Patologi Ekonomi Kerakyatan

Patologi Ekonomi Kerakyatan

Cita-cita utama pembentukan negara kita ialah keinginan luhur mewujudkan ”Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang dijiwai empat sila lain dalam Pancasila. UUD 1945 menjabarkan cita-cita luhur itu, antara lain berupa jaminan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27), mendapatkan pengajaran (Pasal 31), serta hak fakir miskin dan anak-anak telantar (Pasal 34).
 
Adapun Pasal 33 menggariskan mekanisme mewujudkan cita-cita itu, yakni perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan (ayat 1). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara (ayat 2). Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (ayat 3).

Berdasarkan Amanah tersebut lahirlah Ekonomi Kerakyatan yang dianut oleh negeri ini yang mana sistem ekonomi kerakyatan bertujuan mewujudkan kesejahteraan rakyat (bonum commune), namun kenyataannya adalah tren angka rasio gini meningkat (0,413 pada 2013), tertinggi sejak 1964. Angka kemiskinan masih tinggi, yakni 28,55 juta orang pada 2013, dengan patokan garis kemiskinan Rp 292.951 per bulan per kapita. Jumlah warga miskin kita hampir sama dengan seluruh penduduk Malaysia. Tingkat pengangguran juga masih tinggi, 7,15 juta warga pada 2014. Utang luar negeri hampir Rp3.000 triliun. Apa yang salah dari pengelolaan negara kita yang kekayaan alamnya melimpah? Mengapa rakyat malah berkutat menghadapi kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial, rakyat mana yang merasakan Ekonomi Kerakyatan itu?

Untuk mengatasi masalah di atas perlu kebijakan dan kesadaran dari pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. Pertama, dari sisi pemerintah hendaknya pemerintah tegas bahwa negara mutlak sebagai pemenang mutlak atas sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak di mana pengelolaannya dapat dilakukan melaui BUMN, koperasi. Jika pihak swasta ikut serta dalam pengelolaannya maka swasta harus melaksanakaan tanggung jawab sosialnya atau yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility (CSR). Pemerintah tetap sebagai pengendali bukan malah BUMN dan BUMD yang diprivatisasi oleh pihak swasta.

Kedua, kewirausahaan adalah kemampuan untuk meningkatkan sumber-sumber daya yang  tidak produktif menjadi produktif, dan ada peluang pasar yang besar, dilakukan dengan kreatif, inovatif dan kepribadian. Oleh karena itu kebijakan industri dan perdagangan diarahkan untuk mewujudkan struktur industri yang kuat, efisien, dan berdaya saing tinggi sehingga dapat menyumbang pada penciptaan lapangan pekerjaan, pendapatan masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi.

UMKM pada kenyataannya mampu bertahan dan mengantisipasi kelesuan perekonomian yang disebabkan inflasi atau berbagai faktor penyebab lainnya. Tanpa subsidi maupun proteksi, UMKM mampu menambah devisa negara khususnya industri kecil di sektor nonformal dan mampu berperan sebagai penyangga dalam perekonomian masyarakat kecil lapisan bawah. Oleh karena itu pemberdayaan UMKM dan koperasi mutlak dilakukan oleh negara. Kompetisi dikendalikan agar berlangsung sehat dan mengarah ke pola kerja sama/kemitraan, bukan saling mematikan.

Ketiga, penguatan otonomi daerah diarahkan untuk lebih memberdayakan desa sebagai ujung tombak pemberantasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan. Pemberdayaan desa dilakukan lewat musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) desa. Tentu saja anggaran desa sesuai kebutuhan desa.

Keempat, pembangunan sumber daya manusia (SDM) diarahkan untuk meningkatkan mutu dan produktivitas. Di sinilah relevansi pembangunan karakter dan revolusi mental sebagaimana digaungkan Joko Widodo (Jokowi). Sistem ekonomi kerakyatan membutuhkan SDM yang memiliki mental dan semangat gotong-royong dan kekeluargaan dengan memupuk solidaritas dan tanggung jawab untuk maju bersama (development inclusion). Masyarakat berkarakter seperti itu tidak mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan, toleran, tidak masa bodoh (free rider), tidak ada moral hazard serta ada transparansi dan akuntabilitas, selain itu diperlukan undang-undang khusus yang membahas tentang Perekonomian Kerakyatan yang tentunya harus sesuai dengan yang diamanahkan dalam Pancasila dan UUD 1945.***

Managing Marketing HPS & Partners Law office.