Ketika Seniman Muslim Bantu Renovasi Gereja di Jerman

Sabtu, 29 Februari 2020 - 20:15 WIB
DW/C Strack

RIAUMANDIRI.ID, Berlin - Dengan gerak tangan yang lentur Mahbuba Maqsoodi meraba sebuah kaca berwarna cerah. Benda berkilap itu adalah sebuah karya seni, karyanya sendiri: sebuah penggalan kaca patri yang menampilkan wajah seorang santo.

"Melalui warna dan corak di dalam warna saya bisa membentuk apa yang saya inginkan," kisahnya. Ketika berbicara mengenai nada, cahaya dan kaca, untaian kalimat yang ia ucapkan terdengar seperti lantunan puisi.

Maqsoodi kini berusia 63 tahun. Awalnya dia mengolah keramik menjadi benda seni, sebelum beralih ke kaca patri. Karyanya di biara Benediktus di Tholey sering disebut sebagai salah satu proyek seni modern paling spektakuler di gereja.

Sebelum direnovasi, bagian dalam gereja yang dibangun pada abad ke13 itu berpendar gelap. Kaca patri buatan Maqsoodi sendiri didesain oleh Gerhard Richter, salah seorang seniman modern Jerman yang paling tersohor. Kreativitas Richter antara lain bisa disimak pada kathedral raksasa di kota Kln.

Kaca patri buat gereja di AS

Maqsoodi tidak diundang untuk membuat kaca patri di Biara Benediktus. Dia meraih kesempatan itu lewat sebuah proses tender internasional. Uniknya, juri hanya melihat desain yang dikirimkan, bukan nama pembuatnya. Sejak itu dia sibuk menuntaskan pesanan untuk 34 jendela di gereja.

"Adalah sebuah kepercayaan yang besar," untuk menugaskan seorang perempuan muslim, kata dia. "Mungkin bahkan sebuah pengakuan. Pesanan itu kan menunjukkan bahwa saya mampu melakukannya," kata Maqsoodi.

Di Jerman sendiri, kelihaian perempuan Afghanistan itu belum banyak dikenal. Sebab itu dia menganggap proyek renovasi gereja di Tholey sebagai sebuah batu loncatan. Padahal Maqsoodi sudah pernah mengerjakan kaca patri buat sebuah gereja di Austria dan tiga gereja lain di negara bagian Tennessee, Texas dan Nebraska di Amerika Serikat.

Maqsoodi menghabiskan masa kecilnya di Herat, sebuah kota di Afghanistan yang selama ratusan tahun dikenal sebagai pusat perajin keramik untuk masjid. Dia tergolong beruntung karena dilahirkan di sebuah keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan bagi perempuan. Sang ayah bahkan ikut membangun sekolah perempuan di desa mereka.

Usai mengenyam pendidikan seni, Maqsoodi mengajar di sebuah sekolah menengah atas di Herat. Nasib berbalik arah ketika saudara perempuannya, Afifa yang memimpin sekolah perempuan itu, ditembak mati oleh kaum radikal di tengah jalan. Sejak itu Maqsoodi bersama suaminya, Fazl yang juga seorang guru seni, memilih mengungsi dari Afghanistan.

Awalnya dia mendapat beasiswa seni di sebuah sekolah di Leningrad, Rusia. Usai lulus dia urung pulang ke kampung halaman lantaran perang saudara yang berkecamuk. Bersama kedua anaknya, dia lalu mengajukan suaka politik di Jerman pada 1994. Bakatnya baru ditemukan oleh seorang perajin kaca patri di Mnchen yang mengajak Maqsoodi untuk bekerja.

"Bermukim di tiga budaya"

"Saya dibesarkan di tiga kebudayaan yang berbeda. Basisnya adalah Afghanistan," kata Maqsoodi. "Saya masih menyimpannya." Sebab itu pula dia merasa "tidak asing terhadap Alkitab." Adalah neneknya yang pertama kali menceritakan kisah-kisah kuno seputar nabi di Kitab Perjanjian Lama. "Kami sudah kenal ceritanya. Tapi tentu saja tidak tahu bentuk dan rupanya."

Hal itu baru dipelajarinya di Eropa, di Leningrad dan Mnchen, serta kini diujicoba di Tholey. "Apa pesan yang ingin disampaikan Adam dan Hawa? Apa pesan dari Nabi Musa? Apa itu Sepuluh Perintah Allah? Hal ini ada untuk semua budaya. Setiap umat muslim memahaminya. Setiap umat Yahudi atau bahkan Atheis. Dan saya berusaha membuka pikiran saya sendiri. Karena pesan mereka jauh lebih besar. Dan di era globalisasi sangat disayangkan jika kita masih berpola pikir seperti seratus atau dua ratus tahun yang lalu. Pesan-pesan ini bersifat universal. Itulah pikiran saya."

Richter und Maqsoodi

Maqsoodi saat ini mengerjakan pesanan kaca patri di salah satu bengkel kaca paling disegani di Jerman, Gustav van Treeck. Di dinding bengkel terpajang ragam desain milik Maqsoodi dan Gerhard Richter, sementara kaca-kaca patri bercorak warna warni yang sedang dikerjakan masih terletak di atas meja kerja kedua seniman.

Suatu saat nanti kaca-kaca tersebut akan menghiasi gereja St. Mauritius di Tholey.

Uniknya desain Richter yang mengaku sebagai seorang atheis banyak dipengaruhi elemen orientalis yang mudah ditemui di masjid-masjid, sementara Mahbuba Maqsoodi yang seorang muslim berusaha mengangkat kisah-kisah dari Alkitab. Motif-motif buatannya misalnya berjudul "Kelahiran Yesus Kristus," atau "Kenaikan Yesus Kristus."

Maqsoodi berharap karya-karyanya itu bisa membuka gambaran lain dari Afghanistan, selain klise tentang terorisme atau Taliban, perang dan kekerasan. "Yang paling indah adalah bahwa seni saya terbebas dari pengaruh politik," katanya, "bebas dari paksaan."

"Saya menikmati kebebasan ini. Pada setiap pekerjaan seni saya bertanya, seberapa jauh saya dibebaskan dalam menginterpretasikan sebuah pesan? Dalam proyek ini saya dibebaskan sepenuhnya dan hal ini sangat saya nikmati."

Editor: Nandra F Piliang

Tags

Terkini

Terpopuler