Riaumandiri.co - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Riau (FITRA Riau) menilai beban fiskal Provinsi Riau dalam dua tahun terakhir semakin membelit, defisit beruntun 2024 hingga2025 dan tunggakan hutang daerah yang mencapai Rp1,76 triliun berdasarkan audit BPK 2024.
Koordinator Fitra Riau, Tarmizi menilai situasi ini seharusnya menuntut pemimpin daerah bekerja ekstra keras menghadirkan pelayanan publik yang berkualitas dan bebas korupsi. Namun ironis, ketika ruang fiskal semakin sempit dan rakyat makin sulit mengakses layanan dasar, Gubernur Riau justru ditangkap tangan KPK dalam dugaan pemerasan proyek infrastruktur.
“Perilaku yang menunjukkan bahwa kekuasaan digunakan untuk memeras, bukan melayani. Lebih parah, alokasi anggaran untuk jalan dan jembatan Provinsi Riau tahun 2025 mencapai Rp455,9 miliar. Infrastruktur dengan anggaran besar seperti ini rentan dijadikan ladang bancakan. Bila kepala daerah justru menjadi pelakunya, maka publik layak marah bahwa anggaran rakyat berubah menjadi pundi pribadi,” kata Tarmizi dalam laporannya, Kamis (6/11).
FITRA Riau menilai praktik tersebut sebagai tindakan culas dan pengkhianatan terhadap amanat publik, Memperbesar beban APBD karena biaya proyek akan membengkak untuk menutupi permainan rente dan pungutan liar, menghancurkan pelayanan publik sehingga rakyat tidak akan menikmati jalan dan jembatan yang layak, dan bukti bahwa korupsi di sektor infrastruktur Riau bersifat sistematis dan terorganisir Padahal kondisi infrastruktur publik di banyak wilayah Riau terutama jalan-jalan penghubung antar kabupaten/kota masih jauh dari standar layak.
‘’Alih-alih memperbaikinya, justru dikorupsi! Akar Korupsi pada Pengadaan Barang/Jasa Salah satu akar permasalahan korupsi dalam pengadaan barang/jasa (PBJ) adalah penetapan pagu anggaran yang tidak wajar sejak tahap perencanaan. Ketika nilai proyek sejak awal dibengkakkan atau disusun tanpa basis analisis harga yang akurat, maka ruang untuk praktik “kickback” dan suap dalam proses tender otomatis terbuka,’’ terangnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan pada titik ini, korupsi bukan lagi ada kesempatan atau isedental, tetapi direncanakan sejak tahap penyusunan anggaran (corruption by design). Audit BPK tahun 2024 menemukan 153 temuan dalam pengelolaan keuangan Provinsi Riau, diantaranya 93 temuan ketidakpatuhan terhadap regulasi.
Temuan berulang terutama terkait pengadaan barang/jasa, seperti perjalanan dinas fiktif/kelebihan pembayaran dan proyek infrastruktur bermasalah, menunjukkan buruknya tata kelola anggaran. Celah utama korupsi terjadi dalam pengadaan barang dan jasa daerah, dengan pola: - Penetapan pagu anggaran yang tidak wajar. Misalnya; harga proyek dinaikkan agar ada ruang membayar suap/kickback.
Sebaliknya, Jika pagu dibuat wajar, kontraktor berpikir dua kali untuk menyuap karena margin tidak mencukupi. Intervensi politik dalam proyek daerah. Kebiasaan adanya “Jatah proyek” menjadi alat balas budi politik setelah pilkada. - Pengawasan internal yang lemah. Seharusnya tahapan pencegahan korupsi sudah mulai dari internal seprti Inspektorat dan audit BPK. - Transparansi data sangat terbatas. publik sulit mengakses informasi lelang, penawaran harga, hingga progres proyek.
Dari kasus tersebut Fitra Riau membuat sejumlah tuntutan, diantaranya: 1. KPK harus mengusut tuntas seluruh jaringan korupsi proyek infrastruktur di Riau, bukan hanya pelaku yang tertangkap.
2. DPRD Provinsi Riau wajib mengambil langkah politik yang tegas terhadap Gubernur dan mengevaluasi total pengelolaan infrastruktur.
3. Pemerintah Provinsi Riau harus menghentikan seluruh praktik rente dan memastikan transparansi anggaran infrastruktur, terutama proyek jalan dan jembatan yang bernilai ratusan miliar rupiah.
4. Segera dilakukan audit publik secara independen terhadap proyek-proyek infrastruktur yang bernilai fantastis. FITRA Riau menegaskan Korupsi anggaran publik adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketika jalan rusak, jembatan tak tuntas, layanan masyarakat terbengkalai, di situlah rakyat menanggung langsung hasil korupsi. Dan itu adalah akibat dari pemimpin yang tidak berempati terhadap rakyatnya sendiri.