Opsi Kanal Bersekat

Opsi Kanal Bersekat

Dalam usaha memadamkan api kebakaran hutan dan lahan di Sumatra dan Kalimantan, Presiden Joko Widodo menginstruksikan pembuatan kanal berSekat untuk membasahi lahan gambut sehingga lahan tidak mudah terbakar. Saat ini, penggalian kanal bersekat sudah dilakukan TNI. Harapannya, dengan adanya kanal, air bisa dialirkan ke hutan untuk membasahi lahan gambut sehingga api akan padam.

Seberapa efektifkah pembuatan kanal bersekat untuk memadamkan kebakaran? Gambut terbentuk dari akumulasi bahan organik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan pada masa lampau. Proses pembentukan gambut berlangsung ribuan tahun. Ketebalan gambut sangat bervariasi antara 0,5 meter hingga 10 meter, bahkan ada yang 13 meter.

Lahan gambut bersifat seperti busa yang dapat menyerap kelebihan air pada musim hujan sehingga mencegah banjir dan melepaskan kandungan airnya secara perlahan di musim kemarau. Kawasan lahan gambut merupakan dataran rendah dan kemiringan lahan sangat kecil.

Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian, termasuk perkebunan dan tanaman industri, tergolong sangat rawan. Pemanfaatan gambut untuk pertanian dengan menurunkan permukaan air tanah dalam gam but sehingga mencapai elevasi yang diinginkan. Pembuatan saluran drainase untuk mengeringkan lahan gambut sering menyebabkan penurunan muka air tanah.

Bila penurunan muka air tanah berlebihan, bisa berdampak negatif dalam jangka panjang. Drainase berlebihan menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar pada musim kemarau. Kondisi ini diperparah dengan pembakaran untuk penyiapan lahan yang sering kali lepas kendali.

Pada 1970-1990, Universitas Gadjah Mada mendapat kepercayaan dari pemerintah mengembangkan lahan gambut menjadi persawahan pasang surut untuk daerah transmigrasi di Kalimantan. Prinsip pertanian pasang surut adalah mengendalikan muka air tanah sesuai zona perakaran tanaman, dan pirit yang ada di dalam tanah tidak teroksidasi. Bila muka air tanah turun berlebihan sehingga berada di bawah lapisan tanah yang mengandung pirit, akan menyebabkan oksidasi pirit yang menghasilkan senyawa bersifat racun, yang bisa mengganggu pertumbuhan tanaman.

Daerah persawahan pasang surut yang dikembangkan UGM mempunyai luasan relatif kecil, sekitar 5.000 hektare per unit. Dengan luasan kecil, jaringan irigasi lebih mudah dikendalikan. Pada lahan yang dipengaruhi pasang surut, dikembangkan tata saluran Sistem Garpu. Sistem Garpu terdiri dari saluran primer yang dibuat dari tepi sungai masuk ke pedalaman, lalu bercabang menjadi saluran sekunder dan saluran tersier.

Pada ujung saluran primer dibuat kolam pasang untuk menampung unsur beracun pada saat pasang. Jaringan tata saluran dilengkapi pintu air sehingga pengelolaan air dapat dilakukan dengan baik.

Pada lahan yang tidak dipengaruhi pasang surut karena elevasinya lebih tinggi dari muka air di saluran, sumber air hanya berasal dari air hujan. Dikembangkan jaringan tata sa luran drainase dengan tetap mempertahankan muka air tanah dengan menggunakan pintu air atau peluap guna mencegah penurunan muka air tanah secara berlebihan. Daerah transmigrasi yang dikembangkan oleh UGM ini berhasil dengan baik.

Beberapa tahun kemudian dilakukan rehabilitasi tata saluran. Dengan pertim bangan menanggulangi banjir, jaringan saluran diperdalam dengan harapan air banjir cepat dibuang. Namun, pendalaman saluran berakibat drainase berlebihan. Muka air tanah turun sampai di bawah lapisan tanah yang mengandung pirit sehingga terjadi senyawa sulfat yang beracun yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada tanaman. Akibatnya, lahan menjadi tidak subur, kering, dan tak bisa lagi ditanami.

Contoh lain adalah Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektare (PLG) yang dibangun di Kalimantan Tengan pada 1995-1998. Pembu kaan lahan gambut yang diharapkan bisa menjadi lumbung padi dan meningkatkan perekonomian masyarakat justru berbuah mala petaka.
Pembukaan lahan melalui penebangan hutan dan pembongkaran gambut-gambut tebal menyebabkan ribuan hektare hutan rusak. Pembangunan kanal sepanjang ratusan kilometer di lokasi PLG membuat lahan gambut kehilangan kemampuannya menampung air pada musim hujan sehingga mempercepat kekeringan pada musim kemarau dan menjadikan lahan gambut mudah terbakar.

Setiap tahun, terjadi kebakaran hutan di daerah ini. Pada musim penghujan, air hujan langsung melimpas menjadi banjir dan mengerosi lahan yang tidak lagi tertutup tanaman. Sedimen yang terbawa banjir menyebabkan pendangkalan di sungai sehingga mengganggu pelayaran pada musim kemarau.

Kanal bersekat dimaksudkan untuk bisa membasahi lahan gambut. Perlu kejelasan apakah pembuatan kanal bersekat ini merupakan pembuatan kanal baru atau sekat pada kanal lama yang sudah ada. Kalau membuat kanal baru, timbul pertanyaan, dari mana air untuk mengairi lahan gambut?
Di musim kemarau, air sungai turun sehingga elevasi muka air lebih rendah dari lahan yang terbakar. Air tidak mungkin mengalir di saluran menuju ke lahan yang akan dibasahi.

Kalau yang dimaksud membuat sekat pada kanal yang sudah ada sehingga air tanah terbendung dan muka air di kanal menjadi tinggi, mungkin ada benarnya. Namun, ini pun masih diragukan karena pada musim kemarau panjang, muka air tanah sudah turun karena adanya saluran drainase.

Pembuatan kanal bersekat merupakan tindakan darurat dan dilaksanakan tanpa perencanaan matang. Begitu Presiden Jokowi menginstruksikan pembuatan kanal, TNI langsung melaksanakannya. Sebagai tindakan darurat bisa dimaklumi, tapi bisa jadi saluran itu justru akan menimbulkan masalah. Perlu dipertimbangkan untuk tidak melanjutkan pembuatan kanal baru karena butuh waktu lama, sementara hujan segera turun.

Dalam usaha pemadaman lahan gambut, rasanya kita hanya bisa menunggu datangnya hujan. Hujan yang mulai turun di beberapa daerah memadamkan titik api dan mengurangi ketebalan kabut asap.
Hal yang penting sekarang ialah menyelamatkan dan mengevakuasi korban kabut asap. Para korban, terutama anak-anak dan balita, sangat menderita dan mungkin mereka menyimpan potensi penyakit yang lebih parah pada masa mendatang.

Pemerintah segera mengevaluasi kinerja tata air di lokasi kebakaran untuk mengantisipasi masalah serupa pada musim kemarau tahun depan. Tata saluran yang tidak benar harus diperbaiki. Misalnya, kalau saluran yang ada tanpa sekat, perlu dibuat sekat atau peluap yang bisa menahan air hujan.

Peluap harus direncanakan sedemikian sehingga bisa menaikkan air tanah dan bisa melewatkan debit banjir pada musim penghujan. Harapannya, memasuki musim kemarau 2016, semua saluran di lahan gambut sudah disempurnakan.
Selanjutnya, para pemilik lahan berkewajiban menjaga lahannya dari kebakaran. Sanksi tegas perlu diterapkan kepada masyarakat dan perusahaan penyebab kebakaran hutan.(rol)

Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik UGM