Terkait Pengakuan Freddy

Kontras Akui Bertemu Petinggi Polri

Kontras Akui Bertemu  Petinggi Polri

JAKARTA (riaumandiri.co)-Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, mengakui dirinya telah bertemu Kadiv Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar. Pertemuan itu terkait dengan pengakuan terpidana mati gembong narkoba, alm Freddy Budiman kepadanya.


Seperti diketahui, Haris telah merilis tulisan yang isinya menceritakan pengakuan
Kontras
Freddy Budiman kepadanya. Tulisan itu langsung menuai beragam tanggapan. Pasalnya, dalam tulisan itu disebutkan pengakuan Freddy yang menyebutkan keterlibatan oknum Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, dan Bea Cukai dalam peredaran narkoba yang dilakukannya. Freddy menceritakan semua kisah tersebut kepada Haris pada 2014.

Dalam pertemuan tersebut, Haris mengaku juga memberikan beberapa informasi dan petunjuk untuk membongkar kasus bisnis narkoba yang diduga melibatkan oknum petinggi hukum.



"Saya menceritakan seperti yang tulisan saya, juga beberapa informasi yang saya tidak bisa sampaikan dalam tulisan tersebut. Saya juga menyampaikan, Pak Boy juga nanya kira-kira kalau dikembangkan seperti apa, saya sampaikan beberapa petunjuk liputannya, kira-kira bahan keterangan saya yang ini diverifikasi gimana dan lainnya. Ketiga, Pak Boy juga nanya itu kira-kira kalau diteruskan menurut mas Haris seperti apa. Saya mengusulkan beberapa hal, lalu Pak Boy 'oke nanti saya laporkan dulu ke Kapolri," ungkap Haris di kantor YLBHI, Jakarta, Minggu (31/7).



Diuji
Lebih lanjut, ia juga meminta agar kepolisian menguji keterangan dari Freddy Budiman kepada dirinya. Menurutnya, sudah menjadi tugas dari aparat keamanan dan pemerintah untuk menindaklanjuti pernyataan Freddy tersebut. Haris pun mengaku siap bekerja sama dengan aparat untuk mengungkap kasus ini.

"Kalau informasi saya tidak ditindaklanjuti, jika informasi yang saya sampaikan itu juga dianggap tidak cukup secara hukum, tapi besok hari narkoba masih beredar, maka jangan salahkan saya kalau publik tambah marah, kalau masyarakat tidak percaya terhadap aparatur penegak hukum," ungkapnya.

Lebih lanjut, Haris mengatakan, terdapat banyak petunjuk yang dapat digunakan untuk membongkar kasus ini. Karena itu, pihaknya juga meminta Presiden Joko Widodo mendukung penyelidikan kasus ini sehingga dapat membongkar oknum pejabat hukum yang terlibat.

Lebh lanjut, Haris kemudian menjelaskan alasan pengungkapan informasi Freddy kepada publik. Sebab, selama ini kasus yang dilaporkan kepada aparat Kepolisian hanya berakhir begitu saja tanpa tindak lanjut. Ia pun kemudian mengkhawatirkan kasus ini akan menghilang apabila hanya dilaporkan kepada Kepolisian. Terlebih informasi ini mengaitkan adanya keterlibatan oknum pejabat tinggi hukum.

"Saya kan di Kontras kita pengacara-pengacara HAM dan punya pengalaman ribuan kasus kita laporkan ke polisi. Kita tahu menguapnya kaya gimana kasus-kasus itu. Itu kasus yang ringan-ringan, apalagi kasus yang besar-besar seperti ini," kata dia.

Dibenarkan
Pengakuan Haris tersebut juga dibenarkan Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar. Dikatakan, pihaknya telah menggelar pertemuan dengan Koordinator KontraS, Haris Azhar, untuk membahas hal itu.

"Kami sudah ada pertemuan. Kalau konten tidak ada yang berbeda. Seperti suasana Pak Haris menerima informasi itu dari Pak Freddy Budiman dua tahun silam," terangnya.

Boy mengatakan diperlukan pengkajian yang mendalam atas informasi yang diceritakan oleh Freddy kepada Haris. Terlebih, informasi itu telah diperoleh Haris sejak dua tahun lalu.

"Kemudian kalau kita mau konfirmasi ke Pak Freddy, Pak Freddy sudah tidak ada," ucap Boy.

Menurut Boy, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian memiliki prinsip untuk menindaklanjuti informasi tersebut. Dia menambahkan, hal itu sesuai dengan komitmen reformasi internal Polri.

"Penegakan hukum, masalah profesionalisme aparat, tindak pidana narkoba, itu menjadi prooritas bapak Kapolri," ujar Boy.


Langgar Hak
Sementara itu, Kepala Divisi Hak Sipil dan Politik KontrAs, Putri Kanesia, menyebutkan Kejaksaan Agung melanggar hak terpidana mati atas kepastian hukum. Selain itu, ada juga pelanggaran hak atas informasi yang seharusnya diterima pihak kuasa hukum maupun keluarga terpidana.

Dikatakan, menjelang eksekusi mati tahap III, Kontras menemukan fakta bahwa pihak keluarga hanya diperbolehkan bertemu terpidana mati satu kali saat berada di sel isolasi. Di sisi lain, kejaksaan juga tidak memberikan daftar resmi terpidana mati yang akan dieksekusi kepada kuasa hukum.

"Kami menemukan adanya pelanggaran hak atas kepastian dan hak atas informasi. Keluarga terpidana hanya boleh ketemu sekali saat diisiolasi. Kuasa hukum pun tidak mendapat informasi yang memadai," ungkapnya.

Selain itu, KontraS juga mengkritik Jaksa Agung yang tidak memberikan kepastian terhadap nasib 10 terpidana mati yang tidak jadi dieksekusi.

Menurutnya hal tersebut jelas sebagai bentuk pelanggaran terhadap kepastian hukum terhadap terpidana mati.

Sementara itu, Afif Abdul Qoyim, kuasa hukum Humphrey Jefferson Ejite dan Merri Utami, mengatakan surat pemberitahuan pelaksanaan eksekusi mati baru diterima Humphrey pada Selasa (26/7) pukul 15.00 WIB.

Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam PNPS No.2 tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer Pasal 6 ayat (1) PNPS No.2 tahun 1964 yang menyebut, pemberitahuan eksekusi minimal tiga kali dua puluh empat jam sebelum pelaksanaan.

"Artinya jarak waktu dari mulai surat pemberitahuan tersebut diberikan sampai saat eksekusi belum mencapai 3 hari atau kurang dari 72 jam," ujar Afif.

Selain persoalan jangka waktu pemberitahuan, Pemerintah juga dinilai melanggar Undang-Undang No. 22 tahun 2002 tentang pemberian grasi dan putusan MK No. 170/PUU-XIII/2015. Pasal 13 UU Grasi melarang eksekusi mati dilakukan bila terpidana mati mengajukan grasi.

Sementara menurut penuturan Afif, pihaknya telah mengajukan permohonan grasi atas nama Humphrey pada Senin siang (25/7) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Saya sendiri sudah mendaftarkan permohonan grasi ke PN Jakarta Pusat dan berkasnya sudah ditandatangani oleh panitera. Namun sampai saat eksekusi, kami belum menerima putusan soal grasi tersebut," kata Afif.
(bbs, rol, kom, ral, sis)