Zona Halal Kawasan Danau Toba

Senin, 13 Februari 2017 - 07:39 WIB

(riaumandiri.co)-Saat traveling ke Beijing ibu ko­ta Tiong­kok, pada akhir mu­sim semi 2014, saya mem­bawa bekal makanan dan mi­­numan hanya cukup untuk 2 hari, di­ma­na sebagian saya beli di Bandara KLIA2, Kuala Lumpur. Sebuah cooker ke­­cil juga ikut diboyong sebagaimana biasa.

Tujuannya untuk memasak mi instan, lon­tong instan maupun bubur ayam instan.
Bekal selama dua hari itu tentu tidak cukup karena se­ming­gu berada di ibu kota negeri tirai bambu itu mengingat banyak­nya destinasi wisata dan luasnya wilayah Tiongkok.

Sampai kemudian bekal tinggal sedi­kit, sayapun harus ber­gerilya men­cari ma­kanan. Berkat bantuan mesin pen­cari Bai­du (di Beijing dilarang meng­gunakan Google dan Yahoo), saya akhir­nya me­nemukan Muslim Supermarket sekaligus juga Food Court Muslim di lan­tai duanya di zona pemukiman war­ga Muslim Tiongkok di sekitar Masjid Niujie.

Bagi wisatawan Muslim seperti saya, men­cari makanan ha­­lal sudah kewajiban. Maka itu tak jarang harus membawa be­kal dari Indonesia. Walaupun mendapat fa­silitas breakfast di hotel, tetapi tak mudah kecuali hotel tersebut menyedia­kan makanan halal. Akhirnya break­fast selama ini lebih banyak me­milih yang semi vegetarian, seperti buah segar dan telur rebus saja. Ada juga be­berapa restoran halal di Beijing, tetapi ra­sanya tidak cocok di lidah.

Adanya makanan halal di zona wisata sebenarnya sangat menolong serta juga membahagiakan wisatawan Muslim. Betapa tidak, di saat menikmati keindah­an alam pun atraksi wisata, tiba-tiba pe­rut merasa lapar tetapi apa jadinya jika di sekitar tak ada makanan halal?

Hal seperti ini pernah saya rasakan di Je­pang. Saat ber­be­lan­ja di Takhesita, Tok­yo, Agutus 2013, tak terasa sudah jam 1 siang waktu setempat. Perutpun su­dah keroncongan. Mau mencari resto halal tidak ketemu. Namun Alhamdu­lillah, di sebuah pedestrian, di seberang sta­siun kereta, saya bersua de­ngan pen­jual kebab orang Turki di atas kios motor. Keba­hagi­a­an juga saya rasakan saat meng­hadiri konser­ Summer­sonic 2013 - konser rock musim panas di Tokyo - di stadion di kawasan Ciba, diantara outlet makanan terdapat dua oulet makanan Muslim menu India dan Timur Tengah. Padahal even itu digelar oleh orang Jepang yang non Muslim. Sayapun betah menonton sampai malam dimana dian­tara lineupnya band besar dunia seperti Metallica, dan Linkin Park.

Kenangan berwisata ke Negara Je­pang dan Tiongkok itu kembali menge­muka menyusul statemen Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang beren­cana menjadikan Zona Halal di Kawa­sanDanau Toba, destinasi wisata alam ke­banggaan Sumut dan Indonesia. Ren­cana ini bertujuan mengakomodir wisa­tawan muslim yang selama ini mengeluh kesulitanmencari kuliner halal, terutama dari wisatawan Malaysia yang termasuk terbesar masuk ke Sumut.

Namun, belum apa-apa rencana baik dan mulia itu sudah ditanggapi miring dan keliru oleh sejumlah pihak, antara lain elemen mahasiswa dan anggota dewan.

Dalam pernyataan di sejumlah media, me­reka menyebutkan wacana itu akan me­nimbulkan konflik horizontal, dan peng­­kotakan masyarakat. Wacana ini juga dinilai anggota dewan bagian dari se­sat berpikir dan kesadaran diskrimina­tif dan pernyataan ini bisa membahaya­kan.

Hmm, berpendapat sih wajar saja. Na­mun, menurut saya pernyataan itu keliru dan justru yang menyesatkan. Mengapa demikian?

Saat ini, sudah banyak negara-negara yang memandang industri pariwisata sebagai penyumbang devisa negara yang besar. Oleh sebab itu, mereka meng­ga­lak-galakkan wisata halal karena mereka menyadari jumlah wisatawan Muslim kian hari kian banyak yang berkunjung kenegaranya.

Salah-satunya adalah Thailand. Ne­gara dengan mayoritas penduduk ber­agama Budha ini kini sedang memanja­kan wisatawan muslim melalui pengem­ba­ngan wisata halal. Pada tahun 2015 lalu, negara itu menggelar Thailand Tra­vel Mart (TTM) yang bertemakan wisata Ha­lal di Thailand dan dihadiri partisipan travel agent dan hotel dari seluruh dunia. Konvensi itu kemudian ditandai dengan peluncuran aplikasi online Halal Tourism Thailand yang bisa diakses di smart­phone dan Tablet yang berisi petunjuk ako­modasi dan kuliner halal di seluruh des­tinasi wisata di Thailand.

Data yang dirilis World Travel Tourism Council (WTTC), menyebutkan Thai­land mampu meraup keuntungan dari bisnis wisata halal mencapai US$ 47,4miliar sementara Malaysia US$15 miliar, Singapura US$ 16 miliar dan Indo­nesia hanya 11,9 US Dolar.

Indonesia sendiri juga kini sedang meng­ga­lak­kan wisata Halal dan peneta­pan zona halal karena pemerintah tam­pak­nya menyadari industri pariwi­satamerupakan industri jasa yang mem­beri­kan kontribusi penting bagi per­eko­nomian nasional. Konsep Halal-Tourism kini dikembangkan di Aceh, Sumbar dan Lom­bok (NTB).

Mnteri Pariwisata, Arief Yahya di Ja­karta beberapa waktu lalu mengatakan se­tiap kota, setiap daerah, boleh saja membuat kawasan halal, hotel halal, restoran halal, kafe halal, dan sebagainya karena secara bisnis, memang ada pasar­nya, dengan daya beli yang sangat kuat.

Peluang
Dalam acara World Islamic Economic Fo­rum (WIEF) ke-12 yang digelar di Ja­karta Convention Centre (JCC) Se­na­yan, Jakarta Pusat, 2-4 Agustus 2016 lalu ter­ungkap bahwa berdasarkan studi Global Muslim Travel Index (GMTI) 2016, jum­lah total kedatangan wisatawan mus­lim mencapai angka 117 juta pada 2015. Angka ini diperkirakan terus bertambah hing­ga 168 juta wisatawan pada tahun 2020, dengan total nilai pengeluaran di­atasi US$200 miliar. Apalagi populasi ma­sya­rakat muslim diperkirakan men­ca­pai 26 persen dari keseluruh­an populasi masyarakat dunia pada tahun 2030.
Ini tentu sebuah peluang bagi setiap negara yang ingin mendongkrak pemasu­kan dari industri pariwisata. Apalagi bagi Su­matera Utara yang lewat Danau Toba me­yakini sedang di gadang-gadang oleh pe­merintah Pusat.

Janganlah kita menjadi katak dalam tem­purung, Mari move on, keluar dari tem­purung untuk melihat dunia ini secara luas. Di negara negara non muslim saja kini berlomba memanjakan zona halal da­lam arti restoran halal, hotel syariah, ku­liner ha­lal, fasilitas ibadah, dan selama ini tidak memicu masalah, mengapa kita disini justru berfikir sebaliknya? Justru pernya­taan pernyataan sebagian pihak itu di awal tulisan ini yang menyesatkan karena berpotensi memprovokasi umat yang sudah hidup damai.

Negara Tiongkok yang katanya ko­munis saja di ibukota Bejing mempunyai supermarket dan food court Muslim. Di Jepang, di bandara International di Tokyo, baik Narita dan Haneda, Anda akan mendapatkan mushola untuk umat Islam dan menemukan restoran halal.

Demikian juga di negara mayoritas penganut agama Budha, Thailand. Di mall MBK, terdapat mushola yang jauh lebih baik dari mall favorit di Kota Medan. Bahkan mushola di bandara internasional Suvarnabhumi Bangkok jauh lebih baik besar dari di Bandara Kuala Namu Me­dan. Di Soi 7 Nana, di downtown Bang­kok, didominasi pe­nginapan dan resto muslim yang ma­yoritas dihuni wisatawan Muslim dari Timur tengah. Suasananya bukan lagi seperti di Bangkok melainkan di Arab.

Bahkan, di dalam pesawat Thai Airways tujuan domestik Bangkok-Chiang Mai para penumpang diberi snack ber­label Halal dari Majelis Ulama Thailand. Begitulah bagaimana mereka memanja­kan wisatawan Muslim supaya tidak ragu ragu datang kenegeri mereka.

Sebagai akhir dari tulisan ini, saya berpendapat Pemerintah pro­vinsi Sumut maupun Pusat dalam hal ini Kementerian Pariwisata tampaknya perlu lebih banyak mensosialisasikan Zona Halal ini supaya bisa dipahami oleh semua pihak dan meluruskan stigma-stigma yang terlanjur keliru pun negative thinking.

Kasihan Danau Toba jika dipoles-poles, dipromo-promo, tetap saja tidak mampu mendong­krak wisatawan hanya karena wisatawan kesulitan menemukan kuliner halal. Padahal potensi wisatawan itu mayoritas wisatawan Muslim selama ini, terutama dari Malaysia dandomestik. *** (sumber: analisa.com)

Penulis jurnalis, alumni Pariwisata USU, senang traveling, tinggal di Medan.

Editor:

Terkini

Terpopuler