Fatwa MUI Timbulkan Kontroversi

Kamis, 30 Juli 2015 - 10:52 WIB
bpjs

JAKARTA (HR)-Beragam komentar terlontar terkait putusan Majelis Ulama Indonesia yang telah mengeluarkan fatwa haram terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Penyebab keluarnya fatwa itu, karena dalam penerapannya, BPJS Kesehatan dinilai tidak sesuai dengan ketentuan syariah, khususnya dalam pemberlakuan bunga.

Fatwa tersebut diputuskan dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015 di Tegal, Jawa Tengah, beberapa hari lalu. Fatwa MUI tersebut tentu sangat mengejutkan. Pasalnya, BPJS Kesehatan mendapat antusias yang sangat besar dari masyarakat di Tanah Air.

Belakangan, fatwa itu mengundang kontroversi di tengah masyarakat. Hal itu disebabkan sebagian besar masyarakat di Tanah Air, menggunakan program itu dalam memenuhi kebutuhan kesehatan mereka.

Terkait hal itu, Ketua Bidang Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin, saat dikonfirmasi Rabu (29/7) kemarin menerangkan, unsur yang menjadikan BPJS Kesehatan itu tak sesuai syariah adalah bunga.

“Ya menggunakan bunga, indikatornya bunga,” ujarnya. Namun demikian, Ma'ruf Amin mengatakan dengan keluarnya fatwa tersebut, bukan berarti BPJS Kesehatan harus dihentikan. Solusi yang paling tepat menurutnya adalah harus segera dibuat BPJS Kesehatan yang mengadopsi syariah.

“Harus dibuat yang syariah. Harus ada BPJS yang syariah, yang diloloskan (syarat-syaratnya) secara syariah,” jelasnya.

Tidak itu saja, lanjutnya, MUI akan ikut menjalankan perannya membantu pemerintah menelurkan BPJS Kesehatan beserta produk-produknya yang sesuai dengan syariah. “Ya nanti kan dibuat bersama dengan produknya yang syariahnya, sesuai fatwa MUI,” pungkasnya.

Sesuai hasil ijtima ulama, MUI telah melakukan kajian mendasar mengenai BPJS Kesehatan tersebut, terutama dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu'amalah. Dalam penelitian itu, MUI menilai BPJS Kesehatan belum mencerminkan jaminan sosial dalam Islam.

"Secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam, terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak," tulis MUI dalam rekomendasi hasil ijtima.

Tak hanya itu, MUI juga menyorot denda administrasi sebesar 2 persen per bulan dari jumlah iuran tertunggak, baik bagi penerima upah maupun bukan. Denda ini dibayarkan secara bersamaan.

Dari hasil pengkajian tersebut, MUI menilai penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syariah. Sebab, pelaksanaannya mengandung unsur gharar, maisir dan riba.

Sementara itu, tanggapan beragam muncul pasca keluarnya fatwa MUI tersebut. Seperti dituturkan Devi, warga Pekanbaru. Menurutnya, ia tidak begitu mengetahui secara pasti alasan keluarnya fatwa itu. Namun menurutnya, bila fatwa MUI seperti itu, sebaiknya pemerintah segera bersikap. "Apalagi mayoritas masyarakat Indonesia kan muslim. Sehingga fatwa itu seharusnya disikapi secara serius oleh pemerintah. Sehingga masyarakat Indonesia khususnya yang muslim, dapat menikmati program BPJS Kesehatan ini dengan hati yang tenang," harapnya.

Wapres Jusuf Kalla, ketika dikonfirmasi terkait hal itu mengaku belum tahu apa pertimbangan MUI mengeluarkan fatwa itu. Kalla menyatakan, perlu digali lebih jauh alasan MUI menyatakan BPJS haram.

"Saya belum baca itu, tetapi yang dimaksud halal itu jelas. Agama Islam itu sederhana, selama tidak haram, ya halal. Pertanyaannya, apanya yang haram? Tentu perlu kita gali," ujarnya.

Sedangkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj menilai, MUI terlalu sering mengobral fatwa. Ia membandingkan MUI dengan lembaga pemberi fatwa di Mesir yang dalam satu tahun hanya mengeluarkan dua sampai tiga fatwa.

Said melanjutkan, PBNU tidak pernah mengeluarkan fatwa. Kalaupun ada, hal itu merupakan hasil Muktamar NU.

Menurut Said, dalam Muktamar ke-33 NU di Jombang nanti, akan dibahas sejumlah permasalahan yang mengemuka di Indonesia, di antaranya membahas aturan hukum BPJS, hukum pemimpin atau wakil rakyat yang mengingkari janji kampanye, penghancuran kapal pencuri ikan, hukum memakzulkan pejabat, hukum mengeksploitasi alam berlebihan, utang luar negeri, serta perlindungan dan pencatatan pernikahan bagi TKI umat Islam di luar negeri.

Sejauh ini, belum ada tanggapan resmi dari pihak BPJS Kesehatan terkait fatwa tersebut. Menurut Kepala Humas BPJS Irfan Humaidi, pihaknya bersikap terbuka dan siap menerima masukan dari berbagai pihak tentang lembaga itu.  

Menurutnya, dalam melaksanakan program kerja, BPJS Kesehatan adalah sebagai eksekutor, atau hanya melaksanakan perintah UU yang dibuat pemerintah dan DPR.

Menurut Irfan, pihaknya tidak ada memberlakukan sistem bunga atau membungakan uang. "Kita bukan institusi keuangan yang melakukan pembiayaan kepada pihak ketiga yang mungkin ada unsur tadi. Kita murni menyelenggarakan, mengumpulkan pungutan duit yang dikumpulkan dengan gotong royong dan itu dipergunakan bagi yang sakit. Jadi gotong royong yang tidak sakit bantu yang sakit," terangnya.

Ia membenarkan, salah satu aturannya yang berlaku dalam BPJS Kesehatan adalah pengenaan denda bila terlambat membayar iuran. "Namun untuk mengubah aturan itu, bukan hak kita. Karena kita bukan legislator. Bukan kewenangan kita menanggapi menolak atau menerima dari fatwa MUI," tambahnya.

Dikatakan, pihaknya terbuka untuk masukan dari berbagai pihak, termasuk MUI. "Itu masukan. Nanti dilihat pemerintah. Silakan mengambil keputusan, BPJS menyelenggarakan saja. Saya tidak ke arah sana (setuju atau menolak) tapi yang saya tahu, bisa dilihat di rekomendasi MUI itu adalah mendorong pemerintah untuk menerapkan BPJS ini mengadopsi prinsip syariah.

Secara esensi bahwa penyelenggaraan BPJS Kesehatan banyak muatan syariah. Pertama SJSN prinsip gotong royong, kalau bahasa arabnya, ta'awun, saling bantu, di situ ada prinsip syariah. Kalau ada pengenaan denda itu menjadi masukan pemerintah untuk regulasi. Pihaknya siap melaksanakan

Sedangkan denda keterlambatan, menurutnya tidak berbunga dan tidak berhubungan dengan itu. "Kita sama seperti bank syariah, kalau nasabah nunggak, telat bayar, ada biaya administrasi, keterlambatan, bukan menerapkan bunga majemuk.

Kalau enggak bayar terus dikalikan bunga besar dari pokok itu enggak ada itu kewajiban peserta kalau nunggak dibayar denda memang, itu hanya dua persen dan hanya tiga bulan, berikutnya tanpa tambahan dua persen, dan kita prinsipnya nirlaba tidak ada kepentingan untuk meraup keuntungan karena dana terkumpul kembali ke manafaatkan peserta," ujarnya lagi. (bbs, mer, kom, st, sis)

Editor:

Terkini

Terpopuler