Penggunaan Kekuasaan dan Politik Uang pada Pilkada

Penggunaan Kekuasaan dan Politik Uang pada Pilkada

Oleh: Bambang Rumnan, SH, MH

RIAUMANDIRI.ID - Selagi masih terus menggunakan tangan kekuasaan dan politik uang dalam meraih kemenangan, maka jangan pernah berharap rakyat akan mendapatkan kesejahteraan. Jangan terus-menerus mengkhianati bangsa ini dan merusak tatanan demokrasi yang selalu didengung-dengungkan para politisi dari zaman ke zaman. Jika kita sebagai bangsa tidak mampu fairness dalam berdemokrasi, maka mari kita sepakati merubah sistem yang ada. Itu lebih baik dari pada terus-menerus berkhianat pada agama dan Bangsa yang justru melahirkan oligarkhi baru.

Pebabat publik seperti gubernur misalnya, sesungguhnya harus bisa menjadi teladan bagi masyarakat yang hari ini sedang menyelenggarakan Pilkada 9 Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, untuk tidak memainkan instrument kekuasaan guna memobilisasi berbagai massa pemilih yang ada di perusahaan-perusahaan, untuk memilih salah satu peserta dalam pertarungan Pilkada.


Pajabat publik seharusnya menjadi teladan bagi seluruh peserta Pilkada dan masyarakat sebagai pemilih, bukan malah justru menjadi bagian dari political pressure dengan menggunakan kekuasaan. Partai politik memang mempunyai naluri untuk memilih siapapun yang memiliki elektabilitas demi keinginan berkuasa. Mencalonkan diri sebagai kepala daerah merupakan hak tiap warga negara. Namun demikian jangan sampai proses keterpilihan pemenang Pilkada yang diselenggarakan pada 9 Desember 2020 mendatang, justru merusak tatanan demokrasi dan melanggengkan upaya membangun oligarki baru.

Menggunakan kekuasaan dengan political pressure pada Pilkada, termasuk money politics justru sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Sebab, dalam praktik, biasanya kekuatan politik seperti ini akan dibarengi dengan kesepakatan politik antar penguasa dan perusahaan. Saat ini mainan pressure politik justru meningkat, setidaknya premis ini terkonfirmasi oleh riset beberapa lembaga studi yang menyebut sebagian besar pejabat publik hari ini merupakan ketua partai (nasional maupun daerah), sehingga memiliki hubungan politik hasrat berkuasa dalam melakukan kombinasi pemenangan Pilkada pada kepentingan kelompok politiknya.

Selama ini tekanan politik penguasa dan oligarki sering diperbincangkan dan dikhawatirkan akan merusak demokrasi. Namun, kenyataannya hal ini terjadi. Bahkan justru melakukan tekanan pada perusahaan-perusahaan setempat agar para karyawan memilih calon yang di usung oleh partainya. Begitulah jika pejabat publik seperti gubernur dan pejabat publik lainnya yang juga sekaligus menjadi ketua partai.

Perilaku ini membuat suara aspiratif terpasung. Rakyat yang bersedia menerima uang dan material lainnya akan tergadai. Jangan pernah berharap kesejahteraan dari kekuasaan yang haram, karena itu mustahil akan terjadi, negara disandera. Menggunakan kekuasaan dan politik uang untuk kemengangan akan memicu kehancuran pada masyarakat. Korupsi dan jual beli jabatan akan tetap marak, logika balik modal dan balas budi pada oligarki sebagai penghalang pengabdian pada masyarakat.

Apakah secara hukum tidak ada larangan? Pasti ada. Berbagai ketentuan undang-undang pemilu dari masa ke masa mengharamkan politik uang dan intervensi penguasa. Merupakan sejenis kejahatan yang jika terbukti dapat dihukum berat. Namun, kejahatan punya hukumnya sendiri, terdapat kalkulasi antara risiko dan sanksi. Jika sanksi tidak tegas diterapkan, atau setidaknya permisif, maka politik uang dan intervensi penguasa menjadi pilihan pragmatis. Apalagi di tengah pandemi dan publik yang miskin literasi serta ekonomi namun dahaga pada aktivitas media sosial.

Memang politik oligarki seperti ini sukar dijangkau hukum. Ia bekerja di ruang-ruang dialog tertutup antar elite, muncul dalam menegosiasikan jabatan-jabatan publik. Tidak sedikit melibatkan organisasi dan berbagai akses kekuasaan. Dalam koridor politik oligarki, maka urusan negara seperti urusan segelintir orang-orang itu saja yang mewarnai media dan kekuasaan. Dipastikan prilaku seperti ini akan menggerogoti kapasitas demokrasi. Sesungguhnya demokrasi adalah menjunjung kompetisi, fairness dan nilai-nilai keadaban publik.

Sudah saatnya masyarakat cerdas dengan memilih dan mempunyai pemimpin yang memiliki ide-ide segar bagi pengembangan dan pembangunan daerahnya dan membebaskan diri dari politik uang maupun tekakan politik. Apalagi ini eranya teknologi. Masyarakat harus memiliki pemimpin yang berpihak pada masyarakat yang memiliki kemampuan dalam pengembangan ekonomi rakyat. Kini saatnya melakukan perubahan. (*)


*Penulis adalah seorang pengacara di Riau. 



Tags Pilkada