Menuju Pendidikan Bermutu

Menuju Pendidikan Bermutu

Apabila masyarakat berkomentar pendidikan persekolahan mutunya masih rendah, kita  tidak perlu marah dan gerah, pendidikan formal dianggap masih kurang berprestasi, kita tidak perlu emosi, tetapi kita perlu mengintrospeksi diri, dan memperbaikinya  agar kualitas pendidikan kita bermutu tinggi.

 Mengapa penulis katakan demikian? Karena menurut laporan United Nations Depelopment Programme, mencatat, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2013 masih berada pada peringkat 108 dari 287 negara yang disurvei, dengan nilai IPM 0,684. Sedangkan Brunei Darussalam di peringkat 30 (IPM: 0,852). Singapura peringkat 9 (IPM: 0,901).

Sedangkan daya saing pendidikan kita, berdasarkan data Education For All (EFA) Global Monitoring Report, UNISCO tahun 2012, pendidikan Indonesia berada pada peringkat ke 64 dari 120 negara, pada 2011, data Education Development Index (EDI) Indonesia mencapai 0,93. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke 69 dari 127 negara di dunia.

 EDI dikatakan tinggi bila mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80. Maka untuk itu dikatakan bahwa pendidikan Indonesia peringkat ketujuh terburuk dunia (menyedihkan bukan?).

Dari paparan di atas, berkenaan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei yang lalu, dalam pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Presiden Joko Widodo mengatakan Hari Pendidikan Nasional kita rayakan sebagai hari kesadaran tentang pentingnya kualitas manusia.

Selanjutnya menggariskan bahwa Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani dunia dan akan berhasil dalam berbagai kompetisi era global jika tinggi kualitas manusianya. Manusia yang terdidik dan tercerahkan adalah kunci kemajuan bangsa.

Segala capaian yang kita raih sebagai individu maupun sebagai bangsa kolektif tak lepas dari persinggungan dengan pendidikan. Mutu dan jenjang pendidikan berdampak besar pada ruang kesempatan untuk maju dan sejahtera.

Maka memastikan setiap manusia Indonesia mendapatkan akses pendidikan yang bermutu sepanjang hidupnya sama dengan memastikan kejayaan dan keberlangsungan bangsa (Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2016).

Direktur pendidikan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Andreas Schlecher menegaskan permasalahan pendidikan suatu negara terletak pada tenaga pengajar (guru).

Apabila guru memiliki kompetensi yang positif (aktif, kreatif, inspiratif, dan sebagainya) maka peserta didik akan mendapatkan kompetensi yang positif. Demikian sebaliknya, apabila guru tidak memiliki kompetensi yang positif maka peserta didik tidak mendapatkan kompetensi yang positif.

Untuk menuju pendidikan yang bermutu dan bermakna, guru, pegiat pendidikan dan semua unsur sungguh harus menyadari betapa vitalnya proses pendidikan di sekolah-sekolah kita untuk membentuk kepribadian para peserta didik yang berkarakter mulia, pola pikir, moralitas, emosionalitas, integritas, sensitivitas, sosialitas, tingkah laku, perkataan, perbuatan/tindakan, dan alam bawah sadar mereka akan sangat ditentukan oleh proses pendidikan yang diterima dan dialaminya.

Agar pendidikan itu bermutu, tepat sasaran dan bermakna itu, perlu perubahan-perubahan paradigma pendidikan yang selama ini kita laksanakan. Pertama, jika selama ini kita terlalu menekankan keseragaman, monolitas, sehingga perilaku dan pendapat siswa yang berbeda dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum karena dianggap kelainan sosial bahkan dicap antisosial, kini praktek pendidikan kita mesti mengedepankan pentingnya kemajemukan (pluralitas).

 Kedua, orisinalitas yang muncul dari pemikiran individu (siswa) kurang dihargai bahkan tidak mendapat tempat sama sekali, proses pendidikan di sekolah tidak menghargai kebebasan dan memberi peluang kepada siswa untuk berkreasi dan berimajinasi menunjukkan kediriannya, kini praktek pendidikan kita mesti menghargai dan mengedepankan pemikiran lateral, kreatif inovatif, menghargai kebebasan berpendapat.

Ketiga, apa yang terjadi di sekolah, proses pendidikan masih didominasi kegiatan-kegiatan mendengarkan, dikte, menghafal, mencatat, ceramah, pemaksaan terhadap apa yang dipelajari, kini siswa diberi ruang memperoleh peluang untuk berkreasi, mengembangkan dan menunjukkan kemampuannya, pemrosesan informasi dan interprestasi.

 Keempat, apa yang terjadi di sekolah, kegiatan pembelajaran dilakukan apa adanya sesuai tradisi, proses pembelajaran berpusat pada guru yang didominasi ceramah dan penuangan informasi sebanyak-banyaknya ke dalam otak siswa, kini siswa didorong dan dilatih merekonstruksi pengetahuan dan konsep berdasarkan proses mencari dan mengalami sendiri, misalnya melalui kegiatan eksperimen, penyelidikan, pemecahan masalah , dan rupa-rupa kegiatan praktik lainnya.

Kelima, jika selama ini praktik pendidikan di sekolah justru diwarnai oleh landasan teoritis dan konseptual yang dangkal, proses pendidikan tidak selaras dengan hakikat belajar, hakikat orang yang belajar, dan hakikat orang yang mengajar, kini, resolusi yang mesti dilakukan adalah jagat pendidikan harus didekati dengan paradigma yang mampu menggambarkan hakikat belajar dan pembelajaran secara komprehensif.

 Keenam, apa yang terjadi di sekolah, model pembelajaran didominasi instruktifn monolog, penyelenggaraa pengelolaan sekolah terlalu birokratis, administratif, kaku, rigit, dan muatan kurikulum yang amat padat, kini praktek pendidikan kita mesti menekankan model pembelajaran yang dialogis-interaktif, mekanisme kerja yang bersifat manusiawi, person oriented, kurikulum yang menarik, mendorong pembelajaran dan pemerdekaan (Y. Priyono: 2016).

Dari keenam hal tersebut di atas, ada kurikulum yang menarik, hal ini agar mendorong pembelajaran dan pemerdekaan, penulis tertarik dengan pendidikan yang ada di negara Finlandia. Sudah lama Finlandia diakui memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia yang ternyata tidak pernah menggantikan sistemnya itu sejak tahun 1970. Diantara yang unik di Finlandia itu, gurunya dari kalangan terbaik.

 Untuk menjadi guru di Finlandia, orang harus berpendidikan minimal magister (S2), dan termasuk 10 besar lulusan terbaik dari universitasnya. Sehingga menjadi guru adalah suatu kehormatan di negara ini, dan tentu saja gaji yang diberikan oleh pemerintahnya sangat baik.

 Guru di Finlandia hanya menghabiskan empat jam sehari di dalam kelas, dan mengambil dua jam seminggu untuk pengembangan profesional. ***
Guru SMAN 1 Tebing Tinggi, Meranti