hanya sekedar menuntut keadilan. Namun lebih jauh jauhnya perbedaan nilai ganti rugi membuat masyarakat cekcok, yang nilainya sudah pas menerima, sementara yang nilainya diberi kecil menolak. Terjadi perselisihan antara masyarakat.

"Kami menuntut profesional dalam proses perhitungan ganti rugi. Selama ini tidak pernah ada musyawarah. Masyarakat solah-olah dipaksa, kalau tidak setuju diminta lapor ke pengadilan. Kami seperti dihadapkan dengan konflik, dipaksa bergesekan dengan pihak-puhak lain," tegas wanita ini dengan suara lantang.

"Masyarakat sampai ada yang cekcok dengan masyarakat, karena ada yang puas dan ada yang dirugikan," tegasnya lagi.

Anggota DPRD Siak Ariadi Tarigan dalam forum ini menegaskan, masalah SK Gubernur yang menjadi pengganjal penyelesaian ganti rugi jalan tol itu harus segera dicarikan jalan keluar. 

Ia menceritakan, sebelum ada pembangunan jalan tol, bagi masyarakat yang lahannya dilanggar pembangunan sumur minyak atau jalan akses masuk ke sumur minyak oleh Chevron, mendapat ganti rugi langsung dari Chevron. Padahal lahan mereka dipinggir jalan yang terbentang sepanjang Pekanbaru-Dumai.

"Kenapa di waktu jalan tol ini soal SK baru muncul, sebelumnya bagaimana. Chevron saja kalau bangun sumur mengganti rugi lahan masyarakat, bikin jalan ke sumur, lahan masyarakat diganti rugi, nilainya malah lebih besar," tegas politisi Hanura ini.

Ia mendesak Pemerintah, pihak terkait segera berkumpul dan memberikan keadilan masyarakat dalam penyelesaian masalah ini. 

Reporter: Abdul Salam