Habibie dan Cita-cita Millennials: Antara Industri dan Romantisme

Jumat, 13 September 2019 - 07:58 WIB

Oleh: Hafrizal Okta Ade Putra*

RIAUMANDIRI.CO - Innalillaahi wa innaailaihi raaji'uun. Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali (Al-Baqarah 2:156). Indonesia berduka. Rabu, tanggal 11 September 2019, pukul 18.05 WIB, Bacharudin Jusuf Habibie, Presiden ke-3 Republik Indonesia meninggal dunia di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta.

Mengenang sosok Habibie, mengembalikan ingatan saya ketika masih berseragam Sekolah Dasar pada tahun 1990-an. Pada saat itu sering muncul pertanyaan kepada saya, anak-anak seusia, atau sebaya. Jika sudah besar nanti, mau jadi apa? Atau, cita-citanya apa? Secara spontan saya jawab, Habibie, dan mayoritas jawaban yang sering terdengar dari anak-anak lainnya juga ingin menjadi Habibie. Meskipun dari beberapa jawaban ada yang ingin menjadi dokter, pilot, insinyur, atau bahkan presiden. Tetapi Habibie bukanlah profesi, Habibie adalah nama orang atau personal, dan seingat saya ini satu-satunya pada masa itu, ingin menjadi Habibie.

Pertanyaan berikutnya, kenapa ingin seperti Pak Habibie? Rata-rata yang sering terdengar adalah supaya bisa bikin pesawat terbang, atau karena "positioning" sebagai orang paling jenius di Indonesia. Bahkan popularitas kejeniusan Habibie pada masa itu mengalahkan Albert Einstein. Kira-kira itulah sosok idola dengan kejeniusan dan karyanya bagi generasi yang lahir antara tahun 1980 sampai tahun 1990-an, atau bahkan sampai dengan tahun 2000.

Dalam kajian ilmu sosial, generasi yang lahir antara tahun 1980 sampai dengan tahun 2000 merupakan cohort (kelompok demografis) yang sering disebut dengan istilah generasi milenial atau generasi Y. Generasi milenial merupakan istilah yang sering kita dengar, memiliki keunikan, dan menonjol dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Begitu banyak generasi milenial yang bercita-cita ingin seperti Habibie pada masa kanak-kanaknya. Beliau memang sangat identik dengan kejeniusan, dan itu juga merupakan bagian dari harapan setiap orang tua terhadap anaknya pada saat itu. Tidak dapat dipungkiri, berkat kejeniusannya, Habibie memiliki banyak hak paten di bidang teknologi, menggerakkan banyak industri, termasuk penerbangan, dan berkontribusi besar terhadap penerbangan sipil dunia.

Habibie pada usia muda berkarir di Jerman, punya banyak prestasi, taat pada agama, sangat mencintai Indonesia, dan punya mimpi besar membuat pesawat terbang untuk menyatukan Indonesia. Beliau memutuskan kembali ke Indonesia pada 1973 setelah diminta oleh Presiden RI ke-2, Soeharto, untuk mengembangkan industri pesawat terbang dan industri-industri lainnya di Indonesia. Pada tahun 1978, Habibie resmi diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi, dan memimpin proyek pesawat N250 Gatot Kaca pada tahun 1978, yang merupakan pesawat pertama buatan Indonesia.

Pada tahun 1995 pesawat N250 berhasil mengudara, dan menjadi kado ulang tahun kemerdekaan RI ke-50. Namun harapan dan usaha keras yang dirintis Habibie kandas karena krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997. Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) "terpaksa" ditutup karena International Monetary Fund (IMF) menolak memberi bantuan untuk pengembangan pesawat.

Sangat disayangkan memang, tetapi semuanya belum berakhir. Jika saja cita-cita generasi milenial pada masa kanak-kanaknya ingin menjadi Habibie dapat terwujud, maka akan banyak muncul Habibie-Habibie milenial, dan dapat dipastikan Indonesia akan menjadi negara maju di masa depan. Akan lahir inovator-inovator baru yang cinta tanah air, dan mendorong terciptanya industri-industri baru di berbagai sektor di Indonesia, atau bahkan dunia.

Berbeda dengan Habibie yang lahir pada tahun 1936, generasi milenial lahir dan dibesarkan pada saat teknologi sudah canggih, lebih optimis daripada orang tua mereka, mayoritas memiliki latar belakang pendidikan tinggi, dan lulus dengan baik. Dengan bantuan teknologi, mereka mampu mengasimilasi informasi dengan cepat, memiliki pengetahuan luas, dan kemampuan multitasking. Ini harusnya menjadi kekuatan. Jumlah generasi milenial cukup mendominasi, yaitu sepertiga jumlah penduduk Indonesia, yang pada tahun 2017 sudah mencapai 261,89 juta jiwa (BPS, 2018).

Sisi lain dari Habibie yang diidolakan generasi milenial adalah kisah cinta dan romantisme dengan istri beliau, Hasri Ainun Besari, atau biasa dipanggil Ainun Habibie. Kisah yang difilmkan pada tahun 2012, saat di mana para generasi milenial berada pada usia remaja, dewasa, atau baru berumah tangga, dengan segala macam kisah cinta dan romantisme yang sedang hangat-hangatnya.

Film yang diberi judul Habibie & Ainun, dibintangi oleh Reza Rahardian dan Bunga Citra Lestari. Film ini mengangkat memoar yang ditulis Habibie mengenai kisah hidupnya bersama mendiang istri, dalam buku Habibie dan Ainun. Kisah cinta dan romantisme yang ditunjukkan oleh Habibie dan Ainun, menjadi simbol perjuangan, kesetiaan, dan cinta sejati yang mampu menginspirasi generasi milenial.

Antara industri dan romantisme, Habibie mampu membuatnya berjalan beriringan. Dengan makna lain, jangan sampai generasi milenial hanya membangun cinta saja, tetapi lupa membangun ekonomi. Standar kehidupan orang-orang di berbagai belahan dunia lain sudah semakin tinggi, meskipun demi cinta, hidup tidak cukup dengan makan sepiring berdua. Mana kuat, walaupun hanya untuk pura-pura bahagia.

Menurut Habibie, cinta dan kecerdasan harus seimbang, "Tanpa cinta, kecerdasan itu berbahaya, dan tanpa kecerdasan, cinta itu tidak cukup." Tidak salah jika pada masa kanak-kanak, remaja, atau dewasa mayoritas generasi milenial bercita-cita ingin seperti Habibie, terlepas sadar atau tidak, beliau sangat layak untuk menjadi panutan. Jangan sampai lupa dengan cita-cita, dan harus diperjuangkan. Terima kasih Bapak Bacharudin Jusuf Habibie, selamat jalan dan bahagialah selamanya.


*Penulis:

  • Wakil Rektor II Universitas Tamansiswa Padang
  • Ketua Lembaga Kerjasama dan Pengembangan Institusi Universitas Tamansiswa Padang
  • Sekretaris Senat Universitas Tamansiswa Padang

Editor:

Terkini

Terpopuler