Involusi Pertanian dan Punahnya Petani

Jumat, 13 November 2015 - 09:18 WIB
Ilustrasi

Hasil pembangunan ekonomi dapat diibaratkan sebuah kue. Jumlah total kue 100 persen dengan jumlah nilai nominal bisa berubah dari waktu ke waktu. Kue itu dikerjakan 100 persen tenaga kerja yang jumlah nominalnya juga berubah dari waktu ke waktu.

Secara makro, kue terdiri atas dua lapis: lapis pertama adalah pertanian, dan lapis kedua adalah industri. Lapis kue pertanian hasil kerja para petani, dan lapis kue industri adalah hasil kerja sektor industri.
Perubahan proporsi kue, yaitu proporsi lapis pertanian yang mengecil di satu pihak dan lapis industri yang membesar di pihak lain, yang jumlahnya 100 persen, dalam ilmu ekonomi dinamai perubahan struktur ekonomi atau transformasi struktural. Sesuai perubahan struktur itu terjadi pula perubahan struktur ketenagakerjaan: transformasi ekonomi membuat kian sedikit pekerja pertanian relatif atas pekerja industri. Pekerja pertanian masuk ke industri.

Apakah di Indonesia terjadi tranformasi struktural ekonomi? Hasil Sensus Pertanian 2013 (ST2013) menunjukkan, jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) 26,14 juta, turun lima juta (1,75 persen) dari ST2003. Petani berkurang 500 ribu per tahun. Penurunan RTP terbanyak di Jawa Tengah (1,5 juta), Jawa Timur (1,3 juta), dan Jawa Barat (1,3 juta).
Petani di Jawa banyak berkurang karena jumlah petani bejibun di pulau ini. Jika penurunan RTP diikuti kenaikan pangsa PDB dan pangsa tenaga kerja sektor industri dan jasa berarti transformasi terjadi. Itu berarti ada pembangunan, dan arahnya benar. Jika sebaliknya, itu pertanda terjadi involusi.

Selama satu dekade pangsa PDB pertanian hanya turun kecil: dari 15,19 persen pada 2003 menjadi 14,43 persen pada 2013. Penyerapan tenaga kerja pertanian turun dari 43,33 persen (2003) menjadi 34,78 persen (2013). Pada periode yang sama, PDB industri dan jasa berubah dari 28,25 persen dan 9,87 persen menjadi 23,70 persen dan 11,02 persen.
Sedangkan, penyerapan tenaga kerja industri dan jasa berubah dari 11,2 persen dan 11,05 persen menjadi 13,26 persen dan 16,36 persen. Data-data ini menunjukkan, transformasi struktural ekonomi belum sepenuhnya terjadi. Industri dan jasa yang diharapkan bisa menjadi gantungan hidup warga, terutama tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian, jauh panggang dari api. Ironisnya, pangsa PDB industri bahkan menurun.

Selama satu dekade, tren penurunan penyerapan tenaga kerja pertanian amat lambat. Kalkulasi Pakpahan (2004) menunjukkan hal serupa: pada periode 1960-2000-an setiap penurunan satu persen PDB pertanian dalam PDB nasional hanya diikuti penurunan pangsa tenaga kerja pertanian kurang dari 0,5 persen. Bandingkan dengan proses yang terjadi di Korea Selatan: tiap penurunan pangsa PDB pertanian satu persen di dalam PDB nasional pangsa tenaga kerja pertanian yang berkurang hampir mencapai dua kali. Hal serupa juga dicapai Malaysia dan Thailand. Idealnya, jika pangsa PDB pertanian 14,43 persen, serapan tenaga kerja tak lebih 20 persen.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa industrialisasi yang terjadi di Indonesia telah menyebabkan pemiskinan sektor pertanian. Industrialisasi di Indonesia adalah industrialisasi yang memeras petani. Industrialisasi semacam ini adalah industrialisasi yang bebannya ditaruh di pundak petani. Mereka harus memikul beban industrialisasi.
Kondisi itu terjadi bila yang berlangsung adalah industrialisasi semu atau industrialisasi prematur. Industrialisasi semacam ini dicirikan oleh, antara lain, penurunan pangsa nilai PDB pertanian tidak diikuti penurunan pangsa tenaga kerja yang bekerja di bidang pertanian secara proporsional.

Ketika kue ekonomi (PDB) yang semakin kecil jadi rebutan banyak orang, logis bila kemiskinan menumpuk di sektor pertanian. Per Maret 2014, sebanyak 17,77 juta dari 28,28 juta warga miskin atau 62,84 persen berada di perdesaan. Sebagian besar mereka bergantung pada sektor pertanian.
Celakanya, sektor ini tidak bisa menjadi gantungan hidup agar keluar jauh dari garis kemiskinan. Menurut Survei Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian tahun 2013 (SPP 2013) BPS, rata-rata pendapatan rumah tangga tani dari usaha di sektor pertanian hanya Rp 12,4 juta per tahun atau Rp 1 juta per bulan, jauh dari upah layak buruh pabrik.
Pendapatan ini hanya mampu menopang sepertiga kebutuhan. Sisanya disumbang dari kegiatan di luar pertanian, seperti ngojek, berdagang, dan menjadi pekerja kasar. Fakta ini menunjukkan tak ada lagi "masyarakat petani", yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu.
Karena tak menjanjikan kesejahteraan, logis kiranya pertanian dijauhi tenaga kerja muda terdidik. Menurut ST2013, sepertiga pekerja sektor pertanian berusia lebih 54 tahun. Pertanian terancam gerontrokrasi.

Kondisi involutif ini tentu membahayakan. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian/perdesaan memperlemah kapasitas pertanian. Ini ditandai oleh kian meningkatnya jumlah petani gurem dan rusaknya sumber daya pertanian, baik lahan, DAS, maupun hutan. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian yang tak diimbangi kemampuan sektor ini memberikan penghidupan layak bagi petani dan tenaga kerja tidak hanya meningkatkan pengangguran dan kemiskinan di perdesaan serta meningkatkan kesenjangan desa-kota dan pertanian-industri, tetapi juga bisa melumpuhkan perekonomian nasional secara keseluruhan.
Kondisi ini mempengaruhi kemampuan petani dan sektor pertanian dalam menopang pangan (food), pakan (feed), sandang-papan (fibre), dan bahan bakar (fuel) secara berkesinambungan untuk menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan) warga dan generasi mendatang.

Perlu langkah radikal agar Indonesia tidak terjebak dalam ketidakdaulatan pangan. Dari sisi petani, agar bisa keluar dari kemiskinan, tanah, modal, pengetahuan dan teknologi, serta akses pasar menjadi kebutuhan primer. Pertanian harus dijadikan agenda pembangunan bangsa. Agar terjadi transformasi struktural ekonomi, harus ada kemauan membalik arah pembangunan: dari sektor nontradable (sektor keuangan, jasa, realestate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.

Prioritas pembangunan ekonomi harus ditumpukan pada proses industrialisasi yang mampu mengubah pola transformasi ekonomi ke arah perubahan struktural yang memperkuat ekonomi Indonesia pada masa datang. Industrialisasi tanpa transformasi struktural tak hanya memiskinkan petani, tapi juga membuat fondasi ekonomi rapuh.(rol)
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan.

Editor:

Terkini

Terpopuler