Kepastian Hukum tak Ada, TNTN Terus Dirambah

Selasa, 23 Agustus 2016 - 08:11 WIB
Salah satu kawasan di Taman Nasional Tesso Nilo yang dihuni perambah. Tidak adanya kepastian hukum membuat perambahan di kawasan itu masih saja berlanjut.

PEKANBARU (riaumandiri.co)-Masih berlanjutnya aksi perambahan di Taman Nasional Tesso Nilo, membuat kondisinya jadi sangat memprihatinkan. Kondisi ini terjadi akibat tidak adanya kepastian hukum terkait kawasan hutan dilindungi tersebut.

Kepastian Penilaian itu dilontarkan praktisi hukum Riau, Hotland Simanjuntak, Senin (22/8). Dikatakan Hotland, kawasan TNTN ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor; 225/Menhut-II/2004, yang memiliki luas 38,576 hektare. Selanjutnya, pada 2005, TNTN diusulkan diperluas menjadi 100 ribu hektare melalui penandatangan nota kesepahaman oleh Pemerintah Provinsi Riau.

"Bagaimana tindak lanjutnya untuk sebuah kepastian hukum terhadap perluasannya, mungkin bisa dikonfirmasi ke Pemprov Riau maupun pihak-pihak yang memiliki kewenangan," ujarnya.

Menurut Ketua Dewan Pembina Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Advokad Muda Indonesia (HAMI) Riau-Kepulauan Riau tersebut, kepastian hukum untuk jenis kawasan hutan harus segera direalisasikan oleh pemerintah.

Dalam hal ini, perlu adanya ketegasan dan kepastian terhadap koordinat luasan masing-masing kawasan hutan menurut jenisnya. Dimana sebelumnya, diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, tentang kehutanan.

"Kemudian Mahkamah Konstitusi telah pula mengeluarkan putusannya tentang uji materil Pasal 1 angka ke-3 UU Nomor 41 tahun 1999, tentang kehutanan, yaitu putusannya Nomor : 45/PUU-IX/2011 yang dinilai tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," jelas Hotland.

Pasalnya, dalam putusan tersebut MK menghapus frasa 'ditunjuk atau' dalam Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, sehingga berbunyi 'Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap.

Implikasinya, lanjut Hotland, penentuan kawasan hutan tidak hanya sekedar pada penunjukan, tetapi juga harus dilakukan proses penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan.

"Yang menjadi pertanyaan, apakah SK Menhut tentang penetapan TNTN berupa penunjukkan sesuai UU Nomor 41 tahun 1999 tersebut, atau tidak," tanyanya kembali.

"Jika ini belum diclear-kan, yang namanya perambahan seperti ini akan terus terjadi," tegasnya.

Karena jika sudah sesuai aturan, akan jelas peta penunjukkan yang bersifat arahan tentang batas luas, pemancangan batas sementara yang dilengkapi lorong-lorong, pembuatan parit batas, dan pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan.

Jika sudah dipastikan batas-batas dan koordinatnya, bisa diketahui apakah 'para perambah' tersebut berada di kawasan hutan atau tidak. "Jika terbukti mereka berada di kawasan hutan yang telah ditetapkak, mereka bisa dikenakan sanski tentang kehutanan dan lingkungan hidup," tegasnya.

Terpisah, Johny Setiawan Mundung yang merupakan Direktur Research Center, menyatakan kalau permasalahan perambahan di hutan dunia tersebut merupakan tanggungjawab bersama antara Balai TNTN, pemerintah, dan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan TNTN. Termasuk pengalokasian anggaran untuk menyelamatkan TNTN.

Apalagi, kata mantan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Riau tersebut, berbicara mengenai penyelematan TNTN, juga harus berbicara bagaimana upaya menyelamatkan orang-orang di sekitar TNTN yang dituduh sebagai perambah.

"Di sana hampir terdapat lebih 20 ribu warga. Itu (jika dianggap ilegal,red) menjadi tanggungjawab pemerintah untuk memindahkan," tegas Johny.

"Kalau (mereka) dianggap ilegal, kita harus punya solusi untuk itu," sambungnya.

Selama ini, lanjutnya, masyarakat tidak mengetahui batas-batas kawasan TNTN yang mencakup empat kabupaten tersebut, yakni Pelalawan, Kampar, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu. Karena ketidakjelasan batas-batas kawasan, pada akhirnya masyarakat menguasainya.

"Masyarakat mempertanyakan mana batas Tesso Nilo itu, mana parit gajahnya, mana batas pagar listriknya," ujarnya lagi.

"Dulu pernah ada wacana akan ada pengajuan anggaran dalam APBN untuk pembangunan pagar. Mana pagarnya," lanjutnya.

Selanjutnya, jika dipastikan para warga tersebut menduduki kawasan hutan dilindungi tersebut, pemerintah bisa memilah-milah, apakah mereka warga Riau atau pendatang.

"Tapi banyak dari mereka yang memiliki KTP (Kartu Tanda Penduduk,red) Pelalawan. Yang punya KTP Pelalawan ataupun KTP dari Riau, ini harus punya solusi. Pindahkan mereka. Sementara, jika pendatang, pulangkan saja ke kampung asalnya," tegas Johny S Mundung.

Sementara itu, Wakil Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau, Made Ali, mengatakan kalau upaya penegakan hukum terhadap para perambah TNTN ini tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang ada. Pemerintah, menurutnya, harus hadir duduk di situ, baik Pemerintah pusat maupun daerah, dengan mengundang ninik mamak serta para perambah tersebut.

"Jadi, ada pendekatan hukum ada juga pendekatan non hukum. Kalau hanya pendekatan hukum saja, 10 tahun terakhir ini Jikalahari banyak melapor, namun tak juga juga diitanggapi. Memang harus Pemerintah hadir disana. Ini sesuai janji Jokowi (Presiden Joko Widodo,red) yang mengatakan kalau pemerintah harus hadir di tengah-tengah masyarakat," pungkasnya.

Sebelumnya, Kepala Balai TNTN, Darmanto, menyatakan saat ini terdapat sekitar 4 ribu Kepala Keluarga yang secara ilegal menguasai hutan milik negara tersebut.

Keberadaan perambah hutan tersebut sudah sangat masif, dan menjadi penduduk ilegal. Sebagian besar dari mereka bukanlah penduduk asli Riau, melainkan pendatang dari luar daerah seperti Sumatera Utara dan Pulau Jawa. .

Lebih lanjut, Darmanto menyebut bahwa keberadaan perambah sudah sangat mengkhawatirkan. Dari 81.700 hektare luas kawasan TNTN yang ditetapkan pada 2014 lalu, 60 persennya telah dirambah. Menurut Darmanto, aksi perambahan ini telah dilakukan selama belasan tahun lamanya, dimana 20 ribu hektare lahan di kawasan tersebut telah berubah menjadi perkebunan sawit.
     
"Saat ini hutan yang tersisa 23 ribu hektar. Yang sudah menjadi perkebunan sawit 20 ribu hektar, 38 ribu hektar lainnya jadi semak belukar dan pohon kecil," ujarnya lagi.

Ke depan, lanjut Darmanto, pihaknya akan melakukan reformasi perencanaan untuk dapat memperbaiki 38 ribu hektare lahan yang rusak dan bekas dirambah untuk ditanami kembali. Sementara, terkait keberadaan 20 ribu hektare lahan sawit yang berada di kawasan TNTN, Darmanto menyebut masih perlu dilakukan pembahasan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sedangkan, untuk menangani keberadaan ribuan perambah, pihaknya segera berkoordinasi dengan pemerintah Pelalawan, TNI dan Polri.  (dod)

Editor:

Terkini

Terpopuler