Kepala Daerah tak Bisa Dipidana dengan 5 Hal Ini

Kepala Daerah  tak Bisa Dipidana dengan 5 Hal Ini

JAKARTA (riaumandiri.co)-Presi-den Joko Widodo kembali mengingatkan aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan, tentang lima hal yang tidak bisa membuat kepala daerah jadi terpidana.


Sebelumnya, hal itu pernah disampaikannya dalam pertemuan serupa setahun lalu di Istana Bogor.

Kepala
Meski demikian, Presiden masih sering menerima keluhan dari kepala daerah, terkait kebijakan mereka, yang dikhawatirkan berakhir dengan jeratan hukum. Akibatnya, masih banyak kepala daerah yang enggan menggunakan dana daerah, sehingga masih nangkring di bank. Tak tanggung-tanggung, jumlah mencapai Rp246 triliun. Hal ini yang dinilai membuat proses pembangunan jadi tersendat.

"Saya pagi ini ingin mengevaluasi karena setahun yang lalu saya sudah perintahkan di Bogor," ujar Presiden Jokowi, di hadapan para Kapolda dan Kajati se-Indonesia, dalam pertemuan di Istana Negara, Jakarta, Selasa (19/7).

Ikut hadir dalam kesempatan itu, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Jaksa Agung HM Prasetyo, Seskab Pramono Anung, Mendagri Tjahjo Kumolo, Mensesneg Pratikno dan lainnya.

Intruksi pertama adalah, kebijakan diskresi tidak bisa dipidanakan. Kedua, tindakan administrasi pemerintahan juga sama tidak bisa dipidanakan. Polri dan Kejaksaan harus bisa membedakan apa tindakan yang betul-betul masuk kategori pidana atau nyolong dalam bahasa Jokowi.

"(Ketiga), Saya kira aturan di Badan Pemeriksa Keuangan sudah jelas, mana yang pengembalian mana yang tidak. Kerugian BPK diberi peluang 60 hari ini juga harus dicatat," lanjut Jokowi.

Keempat, kerugian negara yang bisa dipidanakan harus konkret, tidak mengada-ada. Kelima, tidak diekspose ke media secara berlebihan sebelum dilakukan penuntutan.


"Evaluasi perjalanan setahun ini saya masih banyak sekali dengar tidak sesuai dengan yang saya sampaikan. Kita harus kawal pembangunan sebaik-baiknya di kabupaten/kota, provinsi termasuk di pusat, sehingga hal-hal yang tadi saya sampaikan agar betul-betul jadi perhatian. Saya masih banyak keluhan dari bupati, walikota, dari gubernur," tambahnya.


Bakal Dipecat
Usai pertemuan, Seskab Pramono Anung mengatakan, pertemuan itu digelar karena Presiden Jokowi mendapat banyak keluhan dari kepala daerah terkait kriminalisasi tersebut.

"Seperti yang disampaikan 24 Agustus tahun lalu, jangan kriminalisasi eksekutif kita yang menjalankan pembangunan. Tapi kalau benar-benar salah, ya tangkap, kalau mencuri ya penjarakan," ujarnya.

Pramono menjelaskan Presiden meminta agar kebijakan kepala daerah itu tidak dikriminalisasi. Misal ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Pemda, tapi belum 60 hari sudah dilakukan penyelidikan.



60 hari merujuk pada waktu pengembalian potensi kerugian negara Pemda kepada negara. "Dalam proses itu sudah diumumkan kepada publik, sehingga-seakan akan sudah menjadi tersangka, dan seterusnya," lanjut Pram.

Dalam rapat tadi, Presiden juga meminta kepada Kapolri dan Jaksa Agung, jika ada upaya kriminalisasi kepada kepala daerah, maka jangan segan-segan untuk mencopot baik tingkat Polda/Polres atau Kajati/Kajari.


"Tapi sekali lagi kalau nyolong, mencuri, dan sebagainya, tangkap," tegasnya.

Kegeraman Presiden Jokowi juga disebabkan ada dana sekitar Rp246 triliun di bank daerah yang tidak bergerak karena kepala daerahnya khawatir terjerat masalah hukum.

"Ini merugikan karena uangnya tidak bergerak. Itu yang menjadikan pemerintah terutama Presiden kita sedang mencari tambahan APBN, fiskal kita, sementara ada uang yang begitu besar tidak dijalankan. Kenapa? Mereka takut menggunakan uang itu," kata Pram.

Terpisah, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan KPK sejak dulu telah membedakan kesalahan administrasi dan tindak pidana korupsi. "Jadi tanpa peringatan Presiden pun KPK sudah paham soal itu," ujarnya.

"Khusus untuk diskresi intinta adalah diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat publik jika belum ada aturan hukum yang mengaturnya. Dan jika pejabat publik melakukan diskresi maka harus berpihak pada kepentingan umum, bukan memperkara diri atau orang lain," jelas Syarif menambahkan. (dtc, ral, sis)