KPK: Bahaya Kalau Disebut

Selasa, 21 Maret 2017 - 07:39 WIB
Sidang dugaan korupsi e-KTP.
YOGYAKARTA (riaumandiri.co)-Hingga saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi belum mengungkapkan kepada publik, siapa saja pihak yang sudah mengembalikan uang terkait kasus e-KTP. KPK beralasan mereka dianggap telah membantu KPK dan memiliki itikad baik. "Karena dia sudah membantu KPK, punya itikad baik. Bahaya juga kalau disebutin namanya. 
 
Siapa yang akan menjamin keselamatannya," ujar Wakil Ketua KPK Laode M Syarif kepada wartawan usai menjadi pembicara dalam seminar bertajuk 'Menelusuri Peran dan Kinerja DPR dalam Pemberantasan Korupsi' di University Club Universitas Gadjah Mada (UC UGM), Sleman, Yogyakarta, Senin (20/3).
 
Meski begitu, Laode menegaskan bahwa pengembalian uang itu tidak menghilangkan tanggung jawab pidananya. Lalu jika kemudian ditetapkan sebagai tersangka, apakah mereka akan mendapatkan keringanan hukuman kelak?
 
"Biasanya kalau dia konsisten sampai persidangan, kita bisa berikan (dia adalah) tersangka yang bekerja sama. Hukumannya bisa diringankan. Tapi keputusan ada di tangan hakim," jawabnya.
 
Tak Gunakan Suap 
Sementara itu, Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah mengatakan, pihaknya tidak menggunakan pasal suap atau gratifikasi dalam penanganan korupsi e-KTP. Menurut KPK salah satu penyebabnya adalah keberadaan kerugian negara dalam kasus ini dan untuk menyelamatkan aset-aset milik negara.
 
"Konstruksi besar kasus ini adalah indikasi tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, Kami menguraikan sejak proses tahun 2009 dan 2010 serta proyeknya baru tahun 2011-2012," terangnya.
 
Menurut KPK ada proses penerapan pasal suap dalam kasus ini karena ada indikasi memperkaya diri sendiri. Selain itu, jika digunakan pasal suap maka kerugian negara yang mencapai Rp 2,3 triliun sulit untuk dikembalikan.
 
"Dalam konstruksi hukum terdapat apa yang disebut dengan absorbsi atau penyerapan dari pasal suap dan gratifikasi karena ada indikasi memperkaya diri sendiri atau orang lain di pasal 2 dan pasal 3," ujar Febri.
 
"Ketika kami menemukan indikasi sejumlah dana untuk meloloskan APBD tentu itu gratifikasi, Beda dengan e-KTP, karena indikasinya merugikan keuangan negara kalau menggunakan pasal suap sejak awal akan terlepas dari asset recovery Rp 2,3 trilun. Jadi fokus KPK juga untuk menyelamatkan aset negara," sambungnya.
 
Meski tidak menggunakan pasal suap, KPK tidak menutup kemungkinan menjerat para penerima aliran dana korupsi dengan pasal suap jika ada bukti yang cukup. "Jika memang ada pihak lain dari konstruksi besar indikasi merugikan negara akan ditelaah lebih lanjut," jelasnya.
 
Terpisah, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menggulirkan wacana hak angket guna mengusut tuntas siapa saja pihak yang terlibat dalam kasus korupsi e-KTP. Fahri mengaku bukan menyerang Ketua KPK Agus Rahardjo, melainkan menuntut profesionalisme KPK.
 
"Tidak ada soal menyerang. Kalau Agus terlibat, ya harus menyerahkan diri. Tetapi itu tidak diungkap di dalam KPK sendiri," ujarnya.
 
Fahri mengatakan hak angket itu diharapkan mampu menjadi cara mengawasi kinerja KPK. Fahri mengaku heran karena usulan hak angket itu mendapat sorotan dari banyak pihak.
 
"Sekarang kalau kita mau awasi KPK, sebagai anggota DPR atau anggota legislatif, kita dibilang memperlambat. Lantas, siapa yang akan mengawasi KPK kalau bukan DPR?" imbuhnya.
 
Menurutnya, semua lembaga di Indonesia wajib diawasi. Dia beranggapan presiden, yang merupakan produk pemilu, saja wajib diawasi, apalagi KPK, yang bukan merupakan produk pemilu.
 
"Tidak boleh ada lembaga di republik ini yang tidak diawasi. Presiden saja diawasi, padahal hasil pemilu, kita awasi. Apalagi yang ini bukan hasil pemilu. Ini kan hasil pilihannya pansel dengan DPR. Jadi harus diawasi, dong," katanya.
 
Fahri pun turut menyoroti kinerja KPK selama ini. Dia menganggap KPK bukanlah lembaga yang tak lepas dari kesalahan.
 
"Belum tentu kerjanya benar. Jadi pemberantasan korupsi itu kalau ada orang ditangkap belum tentu benar kerjanya. Sama saja dengan Densus. Kalau Densus itu membunuh teroris, terbunuh. Itu belum tentu benar. Gimana yang benar? Kan tidak terbunuh, tidak ada teroris," ucapnya.
 
Fahri merasa heran terhadap anggapan masyarakat dalam menilai keberhasilan suatu lembaga berdasarkan intensitas kesibukan lembaga itu dalam bekerja. Dia meminta publik tidak menilai KPK sebagai lembaga yang sukses hanya karena terlihat sibuk selama ini.
 
"Kita ini susah, ya. Kadang-kadang cara berpikirnya itu antara sukses dan sibuk. Nggak bisa dibedakan orang sibuk dianggap sukses, orang sibuk belum tentu sukses, kan. Ada juga orang sibuk, gagal saja kerjanya," katanya.
 
Masih adanya tindak korupsi dijadikan Fahri sebagai parameter untuk menilai kinerja KPK. Dia tetap beranggapan bahwa KPK masih belum mampu memberantas korupsi.
 
"Sibuk memberantas korupsi tapi sukses nggak memberantas korupsi? Bohong kalau nggak ada (korupsi, red). Orang itu sukses memberantas korupsi kalau korupsinya makin nggak ada. Tapi kalau tambah banyak, ya itu gagal," ujarnya. 
 
Dalam kasus ini, jaksa pada KPK mendakwa eks Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman dan eks Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Sugiharto. Keduanya melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2013.
 
Penyimpangan pengadaan e-KTP dimulai dari proses anggaran, lelang, hingga pengadaan e-KTP. Irman didakwa memperkaya diri sebesar Rp 2.371.250.000, USD 877.700, dan SGD 6.000. Sedangkan Sugiharto memperkaya diri sejumlah USD 3.473.830. (dtc, ral, sis)

Editor:

Terkini

Terpopuler