Pajak Bersiap Hadapi Kawasan Bebas ASEAN

Pajak Bersiap Hadapi Kawasan Bebas ASEAN


Tidak terasa, beberapa bulan lagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan tiba. Beberapa kalangan pengusaha dan pemerintah telah bersiap untuk menghadapi peluang dan tantangan menjelang MEA. Pasca 31 Desember 2015, lima pilar yaitu: arus barang, jasa, modal, investasi, dan tenaga kerja terlatih akan bebas keluar masuk di kawasan yang ditempati 625 juta jiwa tersebut. Dengan dibebaskannya beberapa sektor perekonomian antar negara ASEAN, stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN diharapkan menjadi lebih terjaga, terjadi peningkatan daya saing kawasan, mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat kemiskinan penduduk negara anggota ASEAN.
Kebijakan pembebasan lima pilar ekonomi di kawasan ASEAN memberikan konsekuensi dalam aturan perpajakan seperti yang tercantum dalam Blueprint MEA. Menurut KPMG (2014), poin terkait perpajakan dalam Blueprint ASEAN adalah terkait kebijakan pemotongan pajak (witholding tax) dan perluasan jaringan penghindaran pengenaan pajak berganda antar negara ASEAN. Bagi Pemerintah, khususnya Direktorat Jenderal Pajak dan Badan Kebijakan Fiskal, arahan dalam Blueprint MEA tersebut menjadi tantangan tersendiri untuk mengharmonisasikan aturan dan perluasan penghindaran pajak berganda.
Harmonisasi Aturan dan Penghindaran Pajak Berganda
Menurut Larkin (IBFD, 2005) sebagaimana dikutip Suska (2011), penyelarasan pajak atau tax harmonization merupakan penghapusan perbedaan atau inkonsistensi antara sistem pajak dari yurisdiksi yang berbeda, sehingga membuat perbedaan atau inkonsistensi menjadi sesuai satu sama lain. Adanya perbedaan tarif pajak akan membuat investor mudah untuk berpindah dari satu negara ke negara lain, karena pajak merupakan salah satu cost of doing investment.
Hal-hal utama yang menjadi fokus harmoniasi aturan adalah mengenai tarif, preferensi pajak, pencegahan penghindaran dan pengelakan pajak serta basis pengenaan pajak. Harmonisasi tarif pajak diperlukan mengingat tarif pajak antar negara ASEAN masih berbeda. Sebagai contoh, tarif PPh badan di Indonesia sebesar 25%, masih lebih tinggi dibanding Singapura (17%) dan Thailand (23%). Adapun tarif pajak Malaysia sama dengan Indonesia, sebesar 25%. Tarif pajak tertinggi di Filipina sebesar 30%. Tarif tersebut sudah mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya kecuali Filipina, Thailand dan Laos. Tarif PPh badan di Indonesia sendiri telah diturunkan secara bertahap dari 30% untuk tahun pajak 2008 menjadi 28% untuk tahun pajak 2009. Pada tahun 2010, tarif PPh badan diturunkan menjadi 25%. Selain PPh badan, pajak untuk konsumsi juga memiliki tarif yang berbeda-beda. Indonesia, Kamboja, dan Laos memungut PPN 10%. Tarif PPN yang paling tinggi adalah Filipina sebesar 12%, sementara tarif PPN terendah adalah Singapura dan Thailand sebesar 7%. Malaysia, menerapkan pajak penjualan dan jasa dengan tarif 5%, 20%, atau 25%. Menurut Gunadi (2015), ketidakharmonisan tarif pajak akan memungkinkan pelarian modal (capital flight) ke negara yang rendah pajak guna menghindari pajak yang tinggi.
Selain harmoniasi tarif pajak, penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda juga menjadi fokus lain. Tax treaty menjadi upaya yang efektif untuk mencegah adanya penerapan pajak berganda. Namun demikian, diperlukan kemauan politik antarnegara untuk menerapkannya. Saat ini, belum semua negara ASEAN memiliki tax treaty antar negara. Kamboja bahkan belum membuat kebijakan tax treaty.
Potensi Pajak Anjlok
Dengan bebasnya arus barang dan jasa, MEA akan membawa dampak positif bagi Indonesia dengan memperluas pemasaran barang dan jasa ke negara ASEAN lainnya sehingga dapat meningkatkan perekonomian Indonesia. Hal tersebut didukung oleh tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kisaran 5-6%. Angka tersebut relatif cukup tinggi dan stabil di kawasan ASEAN.
Selain potensi peningkatan pertumbuhan ekonomi, bebasnya arus barang dan jasa tersebut memberikan konsekuensi penghapusan hambatan tarif dan non tarif antar negara ASEAN yang berpotensi menurunkan penerimaan pajak. Jenis pajak yang berisiko turun adalah pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) impor. Selain itu, apabila pengusaha tidak bisa bersaing dengan produk negara ASEAN lain, penerimaan PPN dalam negeri dan PPh pasal 25/29 juga berpotensi turun akibat menurunnya omzet.
Penutup
Potensi penurunan pajak akibat semakin terbukanya kawasan ASEAN mau tidak mau mengharuskan Ditjen Pajak menggali potensi yang ada agar penerimaan pajak dapat berjalan optimal. Terlebih, dengan target penerimaan pajak Rp1.294,3 triliun, diperlukan strategi yang tepat untuk mengganti penerimaan pajak yang berpotensi hilang akibat berlakunya pasar bebas ASEAN.
Harmonisasi tarif pajak antar negara ASEAN diperlukan untuk meminimalisir perbedaan tarif pajak, meskipun keseragaman tarif pajak di negara ASEAN akan sulit diseragamkan. Dengan besarnya target penerimaan pajak, Ditjen Pajak harus melakukan simulasi tingkat yang paling layak bagi tarif pajak. Meskipun tarif pajak Indonesia bukan yang terendah di kawasan ASEAN, Ditjen Pajak telah membuat kebijakan untuk tetap menarik investor dengan insentif pajak. Kebijakan yang dilakukan bertujuan untuk mempertahankan aturan pajak yang menarik bagi investasi dan tidak mengganggu kegiatan bisnis. Investor diberi berbagai insentif, tax holiday, dan tax allowance sehingga menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi. Namun demikian, agar insentif benar-benar dapat menarik investor, insentif yang diberikan harus lebih menarik dibanding insentif perpajakan negara ASEAN lain, mengingat insentif pajak menjadi pilihan utama setelah diberlakukannya pasar bebas ASEAN.
Sebagai salah satu poin yang disampaikan dalam Blueprint MEA, perjanjian penghindaran pajak berganda atau tax treaty saat ini sedang dikaji ulang Ditjen Pajak. Menurut kajian Ditjen Pajak, banyak pemberlakuan tax treaty yang justru merugikan Indonesia. Pemberlakuan tax treaty harus jelas memberikan manfaat bagi kerjasama investasi bagi Indonesia. Untuk itu, tax treaty yang ada perlu dikaji ulang agar Indonesia mendapatkan manfaat yang optimal. (kkg)

 Oleh: Budi SulistyoPegawai (Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI*).