Buruknya Perlindungan Hak-hak Buruh

Rabu, 29 Maret 2017 - 07:31 WIB
(riaumandiri.co)-SEBANYAK 318 orang buruh JO RekindWorley Parsons (RWP) mendatangi LBH Pekanbaru untuk meminta bantuan mendapatkan hak mereka. 318 orang ini di PHK pada 11 Januari 2017 tanpa pesangon dan hak lainnya. Berbagai masalah muncul saat perjanjian kerja yang merupakan pokok awal dimulai pekerjaan terdapat cacat hukum dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
 
Permasalahan ini bermula saat perjanjian kerja antara para buruh dengan JO RWP dibuatkan dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Padahal pekerjaan mereka di bidang engineering, construction and management merupakan pekerjaan yang tidak dapat dibuat dalam pekerjaan waktu tertentu.Dapat dilihat bahwa pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang sifatnya tetap namun dibuat seolah-olah pekerjaan tersebut pekerjaan yang akan habis berdasarkan perjanjian agar pengusaha dapat mengelak dari kebijakan mereka untuk membayarkan pesangon atas buruh yang mereka pekerjakan.
 
Tentu kasus perburuhan ini tidak hanya satu, LBH Pekanbaru telah banyak menangani perkara perburuhan seperti ini dengan berbagai modus, seperti membuat perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak) secara reguler setiap tahun dan pada tahun ketiga dibuat pilihan apakah mau melanjutkan pekerjaan dengan kontrak kerja dihitung dari nol lagi atau tidak dilanjutkan kontrak kerjanya. Sehingga tidak akan ada karyawan yang bekerja lebih dari 2 tahun pada perusahaan tersebut. Belum lagi modus lainnya seperti membuat perjanjian kerja yang merugikan buruh hingga tidak membayarkan pesangon bagi buruh yang di PHK hanya demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar secara tamak.
 
Polemik Buruh di Indonesia
Perjanjian Kerja menurut waktu berakhirnya dibagi menjadi dua, yakni Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). PKWT yang pekerjanya sering disebut sebagai karyawan kontrak adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
 
Dasarnya PKWT di Indonesia adalah UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertras) Nomor: Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Dalam Kepmen 100/2004 ini, hanya pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya atau jangka waktu paling lama tiga tahun, pekerjaan yang bersifat musiman, pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru dan perjanjian kerja harian atau lepas.
 
Sedangkan PKWTT menurut Kepmen 100/2004 adalah perjanjian kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Pekerjanya sering disebut karyawan tetap. Tidak seperti PKWT yang membolehkan masa percobaan kerja, dalam perjanjian kerja PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja selama 3 (tiga) bulan. 
 
Polemik perburuhan dibagi menjadi 3 bagian besar, yakni saat pembuatan perjanjian kerja, saat bekerja dan saat pemutusan hubungan kerja. Secara keseluruhan polemik muncul karena ketamakan dari pengusaha untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya tanpa memikirkan aspek keadilan bagi para buruh yang bekerja kepadanya.
 
Pertama, polemik saat pembuatan perjanjian kerja. Dalam pembuatan perjanjian kerja sudah seharusnya mengikuti aturan perundang-undangan. Di dalamnya sudah dijelaskan ketentuan pekerjaan mana saja yang bisa dibuatkan kontrak sebagai karyawan tetap atau karyawan kontrak. Namun pada praktiknya, banyak pengusaha yang membuat kontrak kerja bagi karyawan tetap namun dibuatkan sebagai karyawan kontrak. Selain itu, ditambahkan lagi bahwa karyawan kontrak tersebut diwajibkan menjalani masa percobaan yang bahkan lebih dari 3 bulan dengan pembayaran upah di bawah upah minimum.
 
Polemik lainnya adalah saat buruh yang akan bekerja direkrut di kantor yang tidak punya kantor operasional di wilayah tersebut. Contoh seperti buruh direkrut di Jakarta dan kemudian dipekerjaan pada kantor perusahaan yang ada di Pekanbaru. Pada praktiknya, kantor di Jakarta hanya berfungsi sebagai perusahaan outsourcing yang akan menyalurkan buruhnya ke kantor-kantor yang membutuhkan jasa mereka di seluruh Indonesia.
 
Kedua, polemik saat bekerja. Polemik kembali mencuat saat kontrak sudah ditandatangani tanpa dijelaskan mengenai hak-haknya. Buruh sering kali bekerja melebih jam kerja yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan hal tersebut dibunyikan di dalam perjanjian kerja tanpa ada pengawasan dari Dinas Tenaga Kerja yang bertugas sebagai pengawas. Pekerjaan yang melebihi jam kerja tersebut dibarengi dengan tidak diberikan upah lembur atasnya.
 
Buruh yang seharusnya bekerja sebagai karyawan tetap namun dipekerjakan dengan ketentuan yang berlaku bagi karyawan kontrak tentu tidak sadar hal ini merupakan bom waktu bagi dirinya. Karena mereka bekerja dengan ketentuan kontrak yang di perpanjang setiap tahun tanpa akan tahu ditahun depan akan diperpanjang atau diputuskan kontraknya. Tentu tidak akan bermasalah jika buruh tersebut masih dalam usia produktif, namun jika buruh sudah berada di usia yang tidak produktif, maka tentu akan menjadi permasalahan tanpa adanya pesangon dan uang pensiun bagi buruh tersebut.
 
Polemik lainnya adalah meminta keadilan atau bertanya hak merupakan pelanggaran berat dan berujung pada pemecatan atau pemutusan hubungan kerja. Dengan sistem yang tidak menjunjung tinggi hak dan keadilan ini menciptakan suasana otoriter dan keterpaksaan dalam bekerja sehingga tidak ada transparansi di dalam perusahaan tersebut. Hal ini yang mengakibatkan banyak hak buruh yang diabaikan oleh pengusaha dan buruh juga tidak dapat menyampaikan keinginan mereka secara terbuka.
 
Ketiga, polemik saat pemutusan hubungan kerja. Tentunya setiap pekerjaan akan memasuki akhir masanya baik itu pensiun maupun diberhentikan atau diputuskan hubungan kerjanya. Bagi buruh yang dikontrak sebagai karyawan kontrak tentu akan kesulitan dalam meminta hak mereka seperti pesangon jika kontrak mereka telah diputus atau telah habis. Bahkan banyak kasus mereka tidak diberikan hak mereka
Maka saat mereka telah bekerja berpuluh-puluh tahun namun dengan status kontrak, hanya akan membuat buruh tua tanpa bisa menghasilkan atau menyimpan sesuatu untuk persiapan di masa tuanya. Sehingga terkesan pekerjaan ini akan melahirkan perbudakan model baru tanpa adanya kesejahteraan bagi buruh.
 
Karena permasalahan meminta hak bukan barang mudah dan cepat. Karena akan melalui proses perundingan bipartit, tripartit dan pengadilan hubungan industrial yang walaupun berbiaya murah tapi tidak cepat dan terkadang permasalahan terjadi saat ingin melakukan eksekusi putusan. 
 
Negara Harus Hadir di Tengah Buruh
Perselisihan yang berkaitan dengan perburuhan akan bermuara pada pengadilan baik itu pengadilan hubungan industrial di Pengadilan Negeri maupun di Mahkamah Agung. Namun tentu tidak bisa dianggap semudah itu. Karena pada prinsipnya lembaga yudikatif hanya berperan sebagai corong undang-undang. Jadi saat undang-undang tidak jelas mengatur hak bagi buruh, maka tidak akan dihasilkan putusan yang memenuhi rasa keadilan bagi buruh. Dan putusan tanpa dapat dieksekusi merupakan lembaran-lembaran kertas saja.
 
Persoalan paling esensial adalah fungsi dan peran negara sebagai pengawas bagi tindakan pengusaha yang nakal dan tidak melaksanakan aturan. Bisa saja pengadilan akan mengabulkan gugatan buruh terkait pesangon dan perubahan statusnya dari PKWT ke PKWTT dan juga hak lainnya yang diingkari oleh pengusaha. Namun itu dapat diterapkan hanya bagi buruh yang menuntut haknya saja. Bagaimana dengan buruh yang tidak menuntut haknya dan ditakuti dengan ancaman jika meminta haknya? Tentu tidak akan mendapatkan apa-apa. Inilah yang terjadi sekarang ini.
 
Negara sebagai pengawas terhadap pengusaha yang menyimpangi aturan perundang-undangan dan memberikan sangsi yang tegas agar tidak terjadi lagi praktek-praktek kecurangan dalam hubungan industrial antara buruh dengan pengusaha. Tapi hal ini tidak dapat terlaksanakan karena Negara masih kalah dominan dari Pemodal/Pengusaha. Memanfaatkan celah ini, Pemodal/Pengusaha dengan leluasa membuat polemik perburuhan di Indonesia menjadi mimpi buruk yang tidak ada penyelesaiannya.
 
Maka Negara perlu membuat aturan yang lebih lanjut mengenai perburuhan di Indonesia dan menindaktegas setiap pelanggaran praktek-praktek dalam dunia perburuhan di Indonesia agar buruh di Indonesia tidak lagi menjadi objek perbudakan zaman moderen.
 
Penulis adalah: Direktur LBH Pekanbaru 
 

Editor:

Terkini

Terpopuler