Menanti Rumah Impian Keluarga Kami

Selasa, 11 Agustus 2020 - 00:03 WIB
Ilustrasi

Oleh: M Ihsan Yurin

RIAUMANDIRI.ID - Pada tahun 2002, saat saya masih kelas 2 SD, kami sekeluarga hijrah ke Perawang, Kabupaten Siak, Riau. Sebelumnya saya tinggal di Dharmasraya, Sumatra Barat. Saya tidak tahu kenapa kami harus pindah. Yang saya tahu, saya akan dekat dengan mbah kakung dan mbah putri. Hal yang saya idam-idamkan sebab setahun sebelumnya, mbah putri mengirimi saya mobil remot--mainan yang menjadikan saya cukup terkenal di kampung karena waktu itu masih sangat jarang yang punya. 

Awal-awal di Perawang, tentu seperti kebanyakan pendatang, kami menyewa sebuah rumah. Hidup di kontrakan hampir setahun, membuat kami tahu betul rasanya tanggal 10, tanggal batas pembayaran kontrakan. Tanggal di mana setiap pengontrak menarik napas dalam-dalam sambil bergumam "Waduhhh".

Makanya, ketika di tahun kedua hijrah kami mendapat informasi soal rumah murah, orang tua saya bergegas mencari tahu. Dengan sedikit sisa tabungan, rumah yang cukup jauh dari keramaian dan berbahan kayu seharga Rp7 juta itu, resmi jadi milik kami. Minimal, kata ibu saya, kami sudah tidak berkewajiban bayar sewa saban bulan. 

Rumah baru kami berada di tengah-tengah ladang masyarakat. Jumlah tetangga juga bisa dihitung jari. Jarang orang mau bikin rumah di sini, sebab masih sepi, area ladang-ladang tidak terurus, dan yang paling parah, langganan banjir. 

Benar. Bulan kedua kami pindah, rumah kami dilanda banjir. Di dalam rumah, tinggi air sampai sepaha orang dewasa. Padahal, rumah kami model panggung dengan tinggi kira-kira setengah meter. Model yang memang dipersiapkan menghadapi banjir. Namun, kami tidak pernah menyangka banjir akan datang secepat itu. Di bulan kedua punya rumah baru, kami sudah harus mengungsi. 

Dari 2003 hingga 2015, kira-kira 12 tahun sudah kami hidup dengan kondisi begitu. Rumah panggung berbahan kayu yang dulu kokoh, tentu saja kian lapuk. Posisi rumah tidak lagi lurus. Kalau dilihat dari samping, rumah kami sudah mirip kandang kambing reot yang tidak layak huni. Setiap melakukan aktivitas yang agak keras, seperti berjalan kencang, seluruh bagian rumah akan bergetar, bahkan bergoyang. Saya saja, sampai bisa membuat derit di semua sendi rumah hanya dengan mendorongnya dari depan. 

Kami sekeluarga sudah sepakat akan merenovasi rumah lapuk itu. Kebetulan, pada 2015 saya sedang bekerja dan ada sedikit penghasilan. Demi menghemat biaya, setiap ada waktu senggang saya akan bikin batako. Kami juga sudah menghitung-hitung apa saja bahan yang diperlukan. Namun, niat baru sampai niat. Meski batako sudah tercetak hampir 200 buah, biaya renovasi belum juga ada dan belum bisa dianggarkan. Apalagi untuk waktu, tentu belum bisa dipastikan.  Hingga, kejadian itu ...

Waktu itu pukul 02.00 WIB. Saya sedang bekerja piket malam. Cuaca di luar sangat buruk. Hujan lebat disertai petir. Meski tempat saya bekerja kedap suara, dentuman halilntar berkali-kali terdengar. Ibu saya tiba-tiba mengirim pesan singkat.

"San, rumah ambruk. Ibu sama adek ngungsi di tempat mbah."

Rumah mbah saya memang tidak terlalu jauh dari rumah kami. Belasan tahun terkena banjir, kami selalu mengungsi ke situ. Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. 

Ambruk? Gimana? Maksudnya apa? 

Saya coba hubungi ibu. Menanyakan detail masalahnya seperti apa. Saya panik. Jadwal piket malam itu terasa sangat panjang. Otak saya tidak lagi konsentrasi. Kepala regu tempat saya bekerja, setelah saya ceritakan permasalahannya, paham dan membiarkan saya bekerja dengan porsi di bawah standar. 

Rumah saya ambruk. Bangunan lapuk itu akhirnya kalah dengan waktu. Tidak kuat lagi menahan beban. Diterpa angin kencang, rumah kami akhirnya terpaksa duduk. Kayu kaki-kaki penyangganya miring dan patah. Rumah kami terhempas ke tanah. Tapi untungnya, keluarga saya tidak apa-apa. Adik saya yang masih berusia dua tahun pada waktu itu, pun aman-aman saja. Hanya barang-barang di dalam rumah berjatuhan, bergelimpangan. Ayah saya yang bekerja di luar kota, menelepon berkali-kali. Khawatir pada kondisi kami. 

Pagi ketika pulang kerja, setelah memastikan kondisi ibu dan adik baik-baik saja, saya langsung pulang ke rumah. 

Rumah kami masih berbentuk rumah, tapi sudah miring dan tidak simenteris. Saya coba buka pintu. Ternyata masih bisa meski terganjal. Saat sudah masuk ke dalam, saya pandangi rumah yang belasan tahun melindungi kami dari hujan dan panas itu. Rumah yang belasan tahun menjadi saksi tumbuh kembang kami. Di dalam rumah yang tidak lagi kokoh itu, saya baringkan badan di kasur. Tidak lama, saya pun tertidur. 

Kira-kira pukul 10.00 WIB, saya dibangunkan oleh tetangga. Saya disuruh pindah, melanjutkan tidur di rumah mbah saja. Saya kaget, ternyata di luar orang sudah ramai. Tetangga-tetangga saya berdatangan. Mereka tidak menyangka angin malam itu bisa sampai memorak-porandakan rumah kami. Mereka juga berencana membantu sebisanya. Saya pun ke rumah mbah melanjutkan tidur. 

Bangun saat zuhur, usai makan dan salat di rumah mbah, saya pulang lagi ke rumah kami. Ayah saya sudah datang. Ia terpaksa mengambil cuti. Di rumah kami, orang-orang ramai bahu-membahu membantu renovasi dadakan.

Akhirnya, berkat bantuan para tetangga, baik tenaga maupun pinjaman dana, pengerjaan rumah baru kami selesai. Berlantai tanah, masih dengan dinding yang sebagian besar papan, ukuran 4x8 meter, dan tanpa sekat. Satu ruangan plong saja. 

Semua aktivitas kami lakukan dalam ruangan mungil itu. Masak, mandi, tidur, dan lain-lain. Hanya lemari-lemari yang bisa dijadikan pembatas antara kamar, ruang tengah, dan dapur. Tentu saja, sangat-sangat sempit. 

Berangsur-angsur, hingga 2020 ini, rumah dadakan kami telah banyak berubah. Kamar mandi pindah ke luar, ada penambahan ruang dapur, dan lain-lain. Namun, tetap dengan dinding 50 persen papan dan 50 persen batako. 

Kini, ada harapan baru yang membuat kami bertambah lega. Rumah dadakan kami terpilih mengikuti program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) oleh Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR. Setiap rumah yang terpilih akan diberi stimulus dana bantuan sebesar Rp17,5 juta. Demi menjaga akuntabilitas, dana tersebut hanya bisa dicairkan dalam bentuk bahan bangunan. 

Kalau mengikuti jadwal, seharusnya bantuan tersebut sudah dapat dimanfaatkan sejak April 2020 lalu. Namun, tidak ada yang menyangka pandemi Covid-19 datang. Semua segmen kegiatan dunia tertunda, termasuk program BSPS ini.

Pertengahan Agustus nanti, semua bahan bangunan rencananya datang. Semoga saja bantuan ini bisa bermanfaat bagi orang kecil seperi kami. Semoga juga, tidak ada "sunat massal" di sana-sini yang akan memberatkan rakyat. 

Kalau pun bantuan ini tidak menjadikan rumah kami seperti rumah impian dalam imajinasi kebanyakan orang, paling tidak membuat rumah dadakan kami 5 tahun lalu menjadi jauh lebih baik, menjadi jauh lebih layak.

 

*Artikel ini diterbitkan dalam rangka mengikuti lomba bertema "Meraih Mimpi Rumah Pertama" yang diadakan Dirjen Perumahan Kementerian PUPR.

Editor: Rico Mardianto

Terkini

Terpopuler