Balas Dendam vs Balas Budi

Jumat, 26 Februari 2016 - 08:12 WIB
ilustrasi

Dari sisi positif pelaksanaan Pilkada langsung pada dasarnya membuat masyarakat daerah mengenal calon kepala daerahnya. Konstituen akan lebih dekat mengenal calon. Kemudian siapapun yang terpilih berarti mendapatkan mandat dari rakyat yang dipimpinnya.

Namun, di sisi lain, ada fenomena yang menarik dari pelaksanaan Pilkada langsung ini, yakni adanya ekses balas dendam dan balas budi bagi pasangan calon yang dinyatakan sebagai pemenang Pilkada langsung. Imbas dari balas dendam versus balas budi tersebut adalah tataran Aparatur Sipil Negara.

Meski sesuai aturannya, para ASN ini tidak dibenarkan ikut berpolitik atau terlibat langsung sebagai TIM Sukes pasangan calon, namun realitas di lapangan keterlibatan ASN ini baik secara langsung maupun tidak langsung tidak bisa dipungkiri lagi, kendati cukup sulit untuk dibuktikan karena mereka bermain di belakang layar.

Akibatnya, bagi para ASN yang pasangan calon yang mereka unggulkan dinyatakan sebagai pemenang Pilkada, maka "Balas Budi" sudah hampir bisa dipastikan akan mereka terima selama lima tahun kepemimpinan.

Sebaliknya, bagi yang pasangan kepala daerah yang mereka dukung kurang beruntung, maka bersiap-siap pula mereka harus menerima konsekwensinya, mulai dari hilang jabatan, dipindahkan ke daerah yang jauh dan banyak lagi dampak dari politik balas dendam ala Pilkada langsung ini.

Kondisi itu yang selama ini terjadi di hampir seluruh daerah, termasuk  di kabupaten/kota di Riau. Betapa banyak informasi yang menyebutkan para ASN mendapatkan dampak dari pelaksanaan Pilkada langsung ini, karena sang penguasa, dengan kekuasaannya melakukan apa yang mereka sukai yang terkada juga melanggar rambu-rambu dan aturan.

Demikian juga di 9 kabupaten/kota di Riau yang sudah melaksanakan Pilkada serentak, hampir dapat dipastikan para ASN ini akan menerima ekses balas budi dan balas dendam ini.

Selain itu, terkotak-kotaknya  warga di berbagai daerah akibat pelaksanaan pilkada langsung tak bisa ditutup-tutupi lagi. Pengotak-kotakan itu sulit dihindari karena tokoh-tokoh lokal yang bertarung dalam kontestasi pilkada lazimnya mengerahkan dukungan dari keluarga besar, kerabat, suku, dan warga dari desa atau kampung tempat lahir sang calon.
Pengotak-kotakan itu tidak otomatis berakhir pasca pilkada. Ketidakpuasan dari calon yang dinyatakan kalah selalu menyisakan sentimen negatif terhadap calon yang menang bersama pendukungnya.

Sentimen negatif seperti itu mudah menimbulkan gesekan.
Artinya, ekses pilkada langsung bukan hanya terlihat dari biaya politik yang begitu tinggi. Salah satu kerusakan paling parah akibat pilkada langsung adalah menyisakan disharmoni dalam masyarakat serta hilangnya sistem nilai yang diadopsi masyarakat setempat secara turun-temurun.

Padahal, harmoni dan sistem nilai yang berakar pada kearifan budaya lokal itu secara historis justru telah menjadi faktor penguat ketahanan warga setempat.

Kemudian lagi, ada kecenderungan bahwa pengotak- kotakan warga akan terus berulang setiap daerah menyongsong hajatan pilkada. Tidak ada yang bisa memberi jaminan bahwa pengotak-kotakan masyarakat itu bisa dihilangkan dalam rentang waktu tertentu.

Dengan melihat berbagai ekses negatif dan positif dari Pilkada ini, sudah seharusnya jajaran pengambil kebijakan untuk mengambil langkah antisipasi, sehingga calon kepala daerah yang dinyatakan sebagai pemenang Pilkada tidak bisa semena-mena dalam mengambil tindakan terutama bagi para ASN.***



 

Editor:

Terkini

Terpopuler