Fadli Zon: BSSN Jangan Berperan Sebagai Polisi Demokrasi

Fadli Zon: BSSN Jangan Berperan Sebagai Polisi Demokrasi
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPR RI Fadli Zon mendorong Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) agar bekerja sesuai aturan, kredibel, akuntabel, dan transparan. Dia juga mengingatkan BSSN  harus terbuka terhadap pengawasan eksternal. 
 
"BSSN adalah alat negara, bukan alat rezim untuk melanggengkan kekuasaan. BSSN jangan berperan sebagai polisi demokrasi," tegas Fadli Zon dalam penyataan tertulisnya yang disampaikan kepada awak media, Senin (8/1/2018).
 
Dijelaskan Fadli, keberadaan BSSN telah dirancang sejak 2015. Desain awal bukanlah untuk mengurusi hoaks atau konten negatif di internet, tapi membangun ekosistem keamanan siber nasional. 
 
"Jadi, kalau tiba-tiba Kepala BSSN ngomong seolah tugas BSSN adalah untuk menangkal hoaks, itu harus segera diluruskan. Untuk mengatasi hoaks, hate speech, atau konten negatif internet, sudah ada lembaga yang menangani hal itu, mulai dari Direktorat Cyber Crime di Bareskrim Polri, Kominfo, hingga Dewan Pers," jelas Fadli.
 
Tugas BSSN kata Fadli layaknya tugas kementerian pertahanan di dunia maya. BSSN, misalnya, harus bisa mengantisipasi serta mengatasi serangan ransomware seperti wannacry yang sempat bikin heboh tahun 2017 lalu itu. 
 
"Jangan sampai ransomware semacam itu mengancam, bahkan merusak infrastruktur siber strategis yang kita miliki, seperti jaringan siber perbankan, bandara, rumah sakit, atau sejenisnya. Jadi, itulah wilayah tugas BSSN, yaitu membangun ekosistem keamanan dunia siber, dan bukannya ngurusi hoaks dan sejenisnya" papar Fadli Zon.  
 
Menurut poltisi Gerindra itu, saat ini pengguna internet di Indonesia mencapai 132 juta orang. Hampir semua transaksi perbankan, pajak, listrik, serta transaksi komersial lainnya kini dilakukan via internet. Apalagi, kini pemerintah dan Bank Indonesia juga sedang mengkampanyekan Gerakan Non-tunai dalam berbagai transaksi. 
 
"Nah, semua itu butuh pengamanan siber. Indonesia saat ini masih rentan serangan siber. Sepanjang 2017, misalnya, saya baca ada lebih dari dua ratus juta serangan siber. Beberapa kasus serangan terhadap infrastruktur vital yang menonjol adalah usaha peretasan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) di awal Februari 2017 lalu yang terjadi persis pada saat penghitungan suara Pilkada DKI putaran pertama. Hal-hal semacam ini harus bisa diantisipasi,” jelasnya.
 
Fadli mengacu kepada praktik di negara-negara lain bahwa keamanan siber itu terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu ancaman siber (cyber threat), kejahatan siber (cyber crime), dan perang siber (cyber conflict). Sesuai undang-undang, penanganan kejahatan siber (cyber crime) di Indonesia merupakan menjadi tanggung jawab Polri, termasuk di dalamnya cyber terrorism. Sedangkan untuk perang siber (cyber conflict), hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan institusi TNI. 
 
“BSSN seharusnya mengetahui di mana posisinya terkait tiga kategori tadi. Hanya, masalahnya, kalau saya baca Perpres pembentukannya, yaitu Perpres No. 53/2017, tugas dan kewenangan BSSN ini memang tidak jelas, karena hanya menyebut keamanan siber tanpa merinci taksonominya. Karena tak jelas, tugas dan kewenangan itu rentan ditafsirkan meluas," jelasnya.
 
Mengacu pada desain awalnya, jelas Fadli, BSSN diposisikan sebagai lembaga koordinasi. Isinya adalah para stakeholder dari lembaga terkait yang sudah ada, seperti Polri, TNI, BIN, ataupun Kominfo. "Itu sebabnya posisinya dulu tetap dipertahankan di bawah Menko Polhukam. Sebagai lembaga koordinasi, BSSN akan menyusun kebijakan strategis, melakukan koordinasi, serta bertanggungjawab ketika terjadi ancaman atau insiden serangan siber,” jelasnya. 
 
Namun dengan desain yang sekarang, kata Fadli, sesudah Perpres-nya diubah menjadi langsung berada di bawah Presiden. "Tugas BSSN rentan tumpang tindih karena merasa berkuasa. Pernyataan Kepala BSSN mengenai perlunya kewenangan penangkapan dan penindakan menunjukkan tendensi itu,” ujarnya. 
 
“Seharusnya formasi BSSN langsung di bawah Presiden itu ditujukan memperkuat fungsi koordinasinya, bukan menambah kekuasaannya sehingga bisa overlap dengan lembaga lain. Ini yang perlu diingatkan, baik kepada BSSN maupun pada Presiden. Jangan lupa, BSSN ini dibentuk dengan Perpres, sehingga kewenanganya tak boleh melampaui lembaga yang dibentuk dengan UU,” tegas Fadli Zon.
 
Reporter:  Syafril Amir
Editor:  Rico Mardianto