Moratorium Hutan Banyak Dilanggar

Rabu, 06 Mei 2015 - 07:59 WIB
ilustrasi

PEKANBARU (HR)-Kebijakan pemerintah memberlakukan moratorium hutan (jeda waktu untuk penebangan hutan, red) sejak tahun 2011 lalu, dinilai tidak memberikan dampak positif terhadap pelestarian hutan. Khususnya di Riau, karena moratorium itu disinyalir banyak dilanggar.

Hal itu pula yang pada akhirnya menimbulkan terjadinya konflik antara pihak perusahaan dan masyarakat."Contoh nyata pelanggaran moratorium hutan bisa terlihat jelas di Riau. Kebakaran hutan dan lahan terus terjadi dan konflik lahan terus meningkat. Bahkan, seorang kepala daerah ada yang menerbitkan izin di hutan yang masuk dalam kawasan moratorium," ungkap Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Riko Kurniawan, dalam diskusi bertajuk "Melanjutkan Moratorium untuk Lindungi Hutan Indonesia" di Pekanbaru, Selasa (6/5) di Hotel Aryaduta.

Riko mengungkapkan kejanggalan dalam pelaksanaan moratorium di Riau sudah terlihat sejak awal. Dari 1,9 juta hektare hutan yang masuk dalam kawasan moratorium di Peta Indikatif Penundaan Pemberian Ijin baru (PIPPIB), ternyata hanya sekitar 10 persen yang berupa hutan alam.

Sementara sisanya adalah sebanyak 72 persen berupa hutan konservasi yang secara regulasi sudah otomatis tidak akan pernah akan ada penerbitan izin untuk perusahaan, serta sekitar 30 persennya berupa hutan rawa gambut sekunder dan berupa ilalang.

"Pelanggaran lainnya adalah luas hutan yang masuk dalam PIPPIB terus menurun setiap kali dilakukan revisi oleh pemerintah sendiri. Di Riau ada 300 ribu hektare hutan yang dikeluarkan dari moratorium," katanya.

Walhi Riau melihat tren konflik yang terjadi sangat tinggi. Baik jumlah kualitas konflik maupun luasan lahan yang berkonflik. Menurut catatan hampir sekitar 300 ribu hektare lahan perusahaan berkonflik dengan masyarakat. Bila konflik tidak diselesaikan atau ekspansi masih dilakukan peningkatan konflik akan terus terjadi bila izin- izin yang sudah diberikan selama ini masih beroperasi.

Pihaknya menilai, kebijakan moratorium yang akan habis pada 13 Mei 2015 masih perlu diperpanjang. Namun perpanjangan itu harus disertai dengan penyempurnaan dan sosialiasi hingga ke masyarakat bawah.

Selain itu, aturan moratorium yang hanya sebatas Instruksi Presiden (Inpres) dinilai terlalu lemah karena tidak secara tegas menyebutkan sanksi bagi pihak yang melanggarnya. Karena itu, aturannya harus diganti menjadi Peraturan Presiden (Perpres).

Didukung
Sementara itu, Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Riau, Yulwiriawati Moesa, mendukung wacana perpanjangan moratorium tersebut. "Riau memerlukan kelanjutan moratorium hutan karena hutan rawa gambut perlu dikelola secara arif menyelaraskan ekologi dan pengembangan sektor ekonomi," ujarnya.

Saat ini, hutan di Riau diperkirakan tinggal sekitar dua juta hektare dan masih terus terancam kelestariannya. Menurut dia, laju deforestasi di Riau kini mencapai 160.000 hektare per tahun karena kebakaran dan dikonversi menjadi permukiman, perkebunan kelapa sawit dan industri kehutanan.

"Kalau gambut rusak semua, akan sangat banyak karbon yang terlepas ke udara memperparah pemanasan global," katanya.   

Kongkalingkong
Dukungan serupa juga dilontarkan Kepala Pansus Perizinan DPRD Riau, Suhardiman Amby. Namun ia mengingatkan, perpanjangan moratorium harus disertai dengan peningkatan pengawasan dan penegakan hukum.  


"Kami menduga PNS kehutanan dan polisi kehutanan di Riau kini sudah terlibat kongkalingkong dengan perusahaan sehingga ada unsur pembiaran terhadap pelanggaran terjadi," ujarnya.

Karena itu, ia mengatakan DPRD melalui Pansus tersebut akan segera membuat rekomendasi untuk penyelamatan kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi, konservasi sumber daya alam yang memang sampai hari ini dalam kondisi kritis.

Pansus memanggil lebih dari 100 perusahaan untuk mengklarifikasi masalah yang terjadi dilapangan.
"Dari hasil pemanggilan terhadap perusahaan-perusahaan kelapa sawit dan kehutanan, kami menemukan indikasi hampir semua perusahaan menyalahi aturan dalam penanaman karena tidak mengindahkan aspek lingkungan dan beroperasi melebihi izin konsesi yang diberikan. Ini semua bisa terjadi karena pengawasan dan penegakan hukum yang lemah," tegasnya. (ant, her)

Editor:

Terkini

Terpopuler