Tak Mudah, Proses Ganti Kelamin Lucinta Luna hingga Dikabulkan Pengadilan

Jumat, 14 Februari 2020 - 09:19 WIB
Lucinta Luna (Youtube)

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Muhammad Fatah melakukan operasi kelamin karena prilakunya yang kemayu. Fatah lalu mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dan dikabulkan. Fatah menjadi perempuan dan ganti nama Ayluna Putri dengan nama beken Lucinta Luna. Permohonan ganti kelamin ternyata tidak mudah.

Dilansir dari detikcom, berdasarkan informasi Program Karakterisasi Putusan Komisi Yudisial (KY), jika ada proses permohonan ganti kelamin maka Pemohon harus bisa meyakinkan hakim bahwa memang dirinya layak untuk diubah kelaminnya. Tidak sedikit yang ditolak karena tidak bisa meyakinkan hakim.

Contohnya terjadi di Cirebon. Pada 2019 lalu, seorang warga Cirebon sudah mengganti kelaminnya dari perempuan menjadi laki-laki. Kemudian ia mengajukan permohonan jenis kelamin ke pengadilan.

Dalam putusan Nomor 07/Pdt.P/2019/PN.Cbn, hakim menolak permohonan itu. Hakim menolak dengan alasan kejiwaan (Harry Benjamin Syndrome) sehingga solusinya dengan terapi, bukan ganti kelamin.

Di tempat yang sama, hakim PN Cirebon juga menolak permohonan perempuan yang ingin menjadi laki-laki. Si pemohon mengajukan permohonan jenis kelamin karena merasa trasgender female to male. Penolakan itu diputus lewat penetapan Nomor 100/Pdt.P/2019/PN.Cbn.

Lalu bagaimana dengan yang dikabulkan? Umumnya karena berdasarkan faktor genetik. Seperti terjadi di Bantul. Seorang perempuan diizinkan hakim menjadi laki-laki karena alasan medis genetik dengan kromosom dominan laki-laki. Penetapan hakim itu dibuat dalam Penetapan Nomor 51/Pdt/P/2016/Pn.Btl.

Demikian juga seorang perempuan di Klaten. Ia meminta hakim mengabulkan dirinya menjadi laki-laki dengan alasan medis genetik. Yaoti kondisi ambigo genitilia, di mana secara fenotip disebut laki-laki secara genotip perempuan. Selain itu, tidak ada obat terhadap kondisi tersebut.

Di Cibinong, Bogor, seorang ayah memohon agar anaknya Anindya Thalita Putri (5) yang mengantongi akta kelahiran perempuan memohon ditetapkan menjadi laki-laki. Permohonan dilayangkan kedua orang tuanya sebab terjadi perubahan di alat kelaminnya seiring bertambahnya usia.

Hakim tunggal yang memeriksa permohonan itu, Ronald Lumbuun tidak gegabah. Untuk meyakinkan dirinya, ia meminta keterangan dari tetangga Anindya, dokter spesialis RSCM hingga pandangan dari MUI.

Di persidangan, dokter memaparkan, bocah lima tahun tidak memiliki sel telur dan hormon esterogen, sehingga saat dewasa tidak akan ada payudara yang tumbuh. Karena itu, Anindya harus melakukan operasi kelamin.

Setelah mendengar dengan seksama semua alat bukti dan keterangan ahli/saksi, Ronald Lumbuun mengabulkan permohonan itu.

"Kami mengabulkan dengan pertimbangan yuridis medis dan agama," kata Ronald pada 2013 lalu.

Dari catatan di atas, maka secara garis besar alasan permohonan status jenis kelamin dibagi dua:

1. Alasan Medis
Yaitu pemohon dalam kondisi seperti lebih banyak mengutarakan bukti-bukti secara medis baik itu genetik maupun kondisi fisik yang dialami, dimana kondisi tersebut tidak lagi dapat diubah karena pengaruh bawaan medis. Dengan alasan ini, hakim umumnya mengabulkan permohonan.

2. Alasan Kejiwaan
Pemohon pada alasan ini didominasi faktor historis perrumbuhan, pergaulan lingkungan, dan kecenderungan psikis dari internal diri, juga diketahui terdapat pengaruh beberapa paham yang berkembang seperti LGBT. Dengan alasan ini, hakim umumnya menolak permohonan ganti kelamin.

Bagaimana kasus Lucinta? Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) meminta keterangan saksi kakak dan adik Lucinta. Saksi memberikan keterangan terkait perilaku Lucinta. Menurutnya, disebutkan Lucinta telah berperilaku seperti perempuan.

"Dua orang saksi, kakak kandungnya dan adik kandungnya," kata Humas PN Jaksel Achmad Guntur.

Guntur juga menyebut Lucinta memberikan beberapa dokumen, seperti akte kelahiran hingga sertifikat operasi dari rumah sakit di Thailand. Tidak hanya itu, disebutkan ada juga surat keterangan yang dikeluarkan dari seorang psikiater.

"Bukti surat itu ada akte kelahiran, kemudian kartu tanda penduduk atau KTP, ada kartu keluarga, kemudian ada sertifikat dari dokter rumah sakit, kemudian ini dokternya kan di Thailand dan ada terjemahannya," kata Guntur.

Editor: Nandra F Piliang

Tags

Terkini

Terpopuler