Menjemput Pranata Pengaduan Konstitusional

Sabtu, 12 September 2015 - 09:52 WIB
Ilustrasi
Negara Indonesia adalah negara hukum. Begitulah Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menyebutnya.  Di dalam negara hukum, perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara mendapatkan tempat utama dan dapat dikatakan itulah esensi dari negara hukum. 
 
Kendatipun demikian di beberapa kasus patut dipertanyakan eksistensi Indonesia sebagai negara hukum itu. Di mana ada masalah atau perkara hukum yang menimpa warga negara, namun tidak ada tempat untuk mengadu. Hal ini tidak terlepas karena memang secara legal formal tidak ada satupun pranata yang diberikan wewenang oleh negara untuk menyelesaikan perkara hukum itu. 
 
Perihal Tap MPR misalkan. Ada 6 Tap MPR yang masih berlaku sampai hari ini. Tap MPR tidak bisa diperkarakan kendatipun anak-anaknya Presiden Soekarno pernah menggugat salah satu Tap MPR itu ke MK perihal Soekarno dan PKI. MK mengatakan, kami tak berwenang. Sebab MK itu menguji UU, bukan Tap MPR.  Mengadu ke MA, percuma juga. Sebab MA menguji peraturan di bawah UU (PP, Perpres, Perda, dan sejenisnya). 
 
Sedangkan Tap MPR berada di atas UU. Begitu juga ke MPR. MPR tidak berwenang “mengotak atik” Tap MPR lagi, baik menambah atau mengurangi pasal-pasal yang ada. Soalnya ini pesan langsung dari Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) UU 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Begitu juga ke PTUN. PTUN hanya mengadili SK dan tindakan faktual, bukan peraturan. Lalu kemana harus mengadu? 
 
Begitu juga dengan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah. Telepas kita setuju atau tidak dengan isinya. SKB ini tidak bisa diperkarakan. Walaupun isinya mengatur, namun SKB bukan UU atau peraturan di bawah UU ataupun SK yang menjadi objek PTUN. Sebab SK yang menjadi objek PTUN adalah SK yang bersifat penetapan, yaitu berlaku untuk individu, bukan bagi semua orang seperti SKB itu. Lalu kemana harus mengadu?
 
Paling ketara betul adalah pilkada Depok tahun 2005. Dulu, sebelum MK diberikan wewenang untuk mengadili sengketa pilkada, UU Pemda dan peraturan pelaksananya menyebutkan bahwa MA dapat mendelegasikan penyelesaian sengeketa pilkada ke PT Negeri. Sifat putusannya adalah final dan mengikat atau pertama dan terakhir. 
 
PT Bandung memutuskan Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Namun putusan PT Bandung tersebut dibatalkan oleh MA dan pasangan yang lain ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Padahal putusan PT Bandung tersebut adalah final dan mengikat. MA telah melanggar UU dalam hal ini. 
 
Karena itu Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad menggugat putusan MA tersebut ke MK. Alasannya adalah MA telah melanggar UU. Di dalam Putusan Nomor 001/PUU-IV/2006, MK menyatakan kami tidak berwenang untuk mengadilinya karena MK hanya menguji UU, bukan putusan MA. Lalu kemana harus mengadu?
 
Termasuklah dalam hal ini putusan-putusan MK perihal pilkada. Misalkan KPU memutuskan pasangan A yang terpilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kemudian pasangan B menggugat ke MK. MK membatalkan keputusan KPU tersebut dan menetapkan pasangan B yang terpilih. Setahun setelah itu misalkan, pasangan B terbukti menyuap hakim MK berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Bagaimana dengan pasangan A? Sebab sifat putusan MK adalah final dan mengikat. Lalu kemana harus mengadu?
 
Dan, masih banyak lagi perkara hukum di negeri ini yang sampai hari ini tidak ada mekanisme yang bisa ditempuh oleh warga negara yang dirugikan haknya.  
 
Karena itu, hari ini menguat wacana perluasan kewenangan MK untuk mengadili perkara hukum yang tak berujung/tidak ada tempat untuk mengadu tersebut. Yaitu melalui upaya pengaduan konstitusional (constitutional complaint).
 
Menguatnya wacana ini tidak terlepas dari diselenggarakannya simposium MK Se-Asia dengan tema pengaduan konstitusional. Dimana MK Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggara pertemuan Dewan Anggota Asosiasi MK Se-Asia tersebut, 13-17 Agustus 2015.
 
Pengaduan konstitusional ini dapat dipahami sebagai salah satu bentuk upaya hukum perlindungan hak konstitusional warga negara melalui sebuah pengaduan atau gugatan yang diajukan oleh perorangan terhadap perbuatan atau kelalaian suatu lembaga publik yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional orang yang bersangkutan (Tim Penyusun Kinerja MK 2009: 2010). 
 
Atau pengaduan konstitusional ini juga bisa dipahami sebagai upaya hukum terakhir apabila upaya hukum yang lain sudah ditempuh. Jadi pranata ini sebagai istrumen perlindungan hukum terhadap warga negara yang merasa dirugikan haknya.
 
Di beberapa negara sudah menerapkan pranata pengaduan konstitusional ini. Misalkan di Austria yang merupakan negara pertama yang mendirikan MK, Jerman, Spanyol, Korea Selatan, Kroasia, dan banyak lagi negara lain. Bahkan di beberapa negara tidak hanya lembaga publik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), badan hukum privat saja asal merugikan hak-hak orang lain yang telah ditentukan di dalam UUDnya, maka badan hukum privat itu juga dapat digugat ke MK. Begitulah negara melindungi hak-hak warga negaranya.
 
Oleh karenanya, wacana ini diharapkan tidak hanya sekedar menjadi wacana yang tak berujung. Wacana yang kemudian menjadi realita. Sebab hal ini adalah mendesak dan terjadi kekosongan hukum di dalam masyarakat.
 
Interpretasi Lebih Realistis Ada dua cara yang dapat ditempuh agar pengaduan kosntitusional itu tidak hanya sekedar wacana. Pertama, melalui perubahan UUD 1945 secara formal, yaitu amandemen terhadap Pasal 24 C UUD 1945 perihal kewenangan MK. Kedua, perubahan informal, yaitu melalui interpretasi MK. Artinya teks asli UUD 1945 tidak mengalami perubahan, namun maknanya saja mengalami perubahan, yaitu terhadap Pasal 24 C. Menurut hemat saya, cara kedua ini yang lebih realistis.
 
Perubahan secara informal melalui interpretasi MK ini dalam kajian teori Hukum Tata Negara bukanlah hal yang haram. Dia dapat dibenarkan. Selama inipun MK beberapa kali telah melakukan itu. MK memberikan makna baru terhadap UUD 1945. Misalkan, menurut Pasal  24 C UUD 1945, MK hanya menguji UU. Namun praktiknya, melalui interpretasi, MK juga menguji Perppu. 
 
Peerubahan secara informal ini dapat dibenarkan karena alasan kebutuhan kontekstual. Sebab secara formal mengubah UUD 1945 hampir dikatakan mustahil. Prosesnya yang begitu panjang dan melelahkan. Namun terkadang hanyalah sekedar wacana. Misalkan saja DPD sudah mengusulkan amandemen UUD 1945 sejak tahun 2004 lalu. Sampai hari ini, itu hanyalah sekedar wacana yang tak berujung. Amandemen UUD 1945 harus memenuhi kuorum. 
 
Amandemen diajukan oleh 1/3 anggota MPR. Sedangkan angota DPD tak sampai 1/3. Kemudian harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR. Dan terakhir harus disetujui oleh 1/2+1 dari seluruh anggota MPR. 
 
Tak hanya hambatan kuorum, juga keadan politik dimana wakil rakyat terbagi ke dalam dua kubu masih cair di senayan. Ditambah lagi adalah malasnya wakil rakyat untuk hadir sidang. Maka, perubahan secara informal melalui tafsir MK untuk mengakomodir pranata pengaduan konstitusional lebih realistis, cepat prosesnya, dan lebih memberikan angin segar daripada menunggu amandemen UUD 1945. Kemudian, interpretasi MK itu ditindaklanjuti oleh Presiden dan DPR dalam bentuk UU.***
 
Dosen dan Pembina Perhimpunan Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.
 
Oleh: Wira Atma Hajri

Editor:

Terkini

Terpopuler