Perubahan Seorang Presiden Jokowi

Selasa, 22 Maret 2016 - 08:55 WIB
ilustrasi

Berdasarkan catatan  yang ada, pribadi Presiden Jokowi selama ini  adalah sosok yang banyak senyum, sederhana.

Sejak menjadi Walikota Solo, kemudian Gubernur DKI Jakarta, lalu terpilih menjadi Presiden, Jokowi masih kokoh  utuh tipe lelaki yang sederhana  suka senyum, lembut dan santai. Bukan  tipe  pemarah. Namun belakangan Presiden  mulai mengeluarkan  marahnya. Jokowi tidak hanya bisa senyum.

Cepat kali Presiden berubah. Berkata marah, lantang, tegas dan sungguh sungguh. Tetapi, marahnya  Presiden tidak  perlu kita ragukan. Bahkan sikap demikian manusiawi itu amat diperlukan.

Bagaimana tidak. Ada unjuk kegaduhan kabinet. Marah akibatnya meruncingnya pertikaian dan kegaduhan para Menteri dalam kabinet. Ditandai dengan sindir menyindir antar Menteri yang  disampaikan secara terbuka di muka umum. Ya, tentu memancing kemarahan.

Karena hal itu  berpotensi menghambat  kinerja kabinet. Siapapun menjadi Presiden akan bersikap seperti demikian. Hanya saja yang kita risaukan adakah kemarahan Presiden  tersebut akan menghentikan kegaduhan? Ataukah kemarahan  sebagai biasa biasa saja, dianggap angin lalu. Kemudian, kegaduhan antar Menteri terus berlangsung ?

Seperti dinyatakan oleh Johan Budi, Juru Bicara Presiden, bahwa Presiden memang marah akibat meruncingnya pertikaian dan kegaduhan para Menteri dalam kabinet.

“Karena berpotensi menghambat kinerja kabinet,” katanya. Tak bisa ditutup tutupi kemarahan  Presiden tersebut. Sebab, tidaklah  pertama kali hal itu dialami.Kegaduhan dalam tipe serupa  terjadi berulang-ulang.

Blok Masela
Kembali kepada  penjelasan Johan Budi, bahwa Predside Jokowi minta  jangan bikin gaduh. Peringatan belakangan ditujukan  kepada Menteri  Koordinator Bidang Maritim dan ESDM, yaitu tentang blok Masela on shore (lanjut),  berbeda dan bertikai  dengan Sudirman Said Menteri ESDM berpendapat Blok Masela off shore (stop).

Termasuk sikap menyampaikan di muka umum haruslah apa yang sudah diputuskan. Jangan menyampaikan  soal kebijakan yang belum diutuskan oleh pemerintah. Demikian Johan Budi.

Sebelumnya, yang amat krusial, adalah ketika Rizal Ramli bersikap  menyatakan menentang dan siap berdebat delakangan, dengan wakil Presiden Yusuf Kala tentang konsep pembangunan  bidang energi  kelistrikan.

Belum berhenti disitu, Rizal Ramli yang  mantan Menteri Ekuin masa Presiden Abdurahman Wahid, bertikai pula dengan  Menteri BUMN Rini Soewandi tentang  penambahan  armada  pembelian pesawat Garuda.

Rizal Ramli tidak sendirian bikin gaduh di kabinet. Faktanya Pramono Anum Menteri Sekab asal  partai PDIP itu, juga ikutu ikutan. Paling belakangan adalah sindiran Mensekab Pramono Anum  terhadap Marwan Menteri Pembangunan Desa Tertinggal, bahwa  ada Menteri minta dilayani berlebihan oleh penerbanagan Garuda.

Karena  Menteri Pembangunan Desa  Tertinggal minta Direktur Maskapai Garuda dipecat. Lantaran tidak mampu me-menej Garuda dengan pelayanan yang baik.

Selalu tidak on time dan selalu delay. Yang jelas ini soal  masalah kekompakan tim kerja kabinet. Agaknya berkaitan dengan asal latar belakang  sosok Menteri yang mencerminkan hal berikut.
Pertama faktor ego, menampakkan ingin unjuk kemampuan. Merasa seolah-olah  lebih kompeten karena pendidikan  dan  jaringan konspirasi.

Termasuk juga mau menunjukan duduknya sebagai Menteri atas  dukungan power politik yang kuat. Dalam ungkapan lain dapat dikatakan, belum menunjukkan sebagai loyalis Presiden, namun masih hendak menunjukan ia orang siapa. Yang membeking dan mendukung telah mendapat tugas kepercayaan penuh.

Kedua adalah masalah etika cara berpikir, seorang  Menteri. Masih seolah-olah sebagai pengamat. Berdiri  di luar pemerintahan. Bukan orang dalam kabinet yang harus seayun selangkah.

Terikat oleh etika kebersamaan dalam  posisi bekerja dalam pemerintahan. Secara spesifik ini akan membedakan antara pengamat boleh mengatakan  apa saja yang dianggap benar.

Bisa disampaikan kepada umum. Tetapi  lain sebagai birokrasi Menteri, entah harus kerja pemerintah boleh tetap pada  sikap apa yang dianggapnya benar, namun tidak serta merta  semua boleh leluasa disampaikan kepada umum. Karena, posisi  sebagai Menteri dibatasi yaitu keharusan menyesuaikan posisi sebagai pembantu Presiden.

Dengan kendala di atas, yaitu ego dan etika dari sosok Menteri, bisa  ditarik satu kesimpulan bila dua faktor ego dan etika Menteri belum berubah, maka kekompakan kabinet akan terus menjadi krusial. Dengan kata lain kegaduhan, pertikaian terus  terjadi.

Persoalannya menjadi terserah kepada Presiden Jokowi. Bila ada yang tidak mau menyesuaikan diri dengan 'policy' Presiden, maka harus  diganti oleh  yang lain. Kita risau, jika tiap waktu melihat  Menteri bergaduh, bertikai di muka publik. Sebab  sesuai tema kabinet kerja dan kerja. Yang pasti kegaduhan bukan saja masalah, tapi taruhannya adalah efisiensi pemerintah dalam memberi pelayanan kepada masyarakat.

Akhirnya, hemat  saya  pilihannya  adalah, pertama terus bergaduh maka pemerintah akan terseok-seok menaggung beban. Pilihan alternati kedua,  hentikan kegaduhan, yaitu cari figur baru mengisi jabatan Menteri yang bertikai. Jalan itu adalah reshuffle kabinet. ***

Penulis Dosen Universitas Muhammmadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta.

Editor:

Terkini

Terpopuler