Politik Dinasti Bakal Berkembang Biak

MK Bolehkan Mantan Narapidana Ikut Pilkada

MK Bolehkan Mantan Narapidana Ikut Pilkada

JAKARTA (HR)-Mahkamah Konstitusi kembali mengeluarkan putusan terkait status masyarakat yang boleh mengikuti Pilkada. Kali ini, giliran mantan narapidana yang dinyatakan boleh mengikuti ajang politik lima tahunan tersebut.  

Hal itu tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang dikeluarkan Kamis (9/7). MK mengabulkan permohonan agar pasal 7 huruf g Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dibatalkan. Pasal tersebut memuat ketentuan bahwa mantan narapidana dilarang ikut Pilkada.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa pasal 7 huruf g UU Pilkada tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MK juga menilai bahwa pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana," bunyi putusan MK seperti dikutip detikcom.

Permohonan judicial review pasal 7 huruf g diajukan Jumanto, warga Dusun Siyem, RT01/RW04, Desa Sogaan, Pakuniran, Probolinggo dan Fathor Rasyid warga Kloposepuluh RT020/RW005, Desa Kloposepuluh, Sukodono, Sidoarjo.

Bertindak selaku pengacara pemohon adalah Yusril Ihza Mahendra. Menurut pemohon bahwa antara masyarakat biasa dan mantan narapidana haknya sama dalam pembangunan bangsa Indonesia. Mantan narapidana adalah warga negara yang telah menjalani hukuman berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan telah kembali ke masyarakat untuk menjadi warga yang bebas dan merdeka.
 
Sementara itu, Mantan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri, Djohermansjah Djohan, menyayangkan putusan MK yang dinilai melanggengkan politik dinasti dalam Pilkada. Akibat putusan itu, politik dinasti akan semakin berkembang biak yang mengakibatkan upaya untuk memperbaiki pemerintahan bakal terancam gagal.

Padahal, ujanyr, dalam penelitian pemberlakuan UU No 32 Tahun 2004 sekitar 10 tahun terakhir ini, politik kekerabatan makin serius.

“Pada 2013 terdapat 61 kasus politik dinasti atau 11 persen terjadi penyimpangan. Apakah ini mau dibiarkan?," kata Djohermansyah dalam dialektika demokrasi ‘MK Melegalkan Dinasti Politik’ bersama Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Reza Patria, dan pakar hukum tata negara Margarito Kamis, di Gedung DPR Jakarta, Kamis (9/7).

“Kita bukan melarang, tapi membatasi akibat penyimpangan kekuasaan yang menumpuk. Seperti pembatasan Presiden RI sebanyak dua kali, dan kalau ada calon memiliki hubungan kekerabatan dengan incumbent diberi jeda 5 tahun,” ulas Djohermansjah.

Sebab, yang namanya incumbent itu kata Djohermansjah, pasti ada pengaruh dalam politik, yaitu bisa mempengaruhi birokrasi, PNS dan rakyat. Alhasil tumbuh AMPI (anak, menantu, ponakan dan istri) selama Pilkada ini. Bahkan Ampi itu di tahun 2014 merambah ke legislatif dari pusat sampai daerah.

“Ini masyarakat feodal, paternalistik, maka perlu rambu-rambu. Jadi, di MK itu perlu hakim yang memiliki terobosan dengan melihat sosio Indonesia,” tegasnya.

Ahmad Reza Patria juga kecewa terhadap putusan MK tersebut. Padahal, dalam revisi UU Pilkada dengan membuang politik dinasti tersebut karena faktanya di daerah-daerah dalam 10 tahun terakhir ini tumbuh dan berkembang-biaknya raja-raja kecil, yang cenderung menyalahgunakan kekuasaannnya untuk melanggengkan kekuasaannya di daerah.

“Apalagi patahana, incumbent sebagai pengguna anggaran yang mencapai ratusan miliar rupiah sampai triliunan rupiah, yang bisa memastikan program sesuai kepentingan politiknya, sehingga daerahnya tetap tertinggal dan rakyatnya miskin. Untuk itu UU Pilkada memberikan jeda waktu 5 tahun untuk incumbent agar bisa mencalonkan kembali dalam Pilkada,” tegas Reza.

Ia juga meminta parpol tidak merekomendasikan incumbent kecuali putra terbaik daerah yang harus diberi kesempatan untuk maju dalam Pilkada. Kemudian meminta masyarakat harus menyelidiki kasus-kasus incumbent selama memimpin di daerah. Sebab, majunya incumbent dan keluarganya dalam Pilkada selalu ada kepentingan lain yang akan disembunyikan, yaitu menutupi, menjaga agar kasusnya tidak terungkap.

“Korupsi di daerah sulit terungkap karena saling sandera dengan birokrasi, pengusaha dan lain-lain. Karena itu, banyak yang menjadi boneka incumbent untuk menutupi kasus bahkan disiapkan untuk maju dalam Pilkada,” jelasnya.

Sementara itu Margarito menilai putusan MK itu sudah tepat, dan tidak perlu takut dengan dinasti politik, karena tidak ada alasan yang rasional untuk menangguhkan dan menghalangi seseorang maju dalam Pilkada akibat memiliki hubungan kekerabatan. “Jadi, putusan MK itu sudah tepat. Bahwa ada dinasti politik yang busuk itu ya, namun tipu-menipu, curi-mencuri, korupsi itu tak ada hubungannya dengan kekerabatan,” tegasnya. (dtc, sam)