Kurban untuk Bangsa

Selasa, 22 September 2015 - 10:22 WIB
Ilustrasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kurban diartikan dengan beberapa makna, yaitu pemberian untuk menyatakan kebaktian dan kesetiaan; binatang yang disembelih sebagai persembahan dan untuk mendekatkan hubungan dengan Tuhan.

 Kata ini merupakan serapan dari bahasa Arab, qurban, yang berasal dari akar kata dengan huruf qaf, ra, dan ba, dan memiliki makna yang berkisar pada kedekatan. Imbuhan an pada akar kata dasar qurb menunjukkan kedekatan yang sempurna.

Kata qurban ditemukan dalam Alquran sebanyak tiga kali, yaitu QS Ali Imran [3]: 183, QS al-Maidah [5]: 27, dan QS al-Ahqaf [46]: 28.

 Pakar bahasa Alquran, al-Raghib al-Ishfahani, mengartikannya sebagai "segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah".

Dalam perkembangannya, kata qurban menjadi lebih spesifik bermakna hewan yang disembelih pada hari raya qurban atau Idul Adha dan tiga hari sesudahnya (hari-hari tasyrik) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

 Dalam istilah keagamaan, sembelihan itu dinamakan juga udhhiyah karena dilaksana-kan dalam suasana Idul Adha.

Dalam tradisi masyarakat Arab jahiliah, mereka biasa mempersembahkan kurban atau lainnya kepada berhala-berhala, terutama yang ada di sekeliling Ka'bah, dan menganggap itu sebagai cara mendekatkan diri kepada Tuhan (QS al-Zumar [39]:3).

 Di antara kebiasaan mereka, jika seekor domba betina beranak betina, anak betina itu diambil pemiliknya, tetapi apabila anak yang lahir itu jantan, ia akan dipersembahkan kepada Tuhan mereka.

Dan apabila domba itu melahirkan jantan dan betina, anak yang jantan tidak disembelih dan dipersembahkan kepada tuhan mereka.

 Mereka malah menyembelih anak betina dengan anggapan bahwa anak betina itu cukup mewakili untuk "menyampaikan" per-sembahan itu kepada tuhan. Anak betina itu kemudian mereka namakan washilah (dari kata washala: 'menyambungkan', 'menyampaikan').

Tradisi mempersembahkan sesuatu sebagai kurban sudah ada sejak awal sejarah kemanusiaan. QS al-Maidah (5): 27-31 menceritakan sejarah dua putra Nabi Adam AS, yang disebut-sebut bernama Qabil dan Habil. Dalam beberapa literatur klasik dijelaskan bahwa kisah Qabil dan Habil bermula dari kebiasaan Nabi Adam mengawinkan anak-anaknya secara silang.
Konon, Hawa, istri Adam, setiap kali hamil melahirkan dua anak; laki-laki dan perempuan (kembar). Untuk menjaga kesinambungan keturunan, Adam mengawinkan anak perempuan dari satu kembaran dengan anak laki-laki dari kembaran lain, begitu sebaliknya.

Saudara kembar Qabil bernama Iqlima yang berparas cantik. Ketika diminta untuk dikawinkan dengan saudaranya yang lebih muda, Habil, ia tidak mau melepas-kannya. Iqlima diperebutkan oleh Qabil dan Habil.

Untuk memutus siapa yang lebih berhak atas Iqlima, setelah tidak berhasil meyakinkan Qabil, Nabi Adam menggunakan mediasi kurban (persembahan) yang diharapkan dapat diterima oleh kedua belah pihak.

 Sesuai kebiasaan saat itu, kurban yang diterima ditandai dengan api dari langit yang menyambar dan memakannya. Sebaliknya, bila tidak diterima api tidak turun me-nyambarnya.

Sebagai seorang yang bekerja di sektor pertanian, Qabil mempersembahkan be-berapa tangkai bahan makanan. Alih-alih memilih yang terbaik, dia malah mempersembahkan produk yang ter-buruk dengan satu keyakinan, diterima atau tidak, Iqlima akan tetap menjadi miliknya. Sebaliknya, Habil yang menekuni bidang peternakan memilih domba gemuk yang terbaik untuk menjadi persembahan.

Ketika kurban keduanya diletakkan di sebuah bukit atau gunung, api menyambar domba gemuk persembahan Habil sebagai tanda diterimanya kurban tersebut.

 Allah menjelaskan alasan dite-rimanya kurban Habil adalah karena kadar keikhlasan dan ketakwaan yang lebih tinggi (QS al-Maidah [5]: 27).

Dari sini, kurban harus dalam bentuk yang sempurna, tidak cacat, dan harus pula dipersembahkan secara ikhlas.

 Dalam pandangan Alquran, yang sampai kepada Allah dalam suatu kurban bukanlah darah dan daging dari hewan kurban, tetapi ketakwaan dan keikhlasan yang mendasari pelakunya (QS al-Hajj [22] : 37).

Dalam perkembangannya, tradisi kurban dipandang sangat penting sehingga yang dipersembahkan bukan hanya binatang, tetapi juga manusia. Sejarah menginformasikan bahwa penduduk Meksiko yang menyembah Dewa Matahari mempersembahkan jantung dan darah manusia.

 Mereka berkeyakinan bahwa dewa tersebut terus-menerus bertempur melawan dewa gelap. Demi kesinambungan cahaya, bah kan demi hidup ini, sang dewa harus dibantu dengan darah dan jantung itu.

Di Timur Tengah, suku Kan`an yang bermukim di Irak mengurbankan bayi untuk Dewa Ba`al. Sedangkan di Mesir, penduduknya mempersembahkan gadis cantik untuk Dewa Sungai Nil.

Perintah Allah melalui mimpi kepada Nabi Ibrahim AS agar menyembelih putra yang dikasihinya, Ismail AS, yang berakhir dengan dibatalkannya penyembelihan tersebut dan digantikannya dengan seekor domba yang ge-muk (QS al-Shaffat [37]: 101-107) menunjukkan bahwa manusia terlalu mahal untuk dijadikan kurban.

 Manusia adalah makhluk yang sangat mulia dalam pandangan Tuhan (QS al-Isra [17]: 70).
Di sisi lain, sikap Nabi Ibrahim yang berkehendak menyembelih Ismail atas dasar perintah wahyu menunjukkan bahwa tidak ada yang mahal untuk dikurbankan ketika datang panggilan Ilahi. Memang, dalam mendekat-kan diri kepada Allah, melalui kurban, infak, atau lainnya, kita diminta untuk mempersembahkan bukan hanya yang baik, tetapi yang paling kita cintai (QS Ali Imran [3]: 92).

Itulah pengorbanan dan kebaktian sejati. Ketika panggilan Ilahi datang untuk berkurban, tidak ada sesuatu apa pun; jiwa, harta, keluarga, dan kesenangan dunia lainnya yang dipandang mahal untuk dipersembahkan (QS al-Taubah [9]: 24).

Kurban disyariatkan guna mengingatkan manusia bah;wa jalan menuju kebahagiaan membutuhkan pengorbanan.

 Hanya saja yang dikurbankan bukan manusia, dan bukan pula nilai-nilai kemanusiaan, tetapi binatang dan sifat-sifat kebinatangan yang bersemai dalam diri manusia, seperti rakus, ingin menang sendiri, mengabaikan norma, nilai dan sebaginya.

Lihatlah pengorbanan lain Nabi Ibrahim, ketika ia harus meninggalkan istri dan anak yang dicintainya di se-buah lembah yang tidak ditumbuhi tanaman.

 Sebelumnya, ia pun pernah dibakar di tengah kobaran api atas perintah penguasa tiran, Namrud, dan akhirnya Allah menyelamatkannya. Jiwa, anak, dan keluarga ia korbankan untuk sebuah pengabdian kepada Allah SWT.

Dan perhatikan pula, betapa pengorbanan istrinya, Hajar, dan sang anak, Ismail, untuk bertahan hidup di lembah tersebut yang membuah-kan sumber air yang tidak hanya menghilangkan dahaga jasmani di saat haus, tetapi juga menjadi sumber kehidupan yang memuaskan dahaga spiritualitas.

 Tempat itu tidak hanya menjadi pusat peribadatan, tetapi juga menjadi salah satu pusat peradaban umat manusia.

Indonesia saat ini memerlukan kesetiaan dan kebaktian dari anak bangsa me-lebihi saat-saat lainnya. Kurban untuk bangsa diperlukan di saat egoisme, kerakusan, dan sifat kebinatangan lainnya telah menyandera dan menggadaikan segalanya.

 Kurban diperlukan untuk membuat bangsa ini semakin berkeadaban, yang disegani sebagai poros peradaban, dengan balutan spiritual peribadatan. Kita yakin, Indonesia bisa berkat kurban anak bangsa. Demikian, wallahu a`lam.(rol)
Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Balitbang Kementerian Agama.

Oleh: Muchlis M Hanafi

Editor:

Terkini

Terpopuler