Jamiluddin Ritonga: Pasal Penghinaan Presiden Tak Relevan dalam RUU KUHP

Jamiluddin Ritonga: Pasal Penghinaan Presiden Tak Relevan dalam RUU KUHP

RIAUMANDIRI.CO - Pengamat komunikasi politik M Jamiludddin Ritonga menilai pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tidak perlu diatur dalam RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Setidaknya Jamil menyebutkan tiga alasan. Pertama, pasal penghinaan presiden dalam KUHP sudah dicabut oleh MK.

"Karena itu, tentu aneh kalau MK sudah membatalkan tapi dimunculkan kembali. Padahal, semua anak bangsa tahu kepurusan MK bersifat final," kata Jamil kepada media ini, Selasa (30/8/2022).

Karena itu, menurut Jamil, tidak ada alasan apa pun untuk memghidupkan kembali pasal penghinaan presiden.

Kalau hal itu dilakukan akan muncul ketidakpastian hukum. Hal demikian tentu tidak boleh terjadi di negara hukum.

Kedua menurut Jamil, di banyak negara penghinaan terhadap simbol negara tidak diperbolehkan. Bagi siapa yang menghina simbol negara dapat dipidanakan. Namun di Indonesia presiden dan wakil presiden bukanlah simbol negara.

"Karena itu, tentu tidak relevan bila dimasukkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden," kata Jamil.

Ketiga, menurut Jamil, negara demokrasi pada umumnya sudah tidak memasukkan fasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Sebab, dalam demokrasi hak setiap warga negara sama di depan hukum.

"Karena itu, bila ada pengaturan khusus penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, maka prinsif sama di depan hukum sudah diabaikan," katanya.

Selain itu, dalam negara demokrasi pengawasan jalannya pemerintah dilakukan oleh rakyat. Pengawasan berupa kritik yang disampaikan rakyat kerap dipersepsi penghinaan oleh presiden atau wakil presiden. Akibatnya, rakyat kerap dipersalahkan sudah melalukan penghinaan.

Jadi, persepsi presiden atau wakil presiden kerap dimenangkan oleh aparat hukum. Akibatnya, persepsi rakyat kerap menjadi salah.

Padahal dalam negara demokrasi, pemiliknya adalah rakyat. Kalau pemilik negara yang kerap dipersalhkan, maka hakekat demokrasi dengan sendiri telah hilang.

"Jadi, atas tiga pertimbangan tersebut seharusnya pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden ditiadakan di RKUHP. Semua itu demi kepastian hukum dan demokrasi di Indonesia," kata mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta itu. (*)



Tags Hukum