Sudah 17 Tahun MPR Tak Gunakan Kewenangan

Sudah 17 Tahun  MPR Tak Gunakan Kewenangan

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Margarito Kamis melihat MPR sudah 17 tidak menggunakan kewenangan. Terakhir MPR menggunakan kewenangannya melakukan perubahan atau amandemen keempat UUD 1945.

"Sejak 2002 terakhir perubahan UUD sampai sekarang, 17 tahun MPR tidak pernah mengunakan kewenangannya. Salah satu kewenangannya adalah mengubah UUD," kata Margarito dalam diskusi Empat Pilar MPR bertema 'Mekanisme Check and Balances Lembaga Negara’ bersama  anggota MPR RI Fraksi PAN Saleh Daulay dan  Wakil Ketua DPD RI Nono Sampno, di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/6/2019). 

Dijelaskan Margarito, kewenangan MPR yang bersifat imperatif penuh itu mengubah UUD. Sedikit saja yang berkenaan dengan hukum. Selebihnya memilih wakil presiden kalau presidennya berhalangan tetap lalu wakil presiden jadi presiden. Masa jabatan wakil presiden kosong lalu dipilih oleh MPR.


"Habis itu lantik dan melantik bisa tidak absolute dilakukan oleh MPR, bisa dilakukan oleh lembaga lain dalam hal ada keadaan yang menghalangi MPR menggunakan kewenangan itu. Jadi praktis hanya itu, selesai," kata Margarito. 

MPR membentuk UUD tetapi ada lembaga lain kata Margarito, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan , mengeluarkan keputusan yang dari segi substansi melampaui undang-undang dasar. Misalnya UUD tidak bicara soal pemilu  diselenggarakan secara serentak,  digabungkan, tapi lahir dari putusan MK, tapi MPR tak bisa berbuat apa-apa.

"Karena itu saya mengusulkan,  ditata ulang ini MPR. Menimum memiliki semacam pos Review  sebelum MK mengeluarkan keputusan. Kita buat kriteria kalau keputusan itu dalam sifat dan bentuknya serta esensinya melampaui kaidah undang-undang dasar dia hanya bisa berlaku setelah direview oleh MPR," kata Margarito.

Begitu juga dengan DPD kata Margarito, hanya  ikut membahas undang-undang yang berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah, pajak daerah, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang otonomi daerah, sumber daya alam di daerah.

"Semua hasil pengawasan DPD diserahkan kepada DPR , ya sudah selesai. Kalau seperti ini modelnya , kerangka kerja kayak begini ini, ini bukan namanya check and balance , tapi check and banting. Ambil, banting, simpan dan habis," jelasnya.

Margarito membandingkan dengan Amerika. Di  Amerika kekuasaan legislatif diletakan di kongres. Sedangkan di Indonesia kan tidak begitu, UUD kita tidak begitu. DPR mendapat kekuasaan membuat UU. 

"Saya mungkin orang yang agak sedikit kritis, sebab berkali-kali saya minta agar ini DPD harus di tata ,  MPR harus di tata. MPR ditata, terutama dalam rangka relasinya dengan kewenangan non lingkungan , sebut saja lingkungan parlemen," ujar Margarito.

Saleh Daulay juga melihat bahwa keberadaan MPR dan DPR posisinya belum begitu kuat dibandingkan dengan apa yang semestinya dari sisi tata negara. "Kalau menurut saya DPR dan MPR ini posisinya sangat lemah kalau misalnya dibandingkan dengan posisi pemerintah," kata Daulay.

Dia mencontohkan dalam membahas anggaran. Posisi DPR lemah karena yang menentukan anggaran di DPR, MPR dan DPD itu adalah pemerintah.  DPR, MPR dan DPD tidak punya kekuasaan apa-apa untuk itu.

"Tahun ini atau tahun 2020 akan ada pengurangan yang besar dari sisi anggaran yang ada di DPR, MPR dan DPD dan kita tidak memiliki kewenangan untuk mengatakan tidak," ungkap Daulay.

Reporter: Syafril Amir