Kapolda Riau Sampaikan Kronologis

Komisi III DPR Bahas Permasalahan di Riau

Komisi III DPR Bahas  Permasalahan di Riau

JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Sejumlah permasalahan hukum yang terjadi di Riau, ternyata tidak hanya mendapat sorotan dari masyarakat di Bumi Lancang Kuning. Permasalahan itu juga ikut mendapat sorotan dari Komisi III DPR RI. Hal itu kemudian dibahas dalam rapat kerja bersama Kapolri Jenderal Tito Karnavian, di Gedung DPR Kompleks Senayan, Jakarta, Senin (5/9).

Komisi III Dalam rapat tersebut, Ketua Komisi III Bambang Soesatyo mengatakan, ada beberapa permasalahan hukum di Riau, yang saat ini tengah menjadi sorotan.

Di antaranya terkait penanganan Karhutla. Hal itu seiring dengan kebijakan Polda Riau mengeluarkan Surat Perintah Penghentikan Penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan tersangka Karhulta di Riau pada tahun 2015 lalu.

Selain itu, foto bersama sejumlah perwira di Polda Riau dengan pengusaha sawit yang kebunnya juga bermasalah dengan kebakaran, juga ikut mendapat sorotan.

Sedangkan yang ketiga, adalah perihal penyanderaan tujuh petugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang dilakukan masyarakat. Peristiwa itu terjadi saat petugas tersebut menyegel lahan kebun sawit di areal perusahaan yang diketahui mengalami kebakaran.

Menurut Ketua Komisi III Bambang Soesatyo, pihaknya telah melihat langsung dampak Karhutla di Riau, saat kunjungan kerja beberapa waktu lalu.

"Kita kemarin langsung menggarisbawahi, kenapa Polda Riau keluarkan SP3. Kami nilai ada keganjilan yang harus dijelaskan Polda, (karena) SP3 harus ada dasarnya" kata Bambang.

Begitu pula terhadap penyanderaan petugas KLHK oleh sekelompok orang saat menyegel lahan yang terbakar. Dia menganggap ada keganjilan di balik itu semua. "Polri harus bertindak tegas, menindak," katanya.

Menanggapi hal itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang didampingi Kalemdikpol Komjen Pol Syafruddin, menegaskan, tidak ada kolusi dalam proses keluarnya SP3 terhadap 15 perusahaan tersangka Karhutla tersebut.

Menurut Kapolri, bila ada yang tidak terima dengan SP3 tersebut, bisa mengajukan gugatan melalui praperadilan. "Prinsipnya kalau sudah dihentikan begitu, kita mengevaluasi apakah terjadi kolusi dan lain-lain, sementara ini belum ada," terangnya.

Menurutnya, SP3 itu bisa digugat melalui upaya hukum praperadilan. "Tapi kalau ada yang melakukan menggugat SP3 itu, bisa melakukan upaya hukum praperadilan. Kalau dengan cara melaporkan ulang, tak bisa karena terjadi laporan dua kali. Laporkan praperadilan. Buktikan SP3 itu cukup bukti, biar hakim yang memutuskan," katanya.

Tito juga menyampaikan, dalam kasus SP3, tim Propam sudah melakukan evaluasi dan 15 perusahaan itu tidak memenuhi unsur melakukan pembakaran.

Sedangkan terkait beberapa beberapa perwira polisi yang foto bersama dengan bos perusahaan sawit, pihaknya juga telah memprosesnya. "Sudah ada tim Propam yang saya turunkan ke sana. Di samping ada Polda juga yang turun di sana melakukan pemeriksaan," terangnya.

Menurut Tito bos perusahaan sawit di foto itu dari PT APSL. Namun perusahaan itu tidak termasuk dalam 15 perusahaan yang kasusnya dihentikan Polda Riau. "Yang ada hanya satu orang pengusaha sawit saja, yang lain bukan. Pengusaha kelapa sawit itu tidak terlibat. Kemudian dihubung-hubungkan," tegas Tito.

Tapi menurut Tito, pemeriksaan juga akan dilakukan di Jakarta. Para perwira itu akan dipanggil. " Itu Hasil pemeriksaan Propam awal. Tapi nanti kita akan periksa lagi mereka ke Jakarta," katanya.

Jelaskan Kronologis Dalam rapat kerja itu, Kapolri mempersilakan Kapolda Riau Brigjen Supriyanto, menceritakan kronologis aksi penyanderaan yang dialami tujuh petugas KLHK.

"Ada lima orang polisi hutan dan 2 PPNS ingin mengecek situasi di Rohul karena ada yang mengungsi. Kemudian mereka akan melakukan tindakan memasang plang," terang Kapolda.

Pemasangan plang itu memancing reaksi dari warga. Warga keberatan dan tidak puas dengan sikap staf Kementerian LHK itu.

"Masyarakat merasa keberatan karena masyarakat tahu kebakaran bukan berasal dari lahan inti tapi dari lahan sebelah. Masyarakat merasa tidak puas," jelasnya.

Penyanderaan terjadi saat staf Kementerian LHK hendak kembali ke Pekanbaru. Warga meminta Menteri LHK Siti Nurbaya untuk turun langsung ke Rohul.

"Ketika akan kembali, mereka ditahan untuk memberi penjelasan. Masyarakat Rohul merasa dipojokkan dalam pemberitaan. Tujuannya untuk negosiasi agar pemerintah, Ibu menteri datang," ucap Supriyanto.

Polisi lalu datang untuk proses negosiasi, ada pula tokoh masyarakat yang mendampingi. Warga lalu mengajukan permintaan yaitu pencabutan plang atau segel, menghapus rekaman LHK, dan meminta menteri LHK untuk datang langsung.

"Mereka negosiasi akhirnya mereka bisa memahami dan tujuh orang itu dipersilakan kembali dan diantar anggota Polres," ungkapnya.

Dalam kesempatan itu, Kapolri menambahkan bahwa kasus ini masih perlu didalami karena ada info bahwa para warga ini merupakan petani plasma dari kebun inti.

"Kebun inti ini terbakar faktor dari luar. Tapi pemberitaan memojokkan mereka sebagai pembakarnya. Mereka minta pejabat berdialog agar mereka tidak dituduh jadi pembakar," papar Tito.

"Polda akan mendalami. Apapun hasilnya, Kapolda akan sampaikan," tutupnya. (san, dtc)