Menuju Haji Mabrur, Ikhlas dan Sabar Selama Proses Ibadah di Tanah Suci

Menuju Haji Mabrur, Ikhlas dan Sabar Selama Proses Ibadah di Tanah Suci

RIAUMANDIRI.CO, MAKKAH - Jamaah haji seluruh penjuru dunia telah melaksanakan seluruh rangkaian haji. Mulai dari ibadah umrah dengan melaksanakan tawaf dan sai, dilanjutkan menjalani puncak haji pada 9 Zulhijah di Padang Arafah. Di Arafah jutaan jamaah selama satu hari memanjatkan doa, bertobat, dan berzikir.

Usai melaksanakan haji di Padang Arafah, jamaah melanjutkan perjalanan menuju Musdalifah untuk menjalani prosesi sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Di Musdalifah jamaah mengumpulkan batu sebanyak yang dibutuhkan untuk melempar Jamarat di Mina.

Proses ibadah di Mina inilah yang menjadi ibadah yang cukup berat dijalani jamaah. Selama 4 hari Mabid atau tinggal di Mina, jamaah tinggal ditenda yang hanya cukup untuk tidur dan duduk. 


Semua jamaah masing-masing kloter menumpuk di satu tempat tenda. Begitu juga dengan tempat wudu dan mandi, jamaah harus mengantri. Setiap menitnya tidak henti jamaah keluar masuk kamar mandi dan toilet yang dijadikan satu.

Untuk maktab 41 saja, yang sebanyak 6 kloter, dari Riau, Kalimantan, Jawa, Aceh, yang jumlah jamaah hajinya mencapai 2000 orang, hanya menggunakan lebih kurang 30 kamar mandi dan sekaligus toilet dan tempat wudu. 

“Inilah haji, kita harus bisa menahan kesabaran dan ikhlas menerima apa yang telah diberikan saat menjalani ibadah. Yang sempit dilapangkan, yang panas dirasakan dingin, dan yang dingin dirasakan panas. Apapun yang terjadi harus diterima, inilah haji tidak pandang bulu, pejabat maupun orang biasa, jamaah yang sakit, yang tidak bisa berjalan dengan menggunakan kursi roda berkumpul di satu tempat, semua sama di mata Allah SWT,” 

Yah memang berbeda ketika berada di hotel tempat penginapan jamaah di Mekah. Kamar lapang, air mandi tercukupi, Mushalla tersedia, dan bagi jamaah yang sanggup ke Masjidil haram bisa solat di Kabah dengan menggunakan bus shalawat yang bergerak setiap lima menitnya. 

Selama di Mina jamaah harus menjalani proses ibadah yakni melontar Jamarat. Tiga tugu jamarat yakni Ula, Wustha dan Aqabah, dengan membawa batu kerikil yang dilempar masing-masing jamarat sebanyak tujuh buah pada tanggal 10, 11, dan 13 Dzulhijah, bahkan ada yang empat kali melempar menuju Jamarat.

Perjalanan menuju Jamarat memang harus dengan stamina yang cukup, jika tidak mempunyai fisik yang kuat bisa-bisa berhenti di tengah jalan. Perjalanan dari tenda ke Jamarat mencapai 3 kilometer, dengan melewati dua terowongan Mina. Begitu juga sebaliknya setelah melempar Jamarat, perjalanan pulang juga menempuh jarak sepanjang 3 km. 

Selama di Mina, hampir seluruh jamaah menderita sakit batuk dan pilek, dan kelelahan. Bahkan untuk jamaah Indonesia selama di Mina dua orang meninggal dunia, termasuk salah satunya jamaah asal Riau dari Bengkalis. Meninggal dunia karena kondisi sakit dan juga karena kelelahan. 

“Inilah haji, kita tidak tau kapan dipanggil oleh Allah SWT. Di saat perjalanan menuju Jamarat sehat walafiat, namun di saat sedang beristirahat Allah mencabut nyawa manusia. Baik tua, muda, kapanpun Allah bisa mencabutnya. In sha Allah jamaah yang meninggal ditempatkan di surgaNya yang paling baik,” 

Dan kini seluruh jamaah haji telah berada di Mekah usai Mabid di Mina. Jamaah melanjutkan dengan ibadah lainnya menjalani tawaf ifadah. Tawaf ini sebagai salah satu syarat wajib haji, sama halnya seperti tawaf awal, dimana jamaah haji menjalani tawaf mengelilingi Kabah 7 keliling, sai dan Tahalul. Dengan selesainya proses ini maka usailah perjalanan ibadah haji jamaah.

Sekarang jamaah haji Indonesia sudah menyandang gelar Pak Haji, dan Bu Hajah. Selama seminggu kedepan sebelum pulang ke tanah air, jamaah bisa melaksanakan ibadah wajib salat lima waktu di Masjidil Haram bagi yang sanggup. Bagi yang tidak sanggup bisa salat di mushalla masjid. 

Hanya tinggal satu ibadah lagi yang harus dijalani jamaah haji sebelum berangkat pulang menuju tanah air, yakni tawaf Wadak, atau ibadah perpisahan di Mekah, dengan hanya menjalani tawaf mengelilingi Kabah. 

Itulah rangkaian ibadah haji yang dijalani oleh jamaah haji dari seluruh penjuru dunia. Dan sekarang hasil dari Pelaksanana haji itu tergantung dari diri pribadi masing-masing jamaah. Tentu yang diharapkan oleh jamaah adalah menjadi haji yang mabrur. Dan itu tentunya akan dilihat nantinya ketika berada di tanah air, apakah ada perubahan setelah menjalani ibadah Haji. 

Deri catatan-catatan yang ada, tanda haji Mabrur menurut Rasulullah, Haji mabrur menurut bahasa adalah haji yang baik atau yang diterima oleh Allah SWT. Sedangkan menurut istilah syar’i, haji mabrur ialah haji yang dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, dengan memperhatikan berbagai syarat, rukun, dan wajib, serta menghindari hal-hal yang dilarang (muharramat) dengan penuh konsentrasi dan penghayatan semata-mata atas dorongan iman dan mengharap ridha Allah SWT.

Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah SAW memberikan penjelasan terkait pahala atau balasan bagi jamaah haji yang mendapatkan predikat mabrur.

“Tidak ada balasan (yang pantas diberikan) bagi haji mabrur kecuali surga,” (HR Bukhari).

Predikat mabrur memang hak perogratif Allah SWT untuk disematkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Tetapi seseorang yang dapat meraih haji mabrur pasti memiliki ciri-ciri tersendiri.

Rasulullah SAW juga pernah memberikan kisi-kisi tanda atau ciri-ciri bagi setiap orang yang mendapatkan predikat mabrur hajinya.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya. “Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?’ Rasulullah menjawab, ‘Memberikan makanan dan menebarkan kedamaian.’”

Walaupun hadits ini divonis munkar syibhul maudhu’ oleh Abu Hatim dalam kitab Ilal ibn Hatim, tetapi ada riwayat lain yang marfu’ dan memiliki banyak syawahid. Bahkan divonis Shahihul Isnad oleh Al-Hakim dalam kitab Mustadrak-nya, walaupun Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Sebagaimana dikutip Imam Badrudin Al-Aini dalam Umdatul Qari-nya.

“Rasulullah SAW ditanya tentang haji mabrur. Rasulullah kemudian berkata, ‘Memberikan makanan dan santun dalam berkata.’ Al-Hakim berkata bahwa hadits ini sahih sanadnya tetapi tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.”

Dari dua hadits di atas bahwa sebagian dari tanda mabrurnya haji seseorang ada tiga. Pertama, santun dalam bertutur kata (thayyibul kalam), kedua; menebarkan kedamaian (ifsya’us salam), dan ketiga, memiliki kepedulian sosial yaitu mengenyangkan orang lapar (ith‘amut tha‘am)

Dari tiga ciri ini, bisa disimpulkan bahwa predikat mabrur yang diraih oleh seorang yang telah menjalankan ibadah haji sebenarnya tidak hanya memberikan dampak terhadap kehidupan orang tersebut, melainkan juga berdampak besar kepada sisi sosial di lingkungan orang yang berangkat haji tersebut. Wallahu a‘lam.

Penulis: Nurmadi, Wartawan Riaumandiri.co dan Haluan Riau