From Nothing to Something

Ahad, 03 Mei 2015 - 13:21 WIB
Freddie Roach (kiri) dan Manny Pacquiao (kanan)

MEI 2001, Manny Pacquiao bukanlah siapa-siapa. Ia datang ke Amerika, tepatnya ke kota San Fransisco, California, Amerika Serikat, sama dengan kebanyakan migran Filipina lain; ingin mencari pekerjaan dan kehidupan lebih baik.

Tapi, sama dengan migran-migran itu, semua impian tak mudah diraih, maka ia pun terkatung-katung tanpa pekerjaan yang pasti. Meski ia adalah seorang petinju dan mantan  juara dunia kelas terbang WBC serta masih memegang gelar juara WBC Internasional Super Bantam, di negeri Paman Sam itu, terlalu banyak petinju seperti dirinya.

Siang itu, tepatnya minggu ketiga Mei 2001, Pacquiao menggunakan bus antarkota dari San Fransisco menuju Los Angeles. Menurut pengakuannya, sepanjang perjalanan, Pacquiao sama sekali tak pernah berpikir untuk menjadi seperti hari ini. Hatinya hanya ingin melepas rasa penasaran sambil meminta nasihat jika memungkinkan dari seorang pelatih besar, Freddie Roach.

Pacquiao cukup tahu diri untuk tidak berharap macam-macam. “Bisa bertemu, apalagi benar-benar memperoleh nasehat, maka segala impianku tentang Amerika, kuanggap selesai,” katanya.

Hampir tiga jam lebih Pacquiao harus menunggu di luar gymnasium tempat Roach melatih. Ketika sang impian keluar, maka ia beranikan diri untuk mendekat. Begitu jarak keduanya dekat, ada ketakutan lain menyeruak dari dada Pacquiao. Ya, ia pantas takut lantaran bahasa Inggrisnya benar-benar pas-pasan.

“Siapa?” kata Freddie Roach sebagaimana ia tuturkan kembali saat berkisah tentang awal pertemuannya dengan Pacquiao. “Apakah anda benar petinju? Apakah benar anda pernah menjadi juara dunia?” Roach kembali menuturkan.

Kala itu Pacquiao hanya tersipu-sipu. “Wajahnya kelihatan pucat,” tambah Roach yang saat diwawancara itu duduk di sebelah kiri Pacquiao. “Saya tidak pernah mendengar namamu!”

Namun untuk menyenangkan hati pemuda itu, Roach lalu meminta Pacquiao untuk melakukan shadow-boxing, gerakan bertinju tanpa lawan. “Boleh juga,” ujar Roach kala itu. “Kamu berani untuk sparing (latih tanding) dengan petinju saya?” tanya Roach yang langsung dijawab dengan anggukan kepala sangat keras oleh Pacquiao.

“Dari situlah saya melihat ada sebuah potensi besar di dalam diri anak ini,” kenang Roach.

Singkat cerita, Pacquiao diterima untuk berlatih dan bermukim di gym. “Sungguh, saya tak pernah memikirkan hal ini, tapi Tuhan memberikan jalan ini untuk saya,” kata Pacquiao yang berulang kali memuji dan mengucapkan terima kasih pada Roach.

“Dia (Roach) adalah ayah saya, guru saya, kakak saya, sahabat saya, dan penyelamat saya,” katanya lagi yang disambut dengan tawa panjang sang pelatih dan ‘penemu’ itu.

Juni yang Menentukan
Belum genap satu bulan Pacquiao berlatih di sasana milik Roach, tiba-tiba ia didatangi oleh sang pelatih dan menawarkan sebuah pertandingan. “Aku bersedia,” katanya singkat dan penuh antusias.

Roach sebelumnya menerima telepon dari promotor Bob Arum, pemilik Top Rank. Ia diminta untuk menyiapkan seorang petinju pengganti lantaran Enrico Sanchez lawan Lehlo Ledwaba, juara dunia kelas Super Bantam versi IBF ‘miliknya’ asal Meksiko cedera. Permintaan Arum saat itu juga dengan ‘pesan khusus’ yakni petinju yang sangat mungkin bisa dengan mudah dikalahkan Ledwaba.

Sebagai bos Top Rank yang sudah memiliki Oscar Golden Boy De La Hoya, ingin memiliki petinju lain yang bisa menghasilkan pundi-pundi dolar lebih banyak lagi dan tentu saja bisa mengungguli Don King, promotor pesaingnya.

Muncul di MGM Grand sedemikian cepat, menurut Pacquiao juga tidak ada dalam pikirannya. Tapi ketika Tuhan memberikan kesempatan, ia berpantang untuk tidak maksimal. Malam 23 Juni 2001, adalah malam yang sangat menentukan bukan hanya bagi seorang Manny Pacman Pacquiao tetapi juga bagi Roach, Arum, dan dunia tinju secara luas.

Pacquiao bukan siapa-siapa saat itu, tak seorang pun di MGM yang mengenalnya. Bahkan seorang komentator sebuah televisi Amerika yang malam itu bertugas terdengar agak merendahkannya saat ia membaca namanya: “Dari Filipina, Manny Pakayo,” katanya seperti sengaja salah dalam menyebut Pacquiao (Pakiao) menjadi Pakayo. Nada suara dan tawanya jelas sekali ia ingin melukiskan bahwa lawan Ledwaba yang sudah lima kali mempertahankan gelarnya itu, bukanlah siapa-siapa.

Tapi ketika pertarungan berlangsung, semua orang tercengang. Roach, Arum, penonton, dan komentator itu tak henti memuji penampilan petinju asal Filipina itu. “Magic....., magic...., magic!” teriak Arum yang langsung mengikat kontrak untuk jangka waktu yang tak dituliskan. Ya, Pacquiao bukan hanya menang atas Ledwaba dan meraih sabuk juara dunia helas Super Bantam versi IBF, tapi ia menyungkurkan sang juara dunia sebanyak tiga kali sebelum akhirnya Ledwaba tak bangun lagi di ronde ke-6.

Kemangan itu telah mengubah Pacquiao dari nobody menjadi somebody dari nothing menjadi something. Ia juga sekaligus mengubah Roach dari pelatih besar menjadi pelatih legendaris dan satu-satunya pelatih yang mampu mengantarkan petinju menjadi juara dunia di delapan kelas berbeda. Kemenangan itu juga telah melambungkan Arum melewati Don King mantan anak buahnya yang ‘berkhianat’.Kemenangan itu juga telah membuat Oscar melangkah meninggalkan Arum dan mendirikian bendera Golden Boy Promotions.

Jaga Emosi
Lalu, bagaimana peluang Pacquiao saat berhadapan dengan Mayweather? Pasar taruhan di Amerika menempatkan Mayweather 55 persen dan 45 untuk Pacquiao. Dari catatan yang saya miliki, angka presentase itu bukanlah jaminan tapi lebih pada sentimen ke-Amerika-an saja. Lihat saja angka atau prediksi di Filipina, 99,9 persen rakyat negeri itu meyakini petinju akan menang.

Menurut Mike Tyson, Evander Hollyfield, Oscar De La Hoya, dan Julio Cesar Chavez Sr, ramai-ramai mengatakan Pacquiao akan memenangkan pertarungan. Bahkan mantan Ketua MPR, Amien Rais juga mengatakan hal serupa. Walau demikian baik Tyson, Hollyfield, Oscar, Chavez, sama-sama membuat catatan agar Pacquiao bisa menjaga emosinya.

Emosi? Ya, para legenda itu melihat Pacquiao memiliki potensi emosi yang lebih tinggi. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Roach: “Tak ada orang yang paling ‘dibenci’ oleh Pacquiao kecuali Mayweather!”

Hal ini timbul karena Mayweather melakukan banyak hal yang merendahkan sang lawan. Tudingan awal yang berbuntut ke pengadilan adalah tuduhan bahwa Pacquiao selalu menggunakan doping dan ia menolak dites doping. Tidak hanya itu, Mayweather juga menyebut Pacquiao petinju paling ceroboh dan sama sekali tidak memiliki tinju dengan baik. Mayweather juga menyebut Pacquiao tak layak dibayar sama besar dengan dirinya.

“Siapa pun dia, jika seorang petinju naik ke ring dengan dendam berlebih, maka ia tidak akan mampu menjaga emosinya!” begitu kata Chavez Sr. “Nah, jika Pacquiao benar-benar mau menang, maka ia harus mampu menjaga emosinya,” katanya lagi.

Terkait dengan itu, bagi Hollyfield, Pacquiao juga harus mampu mengurung, menekan ke sudut, masuk dan keluar. “Hal itu bisa dilakukan oleh Pacquiao hanya dengan catatan ia mampu mengelola emosinya,” tukas Hollyfield.

Tyson sendiri mengatakan seorang petinju harus memiliki emosi, tanpa emosi, maka ia tak akan menang. “Tapi jika emosi berlebih, maka seluruh saluran jadi mampet!”

Menurut hemat saya, satu-satunya kelemahan Pacquiao ada di emosi. Dari beberapa catatan yang saya miliki, Pacquiao sering kali tak mampu mengelola emosinya. Contoh paling konkret saat itu berlaga dengan Juan Manuel Marquez, 8 Desember 2012. Pacquiao yang sesunguhnya sudah berada di atas angin, justru tersedak pukulan Marquez karena ia tak kuasa mengelola emosinya ingin menjatuhkan sang lawan dengan cepat.

Jika dalam pertarungan nanti (3 Mei 2015) ia tak mampu menjaga emosinya, maka bukan tidak mungkin ia akan jadi bulan-bulanan Mayweather. Perlu dicatat juga, Mayweather sangat piawai memainkan peran berpura-pura dan sangat licik.

Ini bisa kita lihat saat ia menghadapi Marcos Maidana seri-1 (3 Mei 2014), ia berpura-pura tekena low-blow dan ‘merengek’ pada wasit. Lalu kelicikan yang ia lakukan saat menmghadapi Victor Ortiz (17 September 2011). Mayweather merengek pada wasit karena merasa ditanduk, dalam tayangan ulang tandukan Ortiz sama sekali tak berhasil menembus wajah Mayweather.

Begitu wasit menyatakan pertarungan dimulai lagi, Ortiz yang merasa bersalah ingin memberikan pelukan lagi. Alih-alih memperoleh sambutan permintaan maaf, Mayweather justru menyambutnya dengan hook kiri yang keras dan disusul dengan pukulan lurus tangan kanan yang sangat keras, maka terjengkjanglah Ortiz di ronde ke-4.

Nah, fakta-fakta itu harus menjadi catatan Pacquiao jika ia benar-benar ingin memenangkan pertarungan. Meski demikian, sebagai petinju kidal, Pacquiao seungguhnya memiliki keunggulan tersendiri. Kemampuan bertahan Mayweather dengan shoulder-block (pertahanan menggunakan bahu) yang selama ini ampuh, akan mampu ditembus oleh Pacquiao dengan tangan kirinya. Roach berulang menekankan pada Pacquiao untuk terus berada di bagian kanan Mayweather agar tangan kirinya bisa dimanfaatkan untuk menembus pertahan bahu lawan.

Bagi saya, Manny Pacquiao juga memiliki keunggulan bisa memberondongkan lebih dari enam pukulan kombinasi dalam menyerang. Lagi-lagi catatan saya memperlihatkan Mayweather mengalami kesulitan yang besar saat Ortiz dan Maidana memberondongkan pukulan bertubi-tubi. Beda Ortiz dan Maidana dengan Pacquiao adalah kualitas pukulan dan akurasi.

Jadi, saya ingin mengatakan Pacman akan memangkan pertarungan TKO atau KO di atas ronde ke-8, dengan catatan ia harus mampu menjaga emosinya.
Pertarungan abad ini yang akan disiarkan oleh tvOne ini wajib untuk ditunggu!***

Tulisan ini merupakan catatan dari pengamat tinju Indonesia, M Nigara. Penulis adalah wartawan senior yang sangat akrab dengan dunia tinju dan pernah meliput langsung pertandingan tinju di Las Vegas, Amerika Serikat. Saat ini, M Nigara aktif sebagai komentator acara tinju di tvOne. ***

Editor:

Terkini

Terpopuler