Dedet: Saya Disuruh Johar Teken

Kamis, 05 November 2015 - 10:01 WIB
Noviwaldy Jusman (Dedet) dan sejumlah anggota DPRD Riau periode 2009-2014, memberi kesaksian di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Rabu (4/11).

PEKANBARU (HR)-Wakil Ketua DPRD Riau periode 2009-2014, Noviwaldy Jusman alias Dedet, mengakui pembahasan APBD Riau tahun 2015, tidak berjalan sesuai aturan yang berlaku. Salah satunya adalah terkait pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) APBD Riau 2015.

Pasalnya, hal itu tidak pernah dibahas dan langsung ditandatangani DPRD dan Pemprov Riau. Dari Badan Anggaran (Banggar) DPRD Riau, KUA-PPAS tersebut diteken mantan Ketua DPRD Riau Johar Firdaus dan dirinya sendiri.
Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap APBD Riau, yang kembali digelar Rabu (4/11). Sidang kali ini masih mendengarkan saksi untuk terdakwa mantan anggota DPRD Riau, Ahmad Kirjuhari.

Noviwaldy menuturkan, pada 2 September 2014 sore hari, ia dipanggil Johar Firdaus untuk menandatangani MoU KUA-PPAS APBD Riau 2015. "Saya tanya mana KUA-PPAS-nya, sudah dibahas? Mana laporannya?," ujar Dedet di hadapan majelis hakim.

Menurutnya, pertanyaannya tersebut lantas dijawab oleh Johar. "Anda tidak ikut rapat.  Baru datang. Ya ngapa nanya-nanya. Itu dilakukan sambil nunjuk-nunjuk saya," ungkap Dedet lagi.
Belakangan diketahui jika KUA-PPAS tersebut ditandatangani Noviwaldy dan Johar Firdaus. Kendati begitu, politisi Partai Demokrat Riau tersebut mengaku hal tersebut tidak dibolehkan.
Seharusnya KUA-PPAS dibahas terlebih dulu, baru kemudian ditandatangani dalan kesepahaman bersama antara legislatif dengan eksekutif.

"Saya tanya, sudah sesuai? Jawab kawan-kawan lain sudah. Langsung saja saya tanda tangani. Harusnya, KUA-PPAS ini diterima, dibahas dulu. Memang tidak perlu dibahas lagi kalau memang sudah sepakat. Kondisinya, asumsi saya sudah sesuai pembahasan," ujarnya.

Masih menutur pengakuan Noviwaldy, penandatanganan MoU tersebut di luar kebiasaan, karena diteken di ruang Ketua DPRD Riau dan dihadiri sebagian anggota Banggar serta perwakilan Tim Anggaran Pemerintahan Daerah (TAPD), yakni Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Riau, M Yafiz dan mantan Asisten I Setdaprov Provinsi Riau, Hardi Jamaludin.

Terkait hal itu, saksi lain, yakni mantan anggota DPRD Riau, Iwa Sirwani Bibra, memiliki penjelasan tersendiri. Dikatakan, pada tanggal 2 September 2014 malam, etika MoU KUA-PPAS disahkan, terjadi kesepakatan antara pihak legislatif dan eksekutif.

Saat penandatangan MoU KUA-PPAS tersebut diketahui jika kedua pihak sepakat menandatangani, akan tetapi dengan syarat, bisa dimasukkan kemudian anggaran aspirasi Dewan yang jumlahnya mencapai Rp2 miliar.

Saksi lainnya, yang juga mantan anggota DPRD Riau, Hikmani, mengaku mengetahui hal itu setelah disampaikan oleh Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPRD Riau, Ramli Sanur, kepadanya melalui sambungan telepon pada 2 September 2014 sore.

"Saya terima informasi (dari) Ketua Fraksi Ramli Sanur. Kalau tak salah 2 September (2014) sore. Itu via telepon. Saya tak tahu MoU-nya karena bukan Banggar," ungkap Hikmani.


Tim Komunikasi
Dalam sidang kemarin, hakim juga menanyakan pembentukan tim komunikasi informal di lingkungan DPRD Riau periode 2009-2014. Tim itu dibentuk untuk mempermudah pengesahan APBD-P Riau tahun 2014 dan APBD Riau tahun 2015.

Menurut Iwa Sirwani Bibra, dirinya pernah mendengar perihal pembentukan tim komunikasi informasi tersebut.

"Ibu (Iwa Sirwani Bibra,red) pernah mendengarkan tim konsultasi yang diketuai Suparman," tanya Hakim Ketua Masrul.
"Saya dengar ada," jawab Iwa.

Lebih lanjut, Iwa menyebut kalau tim komunikasi ini lahir saat pembahasan APBD Riau tahun 2015. "Pembahasan juga, kalau tidak salah," ungkap Iwa.

Diterangkankan mantan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPRD Riau, tim itu lahir sebagai karena tidak terakomodirnya aspirasi anggota DPRD Riau. "Kalau tidak salah, ada aspirasi yang tidak terakomodir," tambahnya.

Dalam dakwaan JPU dari KPK, diketahui tim komunikasi ini beranggotakan Suparman, Zukri Misran, Hazmi Setiadi, Koko Iskandar dan terdakwa Ahmad Kirjuhari. Tim komunikasi informal ini memberikan informasi mengenai adanya 'upah' untuk 40 orang anggota DPRD yang ditentukan kemudian oleh Annas Maamun sebesar Rp50 juta.

Majelis hakim pun mencecar Iwa terkait hal tersebut. Meski begitu, Iwa mengaku tidak tahu. "Tidak tahu (adanya janji untuk meloloskan dua APBD tersebut,red). Demi Allah, tidak tahu saya," kata Iwa.


Selain itu, saksi lainnya, yang juga mantan anggota DPRD Riau, Ely Suryani juga mengaku mengusulkan anggaran dana aspirasi mereka kala itu. Berbeda dengan mereka, Noviwaldy mengaku tidak memasukkan. Tapi menurutnya, aspirasinya otomatis masuk ke dalam anggaran, karena alokasi dana aspirasi yang dianggarkan pada tahun anggaran sebelumnya tidak dikerjakan.

Terkait adanya usulan legislator untuk meminjampakaikan kendaraan dinas mereka hingga proses lelang, sehingga mereka dapat menggunakannya sebelum melalui proses lelang juga dikaitkan dengan pembahasan APBD P Riau tahun 2014 dan APBD Riau tahun 2015.

Usulan ini disampaikan kepada Gubernur Riau kala itu, Annas Maamun, dalam sebuah rapat konsultasi di antara mereka. Dijelaskan Iwa, ketika itu Annas Maamun menegaskan tidak ada persoalan terhadap keinginan pinjam pakai mobil dinas yang diajukan legislator tersebut.

"Masalah mobil tidak ada masalah. Dijaminkan prioritaskan ke kita (jika dilelang). Maka dipinjamkanlah waktu itu," terang Iwa.

Belakangan, kendaraan dinas yang telah dipinjamkan tersebut harus dikembalikan kembali ke DPRD Riau karena merupakan aset daerah. Legislator mengembalikannya setelah diedarkannya surat perintah untuk mengembalikannya dari Sekretariat DPRD Riau.

Termasuk di antara legislator yang mengembalikan itu, yakni Hikmani dan Ely Suryani. Iwa sendiri mengaku mengembalikan mobil dinas setelah adanya pemberitaan di media massa, sebelum dirinya disurati Sekwan.

Masih Dipakai
Sementara, mantan Ketua DPRD Riau Johar Firdaus diketahui masih meminjam kendaraan dinas jenis Jeep merek Toyota Land Cruiser setelah masa jabatannya berakhir tahun 2014 silam.

Demikian diungkapkan saksi Emrizal yang merupakan Kasubag Perlengkapan Sekretariat DPRD Riau yang turut dihadirkan JPU KPK pada persidangan kali ini. Dalam kesaksiannya, Emrizal mengatakan kalau kendaraan dinas yang digunakan Johar Firdaus kala itu masih tercatat sebagai aset milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau.

"Menurut data saya, masih dipinjampakaikan. Data di Sekwan, Land Cruiser nya masih status pinjam pakai. Masih tercatat di Kartu Inventaris Barang (KIB)," jelas Emrizal.

Membenarkan keterangan saksi tersebut, JPU KPK Tri Anggoro Mukti, juga mengatakan jika kendaraan dinas yang berstatus pinjam pakai tersebut belum dikembalikan ke aset daerah. "Masih sama dia (Johar,red)," ujar Tri usai persidangan.

Dalam sidang kali ini juga diketahui kalau Annas maamun memberikan disposisi pinjam pakai untuk anggota Dewan terhadap kendaraan dinas tersebut. Disposisi ini disampaikan ke Biro Administrasi Perlengkapan Setdaprov Riau. Bahkan ada disposisi terpisah untuk T Rusli Ahmad untuk pinjam pakai mobil sedan jenis Toyota Camry yang digunakannya selaku Wakil Ketua DPRD Riau.
 
"Sekitar September 2014. Diperlihatkan ke saya dipinjam pakai, Rusli Ahmad," papar Ayub Khan yang merupakan mantan Kepala Biro Administrasi Perlengkapan Setdaprov Riau, yang turut dijadikan saksi.
 
Belakangan mobil tersebut akhirnya diserahkan kembali oleh T Rusli Ahmad kepada KPK saat pemeriksaan dirinya di SPN Pekanbaru beberapa waktu lalu.

Dalam persidangan tersebut, Ayub juga menerangkan kalau dirinya diminta bantuan oleh Sekdaprov Riau kala itu, Zaini Ismail, berupa pinjaman uang, tepatnya pada tanggal 5 September 2014 lalu.
"Saya katakan saya tidak punya duit. Karena saya baru dilantik. Di kantor tidak ada duit," jelas Ayub Kan.

Tidak beberapa lama setelah itu, Zaini kembali menghubunginya untuk perkara yang sama meminjam uang. Akhirnya Ayub meminjamkan uang sebesar Rp50 juta, yang bersumber dari kantong pribadinya dan istrinya.

"Waktu saya mau serahkan. Pak Zaini bilang serahkan langsung ke Wan Amir Firdaus," tandasnya.

Ayub mengaku hingga saat ini uang tersebut belum dikembalikan atau belum dilunasi oleh Zaini Ismail. Dalam sidang sebelumnya diketahui Jika Zaini Ismail dimintakan oleh Annas Maamun untuk membayar uang yang dipinjamkan oleh Kepala BPBD saat itu, Said Saqlul Amri sebesar Rp500 juta. ****

Editor:

Terkini

Terpopuler