Upaya Deradikalisasi, Berhasilkah?

Upaya Deradikalisasi, Berhasilkah?

MENJELANG akhir tahun 2015 Menkopolhukam, Tedjo Edhy Purdjianto menggambarkan bahwa pihak intelijen berhasil mendeteksi  adanya perekrutan dan perkembangan gerakan kelompok Islamic State of Iraq and Sirya (ISIS) di Poso Sulawesi Tengah. Hasil deteksi dini BIN tersebut, diketahui sudah terdapat ratusan waga negara Indonesia (WNI) yang sudah masuk menjadi anggota kelompok ISIS. Selain itu terdapat sebanyak 110 orang warga negara asing (WNA) yang teridentifikasi menjadi anggota ISIS di Poso. Laporan pihak intelijen kepada Presiden yang diteruskan Menkopolhukam ke masyarakat melalui media massa, pasti bukanlah laporan asal-asalan, tingkat kebenarannya pasti sangat akurat.

Adanya WNI yang menjadi anggota ISIS juga dibenarkan mantan Kapolri, Jenderal Sutarman yang mengatakan bahwa selama Desember 2014 lalu, Polri mendata sebanyak 110 orang WNI telah berangkat ke Syria dan Iraq untuk bergabung dengan ISIS. Diketahui ada 6 orang WNI tewas dalam pertempuran, sedangkan  10 orang WNI lainnya pulang ke Indonesia serta 38 WNI berhasil dicegah pergi Timur Tengah untuk bergabung dengan kelompok ISIS.

Polri terus melakukan upaya  preventif bekerja sama dengan Dirjen Imigasi Kemenkumham, serta dengan  negara sahabat di kawasan ASEAN, Australia, Cina dan Hongkong  untuk melakukan pengawasan dan penindakan jika ada WNI yang ingin pergi ke kedua negara tersebut melalui negara-negara sahabat. Sedangkan Panglima TNI, Jenderal Moeldoko mengatakan kelompok ISIS dinilai masih menjadi ancaman potensial dan belum menjadi ancaman faktual di Indonesia. TNI sedang menyusun rencana operasional, yakni operasi teritorial yang mengedepankan pendekatan rehabilitasi secara fisik maupun nonfisik. Sehingga anggota kelompok ISIS atau pelaku teror akan dilakukan  pendekatan kemanusiaan dan belum dilakukan dengan pendekatan tempur.


Kebijakan pemerintah dalam upaya pemberantasan terorisme di seluruh wilayah Indonesia harus didukung oleh semua komponen bangsa dengan tetap mempedulikan nilai-nilai kemanusiaan sesuasi dengan prosedur hukum yang berlaku.  Namun tehadap mereka yang jelas-jelas telah melakukan pelanggaran hukum serius, harus ditangani secara tegas pula. Berita terbaru adalah aparat Densus 88 Polri berhasil menangkap lima orang anggota teroris di Poso serta menewaskan seorang anggota teroris lainnya. Sementara itu di Paris kita disuguhi pemberitaan soal penembakan brutal di kantor Tabloid Charlie Hebdo. Bukan tidak mungkin aksi seperti yang terjadi di Perancis itu, menular ke Indonesia mengingat sisa jaringan teroris di dalam negeri masih ada. Publik mencatat sepanjang tahun 2014  terjadi aksi penembakan oleh teroris terhadap sejumlah anggota Kepolisian.

Penangkapan demi penangkapan terhadap terduga teroris di Indonesia nampaknya tidak pernah berhenti, satu angggota teroris mati atau tetangkap selalu muncul pelaku teror baru. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemerintah untuk menghentikan atau menumpas terorisme di Indonesia tidak berhasil. Bahkan ada pihak yang menyatakan bahwa program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah sudah tidak efektif untuk mengantisipasi dan meredam berbagai aksi terorisme yang terus marak terjadi di negeri ini. Di sisi lain salah satu fokus TNI dalam pemberantasan teroris adalah upaya deradikalisasi seperti disampaikan KSAD belum lama.

Sementara itu pihak yang meragukan keberhasilan deradikalisasi beralasan, motif berbagai aksi teror sekarang sudah bergeser, bukan lagi sebuah perjuangan suci dengan berjihad untuk melawan kezaliman dan penindasan. Berbagai aksi terorisme saat ini dilakukan karena bermacam motif, mulai dari dendam  pribadi atau dendam keluarga, adanya kepentingan ekonomi dan politik praktis, bahkan mungkin kekuasaan dan kepentingan lainnya. Dengan format motif seperti ini, maka upaya deradikalisasi yang selama ini digembar-gemborkan akan menjadi percuma saja, karena realitanya teroris pun bukan lagi bermotif agama semata. Dengan demikian upaya deradikalisasi tidak berpengaruh banyak terhadap upaya-upaya penanggulangan terorisme di hulu, sehingga deradikalisasi sudah tidak nyambung.

Penulis kurang setuju dengan pendapat di atas karena terbuki ada mantan napi terorisme yang menyadari kesalahannya dan mau turut aktif membantu pemerintah dalam memberikan pemahaman kepada berbagai elemen masyarakat terkait tindak terorisme yang tidak sejalan dengan jihad yang sebenarnya. Upaya pendekatan terhadap napi teroris itu bisa berhasil karena  perlakuan yang manusiawi yang mereka peroleh selama dalam penjara. Karena itu sebaiknya mantan napi yang telah sadar tersebut terus digunakan untuk mengajak rekan-rekannya yang masih berada dalam penjara untuk meninggalkan paham yang dianut. Mereka perlu dimanfaatkan karena merupakan  pelaku sejarah yang mengetahui seluk beluk sel-sel dan jaringan teroris serta mempunyai akses ke kelompok radikal. Peranannya setidak-tidaknya bisa membantu menyadarkan kawan-kawannya untuk kembali kepada pemahaman jihad yang benar. Karena program deradikalisasi menitikberatkan pada usaha perubahan mental dan ideologi narapidana teroris sehingga peranan mantan teroris sangat signifikan dalam membantu membuka wacana kearah perubahan paradigma.

Pemerintah juga pernah melibatkan para ulama untuk memberikan pemahaman kepada beberapa pondok pesantren yang dianggap banyak alumninya terlibat dalam kegiatan radikal. Hanya saja berbagai kegiatan itu tidak berjalan secara terus menerus, selalu terhenti dengan alasan tidak adanya dana untuk melakukan kegiatan lanjutan. Akibatnya target yang sudah  ditetapkan tidak berhasil. Karena itu diharapkan  pemerintah harus memikirkan format baru yang lebih komprehensif dan terintegrasikan dalam semua bidang kehidupan, seperti tersedianya lapangan kerja, rasa keadilan dan perlakuan masyarakat di mata hukum, perbaikan perilaku aparat, penghormatan terhadap hak-hak dasar dan lain-lain untuk meredam berbagai asksi teror tersebut.

Selama menjalani hukuman di dalam penjara, mereka  yang biasanya menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, otomatis tidak bisa bekerja dan menjalankan tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Deradikalisasi seharusnya bisa mengatasi masalah ekonomi keluarga mereka dengan menawarkan alternatif pekerjaan yang bisa dilakukan di dalam penjara ataupun setelah bebas, ataupun melatih keterampilan mereka sesuai dengan kebutuhan pasar. Pendakatan ini bisa membantu meredam gejolak radikal yang bersangkutan karena mereka merasa negara ikut membantu menanggulangi kesulitan ekonomi keluarganya.  Narapidana terorisme juga bisa mendapatkan remisi, asimilasi, cuti menjelang bebas maupun pembebasan bersyarat, yang merupakan hak-hak dasar dan umum setiap narapidana, diharapkan  mereka tidak merasa ada diksriminasi. Kebijakan  yang mengarah ke sana bisa turut membantu mereduksi paham radikal mereka karena merasa adanya keadilan  terhadap warganegara yang sedang menjalankan pidana.***

Penulis adalah pemerhati sosial kemasyarakatan.