Harta Dibawa Mati

Sabtu, 11 Juli 2020 - 13:58 WIB

Oleh: Dr Erman Gani*

RIAUMANDIRI.ID - Ada pelajaran berharga yang diperoleh ketika menghadiri Ibadah Jumat pada salah satu masjid. Pelajaran berdimensi mauizah hasanah tersebut diperoleh dari isi tazkirah petugas khatib Jumat ketika itu.

Seperti biasa, pada pengantar khutbah, khatib menyampaikan wasiat taqwa dan nasehat untuk senantiasa mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya. Kemudian sang khatib menjelaskan topik khutbah yang membahas tentang sikap seorang muslim terhadap harta yang tidak akan dibawa mati.  

Sang khatib memulai penjelasannya dengan penekanan agar jemaah tidak terlalu mementingkan dunia. Sebab dunia fana ini telah membuat orang lalai dan tertipu.  Seolah-olah manusia akan hidup selamanya.

“Kita tidak boleh mengumpul dan menumpuk harta. Sikap tamak dan rakus harta akan membuat orang lupa akan kehidupan akhirat. Alquran selalu mengingatkan kita tentang  kehidupan dunia yang hanya sebentar saja.” demikian ucap sang khatib.

Semua jemaah yang hadir mendengarkan khutbah tersebut dengan seksama. Sang khatib melanjutkan tausyiahnya dengan intonasi sederhana tapi mudah dipahami.  “Dunia ini hanya sementara. Semua yang kita miliki sewaktu di dunia hanya sekejap. Tidak kekal dan jauh dari keabadian. Harta yang kita miliki tidak akan dibawa mati”.

Kemudian sang khatib mengutip Alquran sebagai dalil khutbahnya secara jelas dan fasih. “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (QS. al-Hadid[57]:20)

Tidak ada seorangpun jemaah  berani membantah penjelasan sang ustaz. Maklum,  khatib dalam Ibadah Jumat memiliki otoritas penuh untuk bicara. Tidak ada satupun yang boleh membantah. Meskipun  tidak setuju dengan materi tabliqh -nya.

Konsepsi fikih terkait kaifiat Shalat Jumat memang mengatur bahwa jemaah tidak boleh bersuara ketika khatib sedang berkhutbah. Kecuali bila khatib tersalah karena meninggalkan salah satu dari rukun khutbah, seperti tidak mengucapkan hamdalah, shalawat, membaca Alquran, wasiat dan lainnya.

Ketika prosesi Ibadah Jumat selesai, seorang jemaah nampak mendekati sang khatib. Ia  ingin mendiskusikan isi khutbah  tadi yang berdurasi sekitar lima belas menit.

Diskusi pun terjadi dan berjalan dengan baik. Berhiaskan etika, budi pekerti dan saling menghargai. Ternyata Jemaah tersebut berbeda pandangan dengan sang khatib tentang perspektif  muslim terhadap harta.

Mereka mulai mengeluarkan argumentasi masing-masing berdasarkan literatur dan referensi yang dimiliki. Menurut sang jemaah, harta harus dibawa mati. Tidak boleh ditinggalkan di dunia. Harta dan segala yang dimiliki harus dibawa ke akhirat.

Sementara sang khatib dalam penjelasan yang disampaikan sewaktu khutbah tadi mengatakan harta tidak akan dibawa mati.

Diskusi antara sang khatib dan jemaah di atas memberikan i’tibar yang sangat luar biasa terkait mindset (pola fikir) seseorang dalam memperlakukan harta bendanya.

Secara prinsip tidak ada perbedaan antara sang khatib dengan sang jemaah terkait pemahamanan  terhadap harta, dibawa mati atau tidak.

Penjelasan sang khatib tentang harta tidak akan dibawa mati dimaksudkan agar manusia tidak menjadikan harta sebagai prioritas hidup. Dunia dijadikan sebagai tujuan sedangkan akhirat ditiadakan. Tidak ada guna harta kalau tidak digunakan dengan baik. Karena harta tidak akan dibawa mati.

Pendapat tersebut inheren dengan pandangan sang jemaah bahwa harta dibawa mati.  Ketika masih hidup di dunia, harta didonasikan ke anak yatim, panti asuhan, lembaga dakwah dan pendidikan Islam dan lainnya.

Secara otomatis (automatically) harta yang disedekahkan pasti terbawa mati. Kelak ketika di alam barzakh dan yaumul qiyamah akan kembali kepada sang pemilik dalam bentuk pahala dan amal ibadah.

Alquran memberikan informasi valid kepada manusia tentang penyesalan orang yang telah meninggal dunia. Sang mayat memohon kepada Allah untuk dihidupkan kembali.

Banyak ayat dalam Alquran yang menjelaskan persoalan tersebut. Diantaranya, QS. al-Munafiqun[63];10: “ Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?"_   

Ayat di atas merekomendasikan kepada orang-orang mukmin untuk memfungsikan harta dengan benar. Menginfakan sebagian yang telah Allah SWT anugerahkan untuk kepentingan duafa, fasilitas umum, fasilitas sosial dan lainnya sebelum kematian tiba.

Sewaktu time interval  dunia masih ada gunakan untuk berinfak sebelum datang kematian.  Saat  maut menjemput, banyak yang menyesal dan berucap: “Ya tuhanku, sekiranya engkau berkenan menunda kematianku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dengan hartaku. Sehingga aku akan termasuk orang-orang yang saleh, karena kedermawanan ku itu.

Keinginan tersebut mustahil Allah SWT kabulkan. Allah Rabbul Izzati,_ tidak akan menunda kematian seseorang bila waktu kematiannya tiba. Allah SWT tidak  memperpanjang hidup seseorang. Meskipun sedetik saja. Wallahu A’lam.


*Penulis adalah Dosen UIN Suska/Sekretaris MDI Kota Pekanbaru

Editor: Nandra F Piliang

Tags

Terkini

Terpopuler