Dampak Televisi bagi Karakter siswa
Salah satu teori pembelajaran sosial yang digagas pakar psikologi Albert Bandura menyebutkan, sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan atau modelling, dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu. Dalam hal ini, dampak tayangan televisi yang nyaris non stop 24 jam tak bisa diketepikan dalam membentuk karakter anak didik.
Televisi media paling luas, mudah dikonsumsi dan seperti menjadi kebutuhan primer. Setiap keluarga, mulai dari pelosok hingga perkotaan pantang tak punya. Lewat televisi masyarakat memperoleh informasi, ilmu pengetahuan, dan mengakses program disuka. Televisi juga menjadi sarana hiburan, berupa film, sinetron, musik, ilmu pengetahuan. Tentu tak ketinggalan berbagai kuis menyulap orang jadi jutawan dalam sekejap. Selain dampak positif, televisi memberi dampak negatif. Banyak sinetron menyuguhkan kekerasan, kesombongan, iri hati pada keberhasilan orang lain serta sederet prilaku negatif lainnya. Suguhan demikian jika tanpa 'saringan' tak bisa lagi disebut hiburan, kalau justru menghancurkan.
Menurut Dewan Pers, jumlah stasiun televisi di Indonesia yang beroperasi mencapai 394 stasiun televisi. Artinya, suguhan layar kaca tersebut teramat siap memanjakan mata dalam kemasan program aneka rupa non stop 24 jam. Kondisi demikian, bukan tak mungkin dari tontonan menjadi tuntunan. Terlebih dalam upaya membentuk karakter generasi muda, khususnya anak didik yang tengah mencari jati diri. Dalam hal ini, teladan menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar dan dinantikan. Berdasakan laporan UNICEF, anak-anak Indonesia menonton rata-rata 5 jam sehari di depan televisi atau total 1.560- 1.820 jam per tahun. Angka ini jauh lebih besar ketimbang jam belajar anak SD yang hanya 1.000 jam per tahun. Maka dapat dilihat begitu besarnya pengaruh akan ditimbulkan tayangan televisi, jika tak ada pengawasan dan bimbingan orangtua.
Tak hanya adegan dan ucapan saja mempengaruhi anak didik, tetapi juga sosialisasi dengan keluarga, lingkungan alam dan masyarakat juga akan berkurang. Persatuan psikologi Amerika, menyatakan penayangan kekerasan di televisi berulang-ulang dapat membuat seseorang tak hanya menerima kekerasan dalam kehidupan nyata, tetapi mereka sendiri menjadi lebih keras. Sebuah studi menyebutkan, 85 persen acara televisi tidak aman buat anak didik, karena banyak mengandung adegan kekerasan, seks dan mistis berlebihan dan terbuka. Saat ini ada 800 judul acara anak, dengan 300 kali tayang selama 170 jam per minggu. Jika satu minggu ada 7 hari x 24 jam = 168 jam. Kemudian dipaparkan, rata-rata anak sekolah menghabiskan 20 sampai 21 jam seminggu di depan televisi. Kondisi ini kembali menghadirkan fakta, tak hanya perihal waktu belajar yang terampas sedemikian rupa, namun tayangan dalam berbagai kemasan tadi mewarnai karakter anak didik bangsa.
Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional memaparkan, karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Sementara Pusat Kurikulum Balai Penelitian dan Pengembangan Kemendiknas menyebutkan, ada 18 butir nilai pendidikan karakter, yakni religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab.
Nilai-nilai karakter ini sungguh menjadi ironi dengan berjuta bentuk tayangan di layar kaca. Sementara sasaran tembak pembentukan karakter anak didik dialamatkan kepada para guru.
Berdasarkan data dari lembaga Internasional OECD, rata-rata jam belajar siswa di sekolah adalah 6.800 jam per tahun. Dibandingkan jam belajar anak usia 7–14 tahun di negara lain, jam belajar siswa Indonesia masih relatif rendah yaitu 6.000 jam per tahun. Hal ini menjadi pertimbangan penambahan jam belajar siswa di sekolah. Meski begitu, waktu si anak masih dominan di rumah dengan orangtua. Mau tak mau, rumah adalah 'madrasah' pertama yang diterima anak. Pola asuh dan teladan orangtua menjadi sentral. Hendaknya semua orangtua mengetahui apa sebenarnya yang disaksikan anak di layar televisi. Orangtua harus menentukan dan memutuskan apakah suatu acara pantas atau tidak untuk anak. Dalam hal ini, mereka hendaknya tak segan menggunkan tolok ukur tertentu, dalam memaksakan pembatasan mengenai waktu dan acara televisi yang boleh ditonton anak.
Acara televisi berpengaruh terhadap kondisi anak, sebab mereka belum mampu memfilter tayanganbermanfaat (meaningfull) dan tak berarti (meaningless). Selain itu, pengaruh pada anak didik secara implisit membentuk pribadi tak memiliki pengalaman empiris untuk bersosialisasi, menjadi pribadi pasif, mereka dibuat kehilangan jati diri, kepercayaan diri diombangambingkan beragam tayangan. Wirodono yang memiliki kompetensi di bidang pertelevisian menyebutkan, beberapa stasiun televisi tak memberikan nilai edukatif, cenderung membohongi dan memanipulasi.
Sehingga penonton, dalam hal ini anak didik menjadi bodoh, tidak kritis, apatis, eskapis, terlena, pemimpi, pelupa, pesimistis, skeptis dengan gaya kehidupan yang hedonistis dan konsumeristis.
Pengaruh tayangan televisi terhadap anak didik, dapat dicermati dari beberapa hal berikut. Pengaruh fisik, menonton televisi sering mengganggu jadwal makan dan tidur. Pencernaan akan terganggu dan kurang tidur. Pengaruh pada bentuk bermain, menonton televisi mengurangi waktu yang tersedia bagi kegiatan bermain lainnya, terutama bermain di luar.
Menonton televisi mengurangi waktu bermain kreatif atau berbagai bentuk hiburan lain. Pengaruh pada pekerjaan sekolah, televisi menyajikan informasi dengan cara yang menggairahkan dan hidup, sehingga buku pelajaran hampir tak dapat menyainginya menarik minat siswa. Akibatnya, mereka sering menganggap buku dan pekerjaan sekolah membosankan. Pengaruh pada hubungan keluarga, menonton televisi sering membatasi interaksi sosial antar anggota keluarga dan membatasi percakapan.
Pengaruh pada sikap, tokoh di televisi biasanya digambarkan dengan berbagai stereotip. Anak didik kemudian berpikir, semua orang dalam kelompok tertentu mempunyai sifat yang sama dengan orang di layar televisi. Pengaruh pada nilai, menu acara yang terus-menerus menunjukkan adegan pembunuhan, penyiksaan, dan kekejaman pada saatnya akan menumpulkan kepekaan dan mendorong pengembangan nilai anak yang tidak sejalan dengan nilai mayoritas kelompok sosial. Apabila anak terbiasa dan tidak peka terhadap kekerasan, mereka akan menerima perilaku itu sebagai pola hidup yang normal.
Pengaruh pada perilaku, karena anak suka meniru, mereka merasa apa saja yang disajikan dalam acara televisi tentunya merupakan cara yang dapat diterima baginya dalam bersikap sehari-hari. Karena para pahlawan yang patuh kepada hukum kurang menonjol ketimbang mereka yang memenangkan perhatian dengan kekerasan dan tindakan, sosial lainnya. Anak cenderung menggunakan cara yang terakhir untuk mengidentifikasi diri dan menirunya.
Pengaruh pada cara berbicara, cara berbicara sangat dipengaruhi oleh apa yang didengar, diucapkan orang di televisi dan bagaimana cara mengucapkannya. Pengaruh pada keyakinan, banyak anak yakin bahwa apa saja yang dikatakan di televisi merupakan hal benar, dan bahwa penyiar televisi lebih mengetahui segala sesuatu ketimbang para orangtua, guru, dan dokter.
Perlu diketahui, televisi tak hanya memberikan ruang kebebasan dan diplomasi virtual. Namun, juga menciptakan kesadaran baru. Padahal media harus memberikan proses learning social norms yang lebih intensif. Tetapi, dampaknya bisa buruk dan negatif. Itu tergantung bagaimana pendampingan orangtua. Industri televisi barangkali tak melulu memantik asal rating tinggi, tanpa membuat program sehat bagi pemirsa, khususnya anak dan remaja. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga diharapkan lebih agresif menyoroti aneka tayangan berseliweran. Sehingga, guru tidak one man show alias sendirian dalam menggodok karakter anak didik. Menyikapi tayangan televisi tak cukup dengan 'diet tontonan' kiranya, lebih jauh, pemirsa mesti memiliki daya nalar, daya persepsi, daya abstraksi dan daya tawar. ***
Penulis merupakan staf pengajar di SMP Negeri 1, PekanbaruSalah satu teori pembelajaran sosial yang digagas pakar psikologi Albert Bandura menyebutkan, sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan atau modelling, dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu. Dalam hal ini, dampak tayangan televisi yang nyaris non stop 24 jam tak bisa diketepikan dalam membentuk karakter anak didik.
Televisi media paling luas, mudah dikonsumsi dan seperti menjadi kebutuhan primer. Setiap keluarga, mulai dari pelosok hingga perkotaan pantang tak punya. Lewat televisi masyarakat memperoleh informasi, ilmu pengetahuan, dan mengakses program disuka. Televisi juga menjadi sarana hiburan, berupa film, sinetron, musik, ilmu pengetahuan. Tentu tak ketinggalan berbagai kuis menyulap orang jadi jutawan dalam sekejap. Selain dampak positif, televisi memberi dampak negatif. Banyak sinetron menyuguhkan kekerasan, kesombongan, iri hati pada keberhasilan orang lain serta sederet prilaku negatif lainnya. Suguhan demikian jika tanpa 'saringan' tak bisa lagi disebut hiburan, kalau justru menghancurkan.
Menurut Dewan Pers, jumlah stasiun televisi di Indonesia yang beroperasi mencapai 394 stasiun televisi. Artinya, suguhan layar kaca tersebut teramat siap memanjakan mata dalam kemasan program aneka rupa non stop 24 jam. Kondisi demikian, bukan tak mungkin dari tontonan menjadi tuntunan. Terlebih dalam upaya membentuk karakter generasi muda, khususnya anak didik yang tengah mencari jati diri. Dalam hal ini, teladan menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar dan dinantikan. Berdasakan laporan UNICEF, anak-anak Indonesia menonton rata-rata 5 jam sehari di depan televisi atau total 1.560- 1.820 jam per tahun. Angka ini jauh lebih besar ketimbang jam belajar anak SD yang hanya 1.000 jam per tahun. Maka dapat dilihat begitu besarnya pengaruh akan ditimbulkan tayangan televisi, jika tak ada pengawasan dan bimbingan orangtua.
Tak hanya adegan dan ucapan saja mempengaruhi anak didik, tetapi juga sosialisasi dengan keluarga, lingkungan alam dan masyarakat juga akan berkurang. Persatuan psikologi Amerika, menyatakan penayangan kekerasan di televisi berulang-ulang dapat membuat seseorang tak hanya menerima kekerasan dalam kehidupan nyata, tetapi mereka sendiri menjadi lebih keras. Sebuah studi menyebutkan, 85 persen acara televisi tidak aman buat anak didik, karena banyak mengandung adegan kekerasan, seks dan mistis berlebihan dan terbuka. Saat ini ada 800 judul acara anak, dengan 300 kali tayang selama 170 jam per minggu. Jika satu minggu ada 7 hari x 24 jam = 168 jam. Kemudian dipaparkan, rata-rata anak sekolah menghabiskan 20 sampai 21 jam seminggu di depan televisi. Kondisi ini kembali menghadirkan fakta, tak hanya perihal waktu belajar yang terampas sedemikian rupa, namun tayangan dalam berbagai kemasan tadi mewarnai karakter anak didik bangsa.
Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional memaparkan, karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Sementara Pusat Kurikulum Balai Penelitian dan Pengembangan Kemendiknas menyebutkan, ada 18 butir nilai pendidikan karakter, yakni religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab.
Nilai-nilai karakter ini sungguh menjadi ironi dengan berjuta bentuk tayangan di layar kaca. Sementara sasaran tembak pembentukan karakter anak didik dialamatkan kepada para guru.
Berdasarkan data dari lembaga Internasional OECD, rata-rata jam belajar siswa di sekolah adalah 6.800 jam per tahun. Dibandingkan jam belajar anak usia 7–14 tahun di negara lain, jam belajar siswa Indonesia masih relatif rendah yaitu 6.000 jam per tahun. Hal ini menjadi pertimbangan penambahan jam belajar siswa di sekolah. Meski begitu, waktu si anak masih dominan di rumah dengan orangtua. Mau tak mau, rumah adalah 'madrasah' pertama yang diterima anak. Pola asuh dan teladan orangtua menjadi sentral. Hendaknya semua orangtua mengetahui apa sebenarnya yang disaksikan anak di layar televisi. Orangtua harus menentukan dan memutuskan apakah suatu acara pantas atau tidak untuk anak. Dalam hal ini, mereka hendaknya tak segan menggunkan tolok ukur tertentu, dalam memaksakan pembatasan mengenai waktu dan acara televisi yang boleh ditonton anak.
Acara televisi berpengaruh terhadap kondisi anak, sebab mereka belum mampu memfilter tayanganbermanfaat (meaningfull) dan tak berarti (meaningless). Selain itu, pengaruh pada anak didik secara implisit membentuk pribadi tak memiliki pengalaman empiris untuk bersosialisasi, menjadi pribadi pasif, mereka dibuat kehilangan jati diri, kepercayaan diri diombangambingkan beragam tayangan. Wirodono yang memiliki kompetensi di bidang pertelevisian menyebutkan, beberapa stasiun televisi tak memberikan nilai edukatif, cenderung membohongi dan memanipulasi.
Sehingga penonton, dalam hal ini anak didik menjadi bodoh, tidak kritis, apatis, eskapis, terlena, pemimpi, pelupa, pesimistis, skeptis dengan gaya kehidupan yang hedonistis dan konsumeristis.
Pengaruh tayangan televisi terhadap anak didik, dapat dicermati dari beberapa hal berikut. Pengaruh fisik, menonton televisi sering mengganggu jadwal makan dan tidur. Pencernaan akan terganggu dan kurang tidur. Pengaruh pada bentuk bermain, menonton televisi mengurangi waktu yang tersedia bagi kegiatan bermain lainnya, terutama bermain di luar.
Menonton televisi mengurangi waktu bermain kreatif atau berbagai bentuk hiburan lain. Pengaruh pada pekerjaan sekolah, televisi menyajikan informasi dengan cara yang menggairahkan dan hidup, sehingga buku pelajaran hampir tak dapat menyainginya menarik minat siswa. Akibatnya, mereka sering menganggap buku dan pekerjaan sekolah membosankan. Pengaruh pada hubungan keluarga, menonton televisi sering membatasi interaksi sosial antar anggota keluarga dan membatasi percakapan.
Pengaruh pada sikap, tokoh di televisi biasanya digambarkan dengan berbagai stereotip. Anak didik kemudian berpikir, semua orang dalam kelompok tertentu mempunyai sifat yang sama dengan orang di layar televisi. Pengaruh pada nilai, menu acara yang terus-menerus menunjukkan adegan pembunuhan, penyiksaan, dan kekejaman pada saatnya akan menumpulkan kepekaan dan mendorong pengembangan nilai anak yang tidak sejalan dengan nilai mayoritas kelompok sosial. Apabila anak terbiasa dan tidak peka terhadap kekerasan, mereka akan menerima perilaku itu sebagai pola hidup yang normal.
Pengaruh pada perilaku, karena anak suka meniru, mereka merasa apa saja yang disajikan dalam acara televisi tentunya merupakan cara yang dapat diterima baginya dalam bersikap sehari-hari. Karena para pahlawan yang patuh kepada hukum kurang menonjol ketimbang mereka yang memenangkan perhatian dengan kekerasan dan tindakan, sosial lainnya. Anak cenderung menggunakan cara yang terakhir untuk mengidentifikasi diri dan menirunya.
Pengaruh pada cara berbicara, cara berbicara sangat dipengaruhi oleh apa yang didengar, diucapkan orang di televisi dan bagaimana cara mengucapkannya. Pengaruh pada keyakinan, banyak anak yakin bahwa apa saja yang dikatakan di televisi merupakan hal benar, dan bahwa penyiar televisi lebih mengetahui segala sesuatu ketimbang para orangtua, guru, dan dokter.
Perlu diketahui, televisi tak hanya memberikan ruang kebebasan dan diplomasi virtual. Namun, juga menciptakan kesadaran baru. Padahal media harus memberikan proses learning social norms yang lebih intensif. Tetapi, dampaknya bisa buruk dan negatif. Itu tergantung bagaimana pendampingan orangtua. Industri televisi barangkali tak melulu memantik asal rating tinggi, tanpa membuat program sehat bagi pemirsa, khususnya anak dan remaja. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga diharapkan lebih agresif menyoroti aneka tayangan berseliweran. Sehingga, guru tidak one man show alias sendirian dalam menggodok karakter anak didik. Menyikapi tayangan televisi tak cukup dengan 'diet tontonan' kiranya, lebih jauh, pemirsa mesti memiliki daya nalar, daya persepsi, daya abstraksi dan daya tawar. ***
Penulis merupakan staf pengajar di SMP Negeri 1, Pekanbaru