Geliat Kerupuk Sagu di tengah Himpitan BBM

Jumat, 10 April 2015 - 09:18 WIB
ilustrasi

TELUK KUANTAN (HR)-Cuaca Rabu (8/4) pagi menjelang siang cukup panas, ditambah suhu api tungku penggorengan membuat Jaima (51) sesekali-kali menyeka keringat di keningnya.

 Sepertinya ia tak peduli panasnya cuaca dan api penggorengan, ia terus memainkan perkakasanya sambil duduk.

Hal yang sama dilakukan saudaranya, Wahida (47) yang asyik menggoreng kerupuk tepung di tungku bagian depan. Tangannya begitu lihai menggoreng cemilan khas Kuantan Singingi.

"Kami sengaja berbagi tugas, satu menggoreng kerupuk sagu dan satu menggoreng kerupuk tepung," ujar Jaima ketika disambangi.

Industri rumah tangga kerupuk sagu yang dijalankan Jaima bersama adiknya sudah berlangsung sepuluh tahun terakhir. Ia sudah merasakan pahit manisnya perjalanan pembuat kerupuk, terlebih ketika perekonomian tidak menentu.

Usaha kerupuk sagu ia dirikan di Desa Pasar Baru Pangean. Tampak beberapa tungku dengan ukuran berbeda yang diatapi dengan dedaunan kelapa sawit. "Dua tungku ini untuk penggorengan, sedangkan yang besar untuk merebus bahan baku sagu," terang Jaima.

Jaima mengatakan, untuk saat ini situasi sangat sulit ditambah melambungnya harga sagu dan bahan membuat kerupuk. Dulu, ia membeli tepung seharga Rp5 ribu per kg, namun sekarang sekilo sagu Rp6 ribu. "Tidak hanya sagu yang naik, minyak goreng dan bawang juga mengalami kenaikan yang cukup tinggi," lanjut Jaima.

Sementara, Jaima menjual kerupuk yang dibungkus plastik ukuran 2 Kg seharga Rp5 ribu. Untuk kondisi ekonomi saat ini, masih ada masyarakat yang menawar dengan harga Rp4 ribu.

Untuk pemasaran, Jaima memiliki keterbatasan. Seiring bertambahnya umur, ia tak mampu menjajakan kemana-mana. Dulu, pemasaran sampai ke Kecamatan Benai dan Kuantan Hilir.

Kalau sekarang tidak kuat, hanya menunggu orang yang kesini sembari memenuhi kebutuhan pelanggan tetap di Pasar.

Ia pernah mempekerjakan enam orang membantunya membungkus. Selain itu, kerupuk yang dipasarkan dikemas dengan bungkusan cukup menarik.

 "Namun, biaya produksi semakin tinggi tak mampu lagi menggaji orang dan bungkusannya kembali ke plastik biasa," urai Jaima.

Jaima dan Wahida memiliki kisah berbeda. Sejak beberapa tahun terakhir, Wahida bercerai dengan suaminya, sejak itu ia harus berjuang memberi makan dan biaya sekolah anak-anaknya.

Wahida memiliki empat anak dan dua orang terpaksa putus sekolah. Sementara, dua orang lainnya duduk di SD dan SMP. Dengan gigih ia terus berjuang melawan berbagai himpitan. Ia tampak tegar dan sabar dalam menggoreng kerupuk. Ia menaruh harapan besar dari hasil penjualan.

Keberadaan usaha kecil seperti kerupuk sagu seharusnya mendapat perhatian pemerintah. Terutama di bagian pemasaran dan pembinaan secara berkelanjutan.

Jaima mengaku hal itu jarang ia dapatkan. "Pemerintah hanya memberikan modal pertama, setelah itu tidak ada pembinaan lebih lanjut," ujarnya.

Baginya, pembinaan berkelanjutan sangat dibutuhkan mengembangkan usaha kecil ini.

Dengan melambungnya harga bahan pokok seiring naiknya harga BBM, Jaima berharap pemerintah memberikan subsidi harga untuk bahan kerupuk.

"Keberadaan pemerintah sangat kami butuhkan, kita kesulitan mendapatkan bahan baku saat ini," katanya. Ia mengaku tidak bisa menaikan harga.

 Bagaimana mau menaikan harga, permintaan menurun drastis dengan kondisi ekonomi saat ini," pungkasnya. (mg2)

Editor:

Terkini

Terpopuler