Premi Tak Sesuai Manfaat yang Diterima, BPJS Kesehatan Lakukan Efisiensi

Premi Tak Sesuai Manfaat yang Diterima, BPJS Kesehatan Lakukan Efisiensi

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Kondisi defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan sebagai perusahaan penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih menjadi polemik, dan harus dicarikan jalan keluarnya. Dari Rp10,7 triliun baru Rp4,9 triliun jumlah hutang yang bisa dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada pihak rumah sakit. 

Disampaikan oleh Kepala BPJS Kesehatan Cabang Pekanbaru, Rahmat Asri Ritonga kepada Riaumandiri.co, Selasa (25/9) bahwa defisit yang terjadi saat ini memang sudah diprediksi sejak awal. 

Ini juga sudah diakui oleh ahli ekonomi dan juga ahli Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), yang menyatakan bahwa tarif yang dibayarkan oleh peserta tidak sesuai dengan manfaat yang diterima. 


"Seharusnya tarif itu disesuaikan dengan manfaat yang diterima oleh peserta. Khususnya di kelas 3, kelas yang merupakan peserta terbanyak. Seharusnya premi yang dibayarkan itu Rp36.000,- tetapi ditetapkan hanya Rp25.500. Dan kelas yang sesuai atau setara baru kelas 1 dengan premi Rp80.000," ujar Rahmat Asri didampingi staf Humas Dea di ruang kerjanya.

Dijelaskan Asri, sebenarnya pemerintah sudah melakukan antisipasi dan hadir untuk menyelesaikan permasalahan itu dengan langsung mengucurkan dana bantuan sebesar Rp4,9 triliun untuk menanggulangi kekurangan tersebut. 

Selain itu, pemerintah juga telah menyiapkan tiga opsi pilihan, di antaranya opsi pertama menggunakan bantuan atau dana talangan pemerintah. Dana talangan ini sudah menjadi viral dan diekspos diseluruh media, dimana pemerintah mengambil dari cukai rokok. 

Opsi kedua, melakukan pengurangan manfaat. Maksudnya, mengurangi layanan kesehatan dari awalnya ditanggung menjadi tidak ditanggung. Namun ini tidak dilakukan, karena mengingat layanan ini merupakan layanan yang dominan pasiennya dan sangat dibutuhkan oleh peserta. 

Serta opsi ketiga, yakni menaikkan jumlah premi, namun mengingat kondisi pertumbuhan ekonomi masyarakat saat ini tidak stabil maka opsi ini tidak dilakukan. Jadi dengan adanya kucuran dana bantuan dari pemerintah sebesar Rp4,9 Triliun tersebut, ini tentunya diharapkan sudah mengurangi hutang. 

Namun sisanya inilah yang tengah diupayakan, dengan melakukan bauran kebijakan seperti melakukan efisiensi terhadap biaya operasional BPJS kesehatan sendiri, pembayaran klaim kepada pihak rumah sakit dan juga dikeluarkannya Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) Nomor 2, 3 dan 5 Tahun 2018, yang mengatur tentang pelayanan katarak, persalinan dengan bayi lahir sehat, dan rehabilitasi medik, sebagai upaya efisiensi dan efektif. 

Sehingga dengan adanya analisa tersebut tentu akan membantu pengurangan biaya. "Jadi dengan efisiensi yang dilakukan, diharapkan akan bisa menutupi defisit yang terjadi hingga akhir tahun 2018 ini. Walau akar permasalahan adalah tidak seimbangnya dana yang diterima dan dana yang dikeluarkan," paparnya. 

Seiring dengan kondisi tersebut, tambah Asri, pihaknya juga terus melakukan perbaikan sistem baik layanan maupun sistem pengelolaan. Salah satunya dalam 

menerapkan verifikasi digital klaim (Vedika) bagi fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL). Dimana teknologi ini tujuannya untuk memudahkan dalam proses verifikasi klaim tagihan pelayanan kesehatan Program Jaminan Kesehatan Nasional - Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

Banyak Kendala yang Dihadapi

Defisit yang terjadi juga banyak menghadapi kendala dalam penerapannya ditengah masyarakat. Tak hanya karena tidak seimbangnya anggaran, tetapi kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayarkan premi tepat pada waktunya juga menjadi kendala. 

Sementara sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan bahwa batas pembayaran premi yakni setiap tanggal 10 setiap bulannya. Sementara, yang didapati banyak masyarakat hanya membayar ketika butuh atau ketika sakit saja. Jika tidak maka tidak dilakukan pembayaran. 

Padahal iuran BPJS Kesehatan menganut sistem gotong royong, dimana yang sehat membantu yang sakit. Namun jika yang sehat tidak membayarkan preminya tentu ini justru akan semakin memberatkan BPJS Kesehatan khususnya pemerintah. Tidak hanya itu, masih lambatnya pembayaran peserta Jamkesda yang dilakukan oleh pemerintah. 

"Jadi pembayaran dari pemerintah untuk peserta Jamkesda masih terlambat dan pembayaran dilakukan kalau tidak diakhir atau pertriwulan. Padahal ini sebenarnya bisa dibayarkan didepan, dan ini kan masih menjadi masalah karena hingga sekarang ada yang belum dibayar dan belum melunasi," tambah dia. 

Tercatat hingga Juli 2018, jumlah tunggakan peserta mandiri yang belum diterima sebesar Rp112 Miliyar dari empat kabupaten. Meliputi Kabupaten Kampar, Pelalawan, Rohul dan Pekanbaru dengan jumlah terbesar ada di Kota Pekanbaru sekitar Rp57 Miliar dan terbanyak di Kecamatan Tampan," pungkasnya.

Reporter: Renny Rahayu