Penegakan Hukum Pidana Lingkungan

Jumat, 18 September 2015 - 10:04 WIB
Ilustrasi

Tidak kurang tiga minggu lebih Kabut asap menyelimuti Pulau Sumatera dan Kalimantan, bahkan asap dari Pulau Sumatera dan Kalimantan telah menyeberang ke negara malaysia dan Singapura. Asap memang tidak mengenal teritoial seperti halnya sebuah negara.

Kabut asap yang terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan merupakan suatu proses kerja lingkungan yang terganggu dan diperparah tidak adanya tindakan yang tegas dari aparatur penegak hukum.
Terganggunya kerja lingkungan ini diakibat oleh cara pandang manusia terhadap alam telah berubah sedemikian rupa, karena manusia tidak menjadikan alam sebagai pertemanan dalam hidup dan keberlanjutan kehidupan. Tetapi dijadikan sebagai mesin produksi untuk meraih uang dan uang.

Terganggunya kerja lingkungan ini diakibat oleh manusia tidak lagi mengahargai lingkungan sebagai sebuah keberlanjutan kehidupan peradaban. Untuk menjaga kerja lingkungan, Fritjop Capra dan A. Sonny Kerap mengatakan bahwa manusia perlu memahami lima prinsip ekologi.
Pertama, prinsip interdependensi. Yaitu suatu prinsip bahwa seluruh yang ada dalam alam semesta merupakan semua anggota keluarga dari komunitas ekologis, termasuk manusia yang hidup dan berkembang dalam satu kesatuan mata rantai yang terkait satu sama lain dalam sebuah jaringan relasi yang luas dan rumit, yang bernama jaringan kehidupan.
Kedua, prinsip daur ulang (recycling). Keberlangsungan kehidupan ditentukan dan dipengaruhi rangkaian pola relasi saling terkait satu sama lain secara siklis dalam sebuah sistem terbuka yang menyerap dan mengeluarkan energi dan materi secara timbal balik. Karena setiap kehidupan menghasilkan limbah sebagai suatu sisa proses kehidupan dalam dirinya yang kemudian diserap kehidupan lainnya sebagai makanan, energi dan materi yang berguna bagi kehidupan selanjutnya dalam sebuah mata rantai yang berkelanjutan. Kabut asap yang terjadi di Sumatera misalnya, terjadinya sebuah siklus kerja lingkungan yang tidak pada waktunya. Sehingga yang terjadi adalah kabut asap yang sulit untuk ditanggulangi. Sayangnya, seperti yang dikatakan oleh Paul Hawken “Korporasi yang bangga akan prestasi mereka tidak menyadari bahwa sistem kehidupan yang sehat, udara dan air yang bersih, tanah yang sehat, iklim yang stabil adalah bagian integral bagi berfungsinya sebuah ekonomi”.  Terganggunya fungsi ekonomi akibat kabut asap ini terlihat dari terganggunya sejumlah penerbangan, pendidikan, kesehatan dan dunia usaha akibat dari rakusnya korporasi dalam mencari keuntungan yang tidak memperhatikan prinsip recycling.
Ketiga,  prinsip kemitraan (partnership). Prinsip partnership ini mengandung pengertian saling terbuka untuk saling terkait, saling menunjang, saling mendukung, untuk menghidupi satu sama lain dan bekerja sama. Sayangnya, manusia (korporasi) telah terlanjur mengembangkan ekonomi dan politik di atas dasar kompetisi, ekspansi dan dominasi. Keempat, prinsip fleksibilitas. Prinsip fleksibilitas dalam alam memungkinkan alam dapat menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan dan kondisi yang muncul dalam proses perkembangan alam itu sendiri. Prinsip ini mensyaratkan bahwa tidak boleh sesuatu dipaksakan sebelum pada waktunya.

Kelima, prinsip keragaman. Hakikat alam dan kehidupan adalah keragaman. Keragaman inilah yang memungkinkan alam dan kehidupan berkembang sebagaimana adanya, termasuk membuka diri bagi interdependensi dan fleksibilitas menerima dan menyerap pengaruh dari luar sambil tetap bersamaan dengan itu membawa pengaruh bagi kehidupan selanjutnya.
Lantas, bagaimana jika kelima prinsip itu tidak dipatuhi oleh masyarakat. Hukum harus mengambil peran tersebut untuk mencegah agar kerja lingkungan tidak terganggu. Terlebih lagi, apabila lingkungan sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Terganggunya kerja lingkungan akan mengganggu seluruh kerja yang ada di alam. Hukum harus responsif menghadapi terganggunya proses kerja alam. Apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat maka akan terjadi suatu kondisi sosial masyarakat yang mungkin akan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat itu sendiri.

Oleh karena itu, yang perlu dilakukan oleh apartur penegak hukum akibat terjadinya kabut asap adalah, membagi tugas untuk melakukan penindakan sekaligus pencegahan terhadap korporasi atau perusahaan yang turut serta menyebabkan terjadinya kabut asap di Sumatera dan Kalimantan. Pertama, Kepolisian sebaiknya memanggil seluruh pemilik lahan perkebunan untuk meminta penjelasan mengapa terjadi kebakaran di lahannya. Kedua, jika terdapat unsur kesengajaan dan kealpaan dari pemilik lahan, sebaiknya ditindak tegas secara hukum dan di proses dengan adil. Akan tetapi, jangan berlaku seperti “koboi” yang sebenarnya pelaku tidak perlu ditahan, akan tetapi ditahan. Ketiga, Kementerian Lingkungan Hidup sebaiknya mengambil langkah hukum perdata terhadap perusahaan yang telah menyebabkan terganggunya fungsi lingkungan sebagaimana mestinya, dan merekomendasikan kepada instansi terkait untuk mencabut izin korporasi yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Keempat, Hakim sebaiknya memberikan sanksi maksimal terhadap korporasi yang diduga melakukan kesengajaan ataupun kealpaan yang menimbulkan kebakaran ataupun terganggunya fungsi lingkungan sebagaimana mestinya.

Namun demikian, karena kabut asap yang terjadi di sumatera dan kalimantan hampir setiap tahun selalu terjadi, penegakan hukum yang efektif terhadap pelaku yang menimbulkan kabut asap dari kebakaran adalah dengan menggunakan sarana hukum pidana. Akan tetapi, penegakan hukum pidana harus menyentuh ke aktor intelektual, bukan penegakan hukum pidana yang hanya mengambil sampel pelaku untuk dijadikan tumbal dari penegakan hukum pidana itu sendiri. Semoga !!
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.

Editor:

Terkini

Terpopuler