Menunggu Runtuhnya Peradaban Bangsa

Ahad, 03 Mei 2015 - 14:17 WIB

Sejauh ini, banyak pihak berharap pada dunia pendidikan untuk mengubah tatanan moral yang sudah porak poranda oleh perilaku korupsi yang sudah menggurita di semua tatanan kehidupan.
Di sisi lain, dunia pendidikan sendiri tercederai oleh banyak kasus penyimpangan moral yang sudah lama meninggalkan pendidikan budi pekerti sebagai landasan karakter moral di dalam membangun peradaban kemanusiaan.
Di dunia pendidikan, hal yang menjadi titik utama adalah keberhasilan akademik siswa, terlebih sejak diberlakukannya kebijakan Ujian Nasional (UN).
Banyak siswa SD hingga jenjang SMA tersita menghabiskan waktu luang di berbagai tempat bimbingan belajar. Kelulusan mutlak 100% menghinggapi teror psikis pada semua elemen pendidikan, terutama guru dan siswa. Siswa yang gagal dalam UN, merasa terancam tidak lulus sekolah.
Otak siswa dipaksa hanya berfokus pada aspek kognitif dengan menghafalkan segala jenis soal UN yang sama dengan tahun sebelumnya. Ironisnya, otak siswa tidak lagi diberi ruang keleluasaan untuk menumbuhkan kecerdasan emosi di dalam memahami persoalan sosial di sekelilingnya.
Sekolah telah berubah fungsi menjadi pabrik bimbingan belajar dibandingkan memberikan proses mengembangkan karakter positif pada kepribadian siswa.
Harga yang harus dibayar lebih mahal adalah proses perkembangan moral siswa menjadi tergadaikan karena menyaksikan sendiri banyak role model yang seyogyanya menjadi agen moral yakni guru, melakukan perilaku curang demi meluluskan siswanya.
Posisi guru adalah korban yang rentan untuk ditimpakan kesalahan. Sebetulnya, masih banyak guru baik yang berpegang pada nurani untuk bertindak jujur namun tidak terdengar suaranya.
Banyak guru mengungkapkan tekanan psikologis ketika menggadaikan nuraninya untuk melakukan manipulasi nilai, menyebarkan kunci jawaban, dan menyuruh mencontek pada siswa di kelas. Guru terpaksa berbuat demikian karena tak sanggup melepaskan diri dari tekanan kepala sekolah dan kepala diknas demi citra sekolah.
Keberhasilan guru dalam melakukan pendidikan hanya diukur dari angka, lulus atau tidak lulus, sementara pendidikan karakter untuk menghasilkan siswa yang berbudi luhur telah diabaikan.
Kasus UN tahun 2011 di SDN Gadel Surabaya merupakan luka moral di dunia pendidikan. Masyarakat satu desa menghakimi beramai-ramai seorang ibu jujur yang melaporkan anaknya yang dipaksa memberikan contekan oleh oknum guru dalam kasus mencontek masal di sekolah tersebut.
Ibu yang jujur ini dipaksa menarik kembali kesaksiannya secara terbuka karena warga satu desa takut semua anaknya tidak lulus karena terbongkarnya kasus contek masal ke media.
Ironisnya, seluruh keluarga anak tersebut harus mengungsi dari rumahnya sendiri demi menghindari tekanan agresif yang intensif dari para warga sekitar.
Berdasarkan perspektif social learning, anak lain yang mengalami juga melihat kejadian ini akan belajar melihat konsekuensi bahwa kejujuran malah mendatangkan hukuman.
Anak akan berpikir dalam moral reasoning-nya bahwa lebih baik saya menjadi seorang pembohong tetapi selamat daripada saya jujur tetapi saya dihukum keras oleh masyarakat.
Inilah keruntuhan moral yang akan dipanen saat anak berganti dewasa memimpin negeri ini, yang merupakan ancaman munculnya the lost moral generation.
Sebaliknya di negara-negara maju, para pakar pendidikan mampu mempengaruhi pihak kementrian pendidikan akan pentingnya pendidikan karakter. Mereka menyadari bahwa pendidikan karakter merupakan pondasi utama jika bangsanya ingin menjadi bangsa besar untuk mampu bersaing dalam kompetisi global menjelang tahun 2021.
Para pendidik di Australia berhasil menepis stereotype negatif ratusan tahun bahwa dengan memiliki nenek moyang yang berasal dari orang-orang buangan kriminal di masa lalu, maka akan menghasilkan generasi penerus yang buruk.
Karena itu, mereka telah memfokuskan pendidikan karakter sejak anak usia dini sampai jenjang SMA, selama lebih dari 15 tahun. Mereka memahami psikologi perkembangan anak bahwa setelah memasuki jenjang perguruan tinggi, hasil pendidikan karakter pada anak baru akan terlihat hasilnya karena anak sudah mandiri untuk berkeputusan.
Karena itu, mereka lebih khawatir jika siswa sejak dini tidak terbiasa mengucapkan terima kasih, egois tidak membantu teman yang membutuhkan pertolongan, tidak peduli melihat orang tua berdiri di transportasi umum, atau mencontek hasil pekerjaan teman.
Buat mereka, melatih kecerdasan kognitif adalah hal yang relatif lebih mudah karena bisa dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun, terlebih sudah banyak penelitian di bidang psikologi pendidikan tentang teknik-teknik learning di dalam meningkatkan kapasitas kognitif.
Di Amerika Serikat sendiri, pendidikan karakter, yang juga dikenal dengan istilah character-based education kembali mengedepankan nilai-nilai karakter moral pada anak pendidikan usia dini.
Anak-anak dibiasakan mengucapkan 3 kata ajaib: tolong, terima kasih, maaf. Kesalahan sistem pendidikan sebelumnya di bawah mantan presiden George W. Bush, yang mementingkan sistem ujian sebagai standar keberhasilan performance siswa, ternyata tidaklah menjamin mutu kecerdasan kognitif para siswa Amerika.
Para pemegang kebijakan pendidikan di Amerika harus menerima kenyataan bahwa rangking para siswa sekolah di Amerika hanya menduduki peringkat ke-17 di bidang matematika, membaca, dan science dalam tes internasional PISA bagi siswa kelompok usia 15 tahun.
Sedangkan siswa-siswa Finlandia yang dididik oleh para guru yang memiliki karakter kuat sebagai positive role model mampu mendorong siswa-siswanya untuk berpikir kreatif dan berhasil gemilang mencapai prestasi rata-rata tertinggi selama 3 tahun berturut-turut, di tahun 2003, 2006, dan 2009.
Bagaimana dengan Indonesia? Bisakah sistem pendidikan Indonesia terus mengabaikan pendidikan karakter? Sangat bisa. Dan hasilnya adalah sudah terlalu banyak kita mendapatkan lingkungan kehidupan yang tidak berkarakter dan terus menyisakan lautan persoalan yang mengindikasikan kelumpuhan sosial.
Indikatornya adalah apakah Anda sering melihat hak lansia untuk diberi duduk terabaikan di bis oleh anak-anak muda yang masih kuat berdiri? Apakah Anda sering melihat orang sulit mengantri dengan tertib dan saling sikut untuk cepat mendapat giliran?
Apakah Anda sering melihat tayangan kekerasan dimana hak-hak kaum minoritas diinjak-injak hak kemanusiaannya oleh kaum mayoritas atas nama sara dan agama?
Apakah Anda sering mendengar para tokoh pemerintah yang seharusnya jadi panutan saling mengejek dan saling menyalahkan di media massa? Apakah Anda sering mendengar kebohongan keluar dari mulut para tokoh masyarakat dan agama?
Apakah Anda sudah terbiasa melihat dan mengalami praktek korupsi adalah hal lumrah? Apakah Anda membiarkan anak Anda mencontek demi mendapat rangking bagus dan lulus ujian?
Jika jawabannya nyaris ya semua, maka apa yang Anda lihat adalah apa yang anak Anda juga lihat di lingkungan sekeliling Anda. Anak-anak akan merekam dalam memori jangka panjangnya bahwa bersikap egois, tidak peduli, mengejek, melakukan kekerasan, rakus, berbuat licik atau curang adalah hal lumrah yang mereka tiru dari para role model di lingkungan sekelilingnya.
Jangan sampai Anda mengalami sendiri mengalami kecelakaan di jalan dan orang-orang lalu lalang tidak ada yang menolong. Bagaimana ketika Anda dicopet di bis dan orang-orang mencari selamat berpura-pura tidak tahu?
Rasanya kita tidak rela membiarkan kehancuran peradaban tatanan moral kemanusiaan di Indonesia terus berlangsung di depan mata.
Kenyataan ini mendorong bahwa pendidikan karakter sudah harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional. Jika pihak Kemendiknas masih belum memahami betapa krusialnya pendidikan karakter sebagai pondasi keberhasilan siswa di masa depan, maka perkuatlah gerakan pendidikan karakter mulai dari rumah.
Sebaiknya orang tua memiliki kesadaran menjadi mitra guru di dalam memberikan dukungan moril contoh perilaku moral. Jangan hanya mengandalkan guru sebagai role model di dalam mengajarkan moral pada anak.
Sudah terlalu sering pihak guru sering disalahkan dimana mereka sendiri terpasung dalam buruknya sistem pendidikan nasional kita. Terlebih, guru anak Anda dapat silih berganti tetapi orang tua tetap sama bagi anak sepanjang hayat. Karenanya orang tua merupakan role model paling aktual yang mudah ditiru oleh anak.
Bagaimana cara mudah memahami karakter? Karakter bukanlah knowing, tetapi doing. Karakter adalah sifat-sifat perilaku sebagai ciri pembeda seseorang (Lickona, 1997).
Karakter merupakan bentuk perilaku yang dapat diamati, ditiru, dan dipraktekan. Karena itu karakter bukanlah takdir, melainkan dibentuk oleh lingkungan melalui proses belajar. Dimulai dari proses mengamati kemudian belajar meniru karakter positif melalui tingkah laku role model dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak perlu menjejali anak dengan hapalan nilai-nilai moral yang terlalu banyak seperti pada butir-butir Pancasila yang berjumlah 45 butir. Contohnya, ambil 6 karakter positif yang paling universal yang dapat dipraktekan, seperti honesty, trust, fair, respect, care, dan responsibility (Lumpkin, 2008 & Nodding, 1992).
Honesty atau kejujuran merupakan muara utama dari semua nilai karakter positif. Jujur berarti apa yang Anda ucapkan di depan sama dengan apa yang Anda lakukan di belakang tanpa perlu ada orang yang melihat. Orang yang jujur otomatis dapat dipercaya. Penuhi janji dan komitmen maka Anda akan dapat dipercaya siapa saja.
Fair adalah bagaimana Anda memperlakukan orang lain secara adil dengan memberikan kesempatan yang sama tanpa membedakan agama, suku atau golongan.
Jika Anda sudah mampu konsisten mempraktekan karakter positif honesty, trust, dan fair, maka dengan sendirinya Anda akan mudah mendapatkan respect dari orang lain.
Respect pada diri Anda juga akan tumbuh manakala Anda sudah mampu menghargai perbedaan yang dimiliki orang lain sehingga Anda tidak mudah terjebak menghakimi orang lain.
Care adalah peduli untuk tergerak menolong kesulitan orang lain tanpa pamrih. Karakter care sangat dekat dengan nilai kasih sayang, seperti bersabar, memaafkan, dan bersedia menunda kesenangan untuk berkorban demi orang lain.
Terakhir, responsibility adalah mampu menyelesaikan beban tanggung jawab sampai tuntas dan tidak meninggalkan beban kesulitan pada orang lain. Tahap selanjutnya, anak didorong belajar mempraktekan sendiri karakter positif yang dapat dilatih melalui teknik psikologi yang dinamakan habitual learning sampai karakter positif menjadi kebiasaan yang bersifat otomatis.
Untuk itu, mencapai pendidikan karakter yang bermutu tidak bisa dilepaskan dari peran role model di semua lapisan masyarakat sebagai kunci keberhasilan membangun sebuah lingkungan yang berkarakter positif.
Penelitian di bidang psikologi pendidikan di Amerika dan Eropa sejak tahun 1980-an sampai dengan sekarang membuktikan bahwa peran role model pada orang dewasa memiliki dampak yang jauh signifikan merubah perilaku anak dibandingkan metode pendidikan karakter itu sendiri.
Jika ditanya siapakah role model yang paling ideal? Maka jawabannya benahi tingkah laku Anda dahulu, karena suka atau tidak suka anak Anda adalah pengamat yang baik di dalam meniru perilaku Anda.
Mulailah dari rumah sebagai role model positif untuk melakukan gerakan sadar karakter positif pada anak. Sumbangan Anda yang konsisten sebagai role model positif di rumah akan memperkuat pondasi pendidikan karakter untuk menyelamatkan anak cucu kita dari runtuhnya peradaban tatanan moral di negeri ini.***

Editor:

Terkini

Terpopuler