Hancurnya Etika Politik

Senin, 09 Februari 2015 - 10:03 WIB
ILUSTRASI.

“Kehidupan ini memang penuh kesibukan, tapi selalu ada waktu untuk sopan santun dan manis budi”. (Anom).

Kata kata bijak di atas barangkali sangat relevan dengan kehidupan politik di negeri ini. Sesibuk apapun kita etika dan sopan santun tak boleh dilabrak. Memang di negeri kita, gonjang ganjing perpolitikan sangat dominan, akan tetapi minim etika. Perilaku dan gerak gerik para elite politik sudah melampaui batas akal sehat.

Lihatlah di Dewan Perwakilan Rakyat seakan akan tidak ada lagi etika, rasa malu, sudah bermuka tembok dan tak ada rasa bersalah. Mulai dari rentetan kasus suap, korupsi, rekening gendut, penyebar video porno dan yang sangat menyedihkan yaitu berebut jabatan. Pesta narkoba yang melibatkan elite politik dan terlihat pula otak yang dikalahkan oleh otot. Ada lagi di DPR orang yang hobi ngomong, tanpa disaring pantas tak pantasnya. Kata katanya kasar, menjijikkan dan sedihnya pula mereka dari partai Islam. Sudahlah muka jelek, bicaranya lebih jelek lagi. Sayang orang orang ini dipelihara oleh partai dan dipilih oleh rakyat.

Ada pula anggota DPR merasa hebat, ingin terkenal, vokal, tapi ia lupa terkenal karena tidak berakhlak dan licik. Kita kutip lagi kata orang bijak, “Lebih baik dikenal bodoh daripada terkenal licik” (Brown). Sepertinya negeri ini bergeser dari negeri beradab ke negeri yang biadab. Memang peradaban merupakan salah satu persoalan penting termasuk di Indonesia. Ironisnya bangsa yang mengklaim diri sebagai bangsa yang berbudaya luhur nenek moyang ini tengah menderita sakit parah peradaban. Sama sekali telah hilang keluhuran budi pekerti. Sebagai gantinya dan yang dipertontonkan adalah segala bentuk kecurangan, culas, licik dan mementingkan diri sendiri, menganggap rakyat hanya manusia kelas dua.

Merekalah segala-galanya, telah menjadi manusia setengah dewa, apa iya? Pertanyaan berikut apa yang salah di negeri ini, jawabannya tentu variatif sesuai sudut pandang masing masing. Namun ada kesamaan jawaban, bahwa yang salah kita semua termasuk rakyat kecil. Elite partai salah melakukan rekrutmen, maka jangan heran ada anggota legislatif dari preman, penganggur, tidak mengerti politik dan seterusnya. Ditambah lagi partai politik miskin ideologi, partai hanya punya azas sehingga tiada perbedaan antarpartai.

Politisi sangat mudah pindah partai, koalisi sangat pragmatis. Menurut Abdullah Toha (Mantan ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen DPR): “Yang terjadi akhir akhir ini di DPR, seperti preman memperebutkan wilayah. Ini wilayahku, itu wilayahmu. Jika perlu saya menggunakan otot melawan kamu. Saya wakil partai, bukan wakil rakyat, kesetiaan saya hanya kepada partai. Persis seperti ketaatan anggota preman kepada pemimpinnya”. Rakyat juga bersalah, karena dengan mudahnya memilih pemimpin hanya karena iming-iming murahan, tanpa memikirkan layak atau kepantasan. Rakyat juga harus melek politik sehingga tidak menjadi bulan-bulanan aktor aktor politik. Kehidupan demokrasi kita di satu sisi menjadi sebuah model dan dipuji oleh bangsa bangsa lain. Namun di sisi lain sedang mengalami krisis terutama etika dan sopan santun. Saling menuduh, saling menjegal, saling bantah, malah sudah menuju ke fitnah. Itulah yang dipertontonkan sebagian besar politisi kepada rakyat.

Tampaknya komite etik sudah menjadi keharusan di setiap institusi. Kekuasaan dan penghasilan luar biasa besar, namun kemampuan dan etika sangat minim. Berbeda dengan nabi kita Muhammad SAW, beliau berhasil dan sukses merubah jazirah Arab dari bangsa biadab menjadi bangsa beradab. Justru kita di Indonesia sepertinya sukses pula merubah negeri ini dari beradab ke biadab, naudzubillah.

Pertanyaannya, sampai kapan kita nikmati kondisi ini? Tentu sampai ada kemauan dan kesadaran untuk berubah oleh semua pihak dan jelas memerlukan kesungguhan dan kerja keras. Jika ada kemauan tidak ada yang mustahil di dunia ini. Di samping kapabilitas, etika dan sopan santun harus menjadi ukuran utama perpolitikan di negeri kita. Wallahua’lam.***
Ketua STISIP Persada Bunda.

Editor:

Terkini

Terpopuler