Soal Penanganan Corona, Pengamat Nilai Kepercayaan Publik Menurun, Jokowi Bisa Dimakzulkan?

Selasa, 24 Maret 2020 - 22:12 WIB
Presiden Joko Widodo

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Direktur Legal Culture Institute (LeCI) M Rizqi Azmi menilai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun lantaran lemahnya kebijakan penanganan Covid-19. Oleh karena itu kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan jajarannya perlu dievaluasi.

“Kehadiran Covid-19 menjadi salah satu parameter penting dalam mengukur kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Kami secara tidak sengaja menemukan gejala baru dalam mengukur persepsi publik terhadap kebijakan pemerintahan di Desember sampai Februari. Ternyata negara diuji dengan variable force majeure yang jarang sekali diungkapkan dalam kedaaan darurat, yaitu wabah," jelas Azmi kepada Riaumandiri.id, Selasa (24/3/2020).

"Pemerintah terkejut dan terhenyak di saat semuanya menjalar dengan cepat. Artinya pemerintahan Jokowi periode kedua memang tidak siap menanggulangi variable baru ini sehingga semuanya kita saksikan peningkatan korban dari hari ke hari dimulai pada awal Maret," sambungnya.

Dalam analisa Azmi, ada beberapa indikator menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap penanganan corona yang berimbas pada ketidakpercayaan jalannya pemerintahan. Ditambah lagi dengan resesi global yang juga harus dihadapi pemerintah.

“Faktor pertama, kelalaian mengambil kebijakan yang butuh ketegasan cepat yang akhirnya kontra dengan jargon 'kerja, kerja, dan kerja'. Kedua, lemah dalam menggunakan instrument hukum. Sebenarnya pemerintah bisa bergerak cepat tanpa menunggu peraturan teknis seperti surat edaran dan imbauan," sebutnya.

Menurutnya, UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan bisa digunakan dalam mengatasi masalah ini. Undang-undang tersebut lengkap mengatur tentang keadaan darurat kesehatan, tapi tidak pernah dipakai dan seakan-akan mengindahkannya. 

"Ketiga, lemahnya koordinasi dengan daerah dan mementingkan ego sektoral sehingga masing-masing daerah menempuh jalannya sendiri untuk menyelamatkan warganya (auto pilot). Keempat, tidak memperhitungkan efek domino terhadap sektor lain seperti ekonomi dan ketenagakerjaan. Keragu-raguan pemerintah dalam mengambil tindakan akhirnya berimbas pada resesi ekonomi dan hilangnya lapangan pekerjaan," ungkapnya.

"Pemerintah tidak bisa menindak penampung masker dan hand sanitizer, APD dan alkes. Sampai hari ini masih ada yang menjual masker di atas Rp500 ribu dan masih banyak karyawan tetap yang dipermainkan pengusaha untuk bekerja di rumah namun gajinya dipotong atau dipilih mengundurkan diri,” tambahnya.

Azmi menyinggung soal dampak corona yang terjadi di Prancis, yaitu gugatan yang dilakukan kolektif C19 yang terdiri dari 600 dokter dan tenaga kesehatan yang menggugat mantan Menteri Kesehatan Agnès Buzyn dan Perdana Menteri Édouard Philippe. Keduanya dianggap tidak mengambil langkah-langkah diperlukan untuk memperlambat penyebaran COVID-19.

"Tindakan C19 bisa saja akan terjadi di Indonesia. Masyarakat bisa bersatu dan melayangkan gugatan, bahkan legislatif juga bisa mengeluarkan sinyal pemakzulan terhadap Presiden Jokowi melalui pertimbangan Mahkamah Konstitusi," imbuh dia.

“Beberapa isu pemakzulan di Prancis bisa saja memberikan efek kejut di Indonesia. Karena persepsi publik terhadap kepercayaan pemerintah sudah turun sehingga mudah menjustifikasi. Sehingga pada akhirnya kalau kerahan rakyat dengan politisi bergabung, maka tuntutan pemakzulan bisa saja terjadi. Mulai dari isu lalai menahan virus, lalai dalam menahan angka kematian sampai tenaga medis sudah mulai tumbang, resesi ekonomi dan PHK di depan mata, gesekan sosial dan penyebaran hoaks di mana-mana," ucapnya.

Namun, kata dia, harus dipahami bahwa konsep pemakzulan harus menggunakan pembuktian yang kuat sesuai arahan pasal 7A UUD 1945, yaitu terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, berdasarkan pertimbangan MK.

Azmi menyarankan, pemerintah sebaiknya mengikuti hukum sebagai panglima dengan mengimplementasikan peraturan perundang-undangan dan memperhatikan hak asasi manusia sebagai komponen dasar kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Sekarang harus dipahami bahwa presiden harus sadar akan kelemahan dirinya selama ini dan jangan malu mengakui itu. Sehingga, nanti akan terbuka pintu solusi yang baik karena mau mendengarkan pihak lain dan bertindak cepat. Hilangkan kepentingan politik dan ikuti saran terbaik dari rakyat serta terimalah kritikan dan surat peringatan rakyat melalui turunnya kepercayaan publik. Jangan sampai nanti rakyat mengajukan citizen law suit atau class action, barulah presiden tersentil," tutupnya.


Reporter: M. Ihsan Yurin


 

Editor: Rico Mardianto

Tags

Terkini

Terpopuler