Hak Pendidikan Agama Anak

Hak Pendidikan Agama Anak


Anak merupakan karunia sekaligus amanah dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, orang tua senantiasa harus menjaganya karena melekat hak-hak dasar dalam kehidupan mereka. Hak asasi anak termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak anak.
Salah satu hak anak adalah memperoleh pengajaran agama sesuai yang mereka anut. Regulasi telah mengatur hal ini dalam rangka melindungi hak anak untuk memperoleh pendidikan agama dalam kehidupan mereka. Di dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 43 menyebutkan perlindungan hak anak dalam memeluk agamanya meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.
Penguatan terhadap perlindungan hak beragama anak juga dikandung dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003. Dalam Pasal 12 disebutkan, setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Komitmen politik untuk melindungi hak anak ini juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pasal 4 dalam PP ini menyebutkan setiap peserta didik pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik seagama. Selain itu, setiap satuan pendidikan menyediakan tempat untuk menyelenggarakan pendidikan agama.
Dari tiga regulasi di atas, berarti adanya penguatan untuk melindungi hak agama anak sudah cukup. Hanya saja, implementasi di lapangan sering kali tidak sesuai dengan landasan hukum yang ada. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai lembaga negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak anak dari adanya pelanggaran di sejumlah sekolah. Bahkan, temuan di lapangan dan berdasarkan pengaduan orang tua, KPAI menemukan adanya sejumlah sekolah yang tidak memberi pengajaran agama sesuai dengan yang dianut murid.
Sekolah yang dimaksud adalah sekolah yang bukan menjadi lembaga pendidikan keagamaan khusus yang seharusnya bersifat inklusif. Atas dasar inklusivisme ini, seharusnya semua sekolah yang bukan lembaga pendidikan keagamaan menyediakan pengajaran agama sesuai agama yang dianut para murid.
Ambil contoh, sekolah Muhammadiyah di Nusa Tenggara Timur (NTT) menyediakan guru agama non-Islam karena pada faktanya, peserta didik di sekolah tersebut tidak seluruhnya Muslim. Pimpinan Muhammadiyah di daerah itu sadar sekolahnya tidak homogen. Karena itu, pihaknya menyelenggarakan pendidikan agama non-Islam.
Sikap ini perlu dicontoh oleh semua lembaga penyelenggara pendidikan. Di Blitar, Jawa Timur, kasus penolakan memberikan pelajaran agama Islam bagi siswa yang beragama Islam oleh enam SMA Katolik sejatinya adalah pelanggaran atas regulasi yang telah ditetapkan pemerintah.
Kasus ini telah ditangani Dinas Pendidikan terkait, tapi di tengah jalan tidak menemui solusi yang baik. Alasan yang diterima oleh KPAI adalah isu ini sensitif dan berbau intoleransi. Alasan seperti ini tidak dapat diterima karena hak anak untuk mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan yang dianut telah diatur oleh undang-undang, yakni UU Perlindungan Anak, UU Sisdiknas, dan PP tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Sebagai warga negara yang taat pada hukum, sudah selayaknya penyelenggara pendidikan enam sekolah Katolik di Blitar taat pada regulasi yang berlaku. Alasan bahwa pihak orang tua telah dianggap menyetujui anak-anak mereka tidak akan mendapat pendidikan agama selain Katolik, tidak dapat dibenarkan.
Enam sekolah di Blitar tersebut adalah sekolah inklusif yang seharusnya menyelenggarakan pendidikan secara terbuka. Atas dasar inilah, seharusnya pihak penyelenggara menyediakan pendidikan agama di luar Katolik, termasuk tenaga pengajarnya. Jika kasus ini dibiarkan, akan menjadi problem terstruktur, bukan problem case by case karena perlindungan hak anak tidak bisa dikurangi atau ditunda hanya karena adanya kesepakatan di awal antara pihak sekolah dan orang tua murid.
KPAI melihat perlu adanya tindakan tegas terhadap enam sekolah yang tidak bisa memenuhi hak anak untuk memberikan pendidikan agama sesuai yang mereka anut. Apa yang bisa dilakukan pemerintah terkait ini? Dalam UU Sisdiknas, sistem pengendalian mutu pendidikan melalui tiga program yang terintegrasi, yakni standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi.
Pemerintah sebagai pihak yang menyelenggarakan akreditasi bertujuan untuk menguji kelayakan program pendidikan dan pelaksana pendidikan. Jika ada pelanggaran atas penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan yang telah terakreditasi, kemungkinan untuk mencabut dan membatalkan akreditasi sangat memungkinkan.
Kewenangan pemerintah untuk melakukan akreditasi telah diatur dalam Pasal 12 PP 55 Tahun 2007. Akreditasi atas pendidikan agama pun dinilai sebagai faktor penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai standar nasional pendidikan. Bahkan, dalam lanjutan pasal itu disebutkan akreditasi atas pendidikan keagamaan dilaksanakan setelah memperoleh pertimbangan Menteri Agama.
Akreditasi menjadi penilaian sekolah secara sistematis dan komprehensif yang dilakukan atas evaluasi diri dan eksternal. Itu semua dilakukan untuk menentukan apakah sekolah memiliki kelayakan dan kinerja baik untuk menyelenggarakan proses pendidikan atau tidak. Pihak yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan akreditasi adalah Badan Akreditasi Sekolah Nasional.
Dengan adanya pelanggaran atas hak anak, seharusnya berpengaruh pada penilaian terhadap sekolah tersebut. Tindakan tegas bisa berupa pencabutan izin sekolah sesuai dengan PP No 55 Tahun 2007. Sudah tentu, pencabutan izin jika pihak sekolah masih "bandel" tidak mau mengikuti regulasi yang telah ditetapkan pemerintah. Kita tentunya menghormati pihak penyelenggara sekolah, tapi yang lebih penting adalah melindungi anak-anak Indonesia dari tidak adanya pemenuhan hak oleh kelompok masyarakat tertentu. (rol)

Oleh: Asrorun Ni’am Sholeh(Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)).