Demo Meluas di Aceh, Pemerintah Pusat Didesak Tetapkan Bencana Nasional

Demo Meluas di Aceh, Pemerintah Pusat Didesak Tetapkan Bencana Nasional

Riaumandiri.co - Desakan penetapan status bencana nasional atas banjir bandang dan longsor di Aceh serta wilayah Sumatra terus menguat seiring bertambahnya korban dan meluasnya dampak kerusakan. Hingga kini, total korban meninggal di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tercatat mencapai 1.053 orang, dengan 200 orang masih hilang dan lebih dari 606 ribu jiwa mengungsi.

Dilansir dari Tribunnews.com, Gelombang aksi demonstrasi mulai muncul di berbagai daerah di Aceh pada Selasa (16/12/2025), sebagai bentuk tuntutan agar pemerintah pusat segera mengambil alih penanganan bencana. Massa menyuarakan bahwa skala bencana telah melampaui kemampuan pemerintah daerah.

Di Aceh Timur, masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Bersatu (GARAB) menggelar aksi long march di Jalan Lintas Medan–Banda Aceh, Kecamatan Madat. Mereka menilai ribuan rumah rusak, puluhan ribu warga mengungsi, serta lumpuhnya infrastruktur vital menunjukkan kondisi darurat berskala luas.


GARAB mendesak Presiden Prabowo Subianto turun langsung ke Aceh untuk melihat dampak bencana yang terjadi.

“Kondisi ini bukan lagi bencana lokal, tetapi sudah mencapai skala yang sangat luas dan berdampak lintas provinsi, sehingga memerlukan penanggulangan cepat, terkoordinasi, dan menyeluruh oleh pemerintah pusat,” ujar salah satu peserta aksi, Masri, dikutip dari Tribunnews.com.

Para demonstran menilai bantuan logistik dari pemerintah daerah belum mampu menutup kerugian sosial dan ekonomi masyarakat, mulai dari hilangnya tempat tinggal hingga sumber mata pencaharian. Mereka menuntut penetapan status bencana nasional paling lambat 16 Desember 2025.

Selain itu, GARAB juga mendesak pemerintah pusat menginstruksikan BNPB, TNI, Polri, serta kementerian terkait untuk melakukan penanganan darurat terpadu, termasuk pendataan kerusakan sebagai dasar relokasi, rekonstruksi, dan rehabilitasi.

“Kami menegaskan, penetapan bencana nasional bukan hanya kebutuhan administrasi, tetapi kewajiban negara untuk menjamin keselamatan warga. Aceh tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri. Negara harus hadir,” tegas Masri.

Aksi serupa juga digelar di Banda Aceh oleh Koalisi Masyarakat Sipil bersama mahasiswa di depan Gedung DPRA, bertepatan dengan peringatan Hari HAM Sedunia. Mereka menilai dampak bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah menyebabkan korban jiwa tinggi serta kerusakan infrastruktur strategis.

Koordinator aksi, Aditya, menyebut banyak wilayah masih terisolasi sehingga kebutuhan dasar korban belum terpenuhi.

“Situasi saat ini tidak bisa lagi ditangani secara parsial. Banyak wilayah masih terisolasi sehingga kebutuhan dasar korban belum terpenuhi. Negara harus hadir secara penuh,” ujarnya.

Perwakilan Greenpeace Indonesia, Crisna Akbar, menegaskan tanpa status bencana nasional, mobilisasi sumber daya akan terus terhambat.

“Skala bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sudah melampaui kemampuan pemerintah daerah. Penetapan bencana nasional mendesak agar mobilisasi sumber daya nasional bisa dilakukan secara cepat dan menyeluruh,” katanya.

Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara menyatakan Indonesia masih mampu menangani bencana secara mandiri meski mendapat tawaran bantuan dari luar negeri.

“Saya ditelepon banyak pimpinan kepala negara ingin kirim bantuan,” ujarnya,

“Saya bilang terima kasih, konsen Anda, kami mampu. Indonesia mampu mengatasi ini.” sambung Prabowo.

Presiden juga menyampaikan komitmennya untuk rutin memantau langsung penanganan bencana dengan mengunjungi wilayah terdampak minimal sekali setiap pekan. Hingga kini, ia telah beberapa kali mengunjungi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sebagai bentuk pengawasan langsung pemerintah pusat. (MG/RIJ)



Berita Lainnya