Korupsi Pembangunan Ruang Pertemuan Hotel Kuansing

Jaksa Banding atas Putusan Terdakwa Mantan Kadis CKTR

Jaksa Banding atas Putusan Terdakwa Mantan Kadis CKTR

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Meski dinyatakan bersalah, namun tidak membuat Jaksa Penuntut Umum menerima begitu saja vonis 7 tahun penjara terhadap Fahruddin. Terkait hal itu, JPU mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru.

Fahruddin adalah salah satu terdakwa korupsi pembangunan ruang pertemuan Hotel Kuansing tahun anggaran 2015. Saat rasuah terjadi dia menjabat selaku Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing).

Dia telah dihadapkan ke persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru. Pada Jumat (27/8) kemarin, majelis hakim yang diketuai Irwan Irawan telah menjatuhkan vonis terhadapnya dengan pidana penjara selama 7 tahun. Dia juga diwajibkan membayar denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.


Selain Fahruddin, vonis juga dijatuhkan terhadap seorang terdakwa lainnya, yaitu, Alfion Hendra. Kepala Bidang (Kabid) Tata Bangunan dan Perumahan di Dinas CKTR tahun 2015 lalu sekaligus Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) pada proyek bermasalah tersebut dihukum lebih rendah, yakni 3 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.
 
Kedua terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 3 Undang-undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kendati dinyatakan bersalah, JPU tetap menolak putusan itu. Jaksa kemudian menyatakan banding. "Kita mengajukan upaya hukum banding atas putusan hakim tersebut," ujar Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kuansing, Hadiman, Minggu (5/9).

Menurut Hadiman, putusan majelis hakim lembaga peradilan tingkat pertama itu belum memenuhi tuntutan Jaksa yang menginginkan Fahruddin dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. 

Sementara Alfion Hendra dituntut hukuman 6,5 tahun penjara, dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara.

Oleh Jaksa, keduanya dinilai bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hal ini sebagaimana tertuang dakwaan primair JPU.

Selain itu, Jaksa juga tidak menerima penetapan besaran kerugian negara dalam putusan hakim sebesar Rp3,6 miliar. Karena menurut audit saksi ahli, kerugian negara mencapai Rp5,05 miliar. 

"Dua hal yang menjadi pertimbangan Jaksa mengajukan upaya hukum banding. Yakni, penerapan pasal serta perhitungan nilai kerugian negara dalam putusan hakim," terang Hadiman.

Dalam kasus ini sebenarnya Kejari Kuansing telah menetapkan Robert Tambunan selaku Direktur PT Betania Prima yang merupakan kontraktor ruang pertemuan Hotel Kuansing sebagai tersangka. Namun, Robert telah meninggal dunia, kendati Jaksa sempat meminta agar kerugian negara sebesar Rp5,05 miliar dibebankan kepada mendiang Robert.

Sebelumnya dalam dakwaan JPU disebutkan, kedua terdakwa dinilai telah melakukan atau menyuruh melakukan perbuatan melawan hukum. Kedua terdakwa juga dinilai memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

JPU memaparkan, perbuatan terdakwa merugikan negara Rp5.050.257.046,21. Kerugian itu diperoleh  berdasarkan hasil penghitungan Ahli Penghitung Kerugian Keuangan Negara dari Universitas Tadulako tahun 2020.

JPU menjelaskan, dugaan korupsi terjadi pada 2015. Ketika itu  Fahruddin selaku Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kuansing dan juga Pengguna Anggaran (PA) pada Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kuansing dan juga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam Kegiatan Pembangunan Ruang Pertemuan Hotel Kuansing.

Penunjukan Fahruddin berdasarkan keputusan Bupati Kuansing, H Sukarmis, dengan nomor Ktsp. 7/2015 tertanggal 2 Januari 2015. Untuk kegiatan pembangunan ruang pertemuan Hotel Kuansing, Fachruddin menunjukan Burhanuddin sebagai PPK. Adapun pagu anggaran sebesar Rp13.100.250.800.

Namun pada 27 Maret 2017, Fahruddin memecat Burhanuddin sebagai PPK. Selanjutnya  Fahruddin menunjuk dirinya sendiri sebagai PPK menggantikan Burhanuddin.

Selanjutnya, Fahruddin menunjuk Alfion Hendra sebagai PPTK pembangunan ruang Pertemuan Hotel Kuansing. Pada Juni  2015, Fahruddin  menetapkan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dalam Kegiatan Pembangunan Ruang Pertemuan Hotel Kuantan Singingi sebesar Rp13.099.786.000.

Atas hal itu, Fahruddin bersurat kepada Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) agar dilaksanakan proses lelang. Salah satu paket pekerjaan adalah pembangunan ruang pertemuan Hotel Kuansing. HPS  atas pekerjaan pembangunan ruang pertemuan Hotel Kuansing  ditetapkan dan ditandatangani oleh Fahruddin selaku PPK dengan nilai Rp13.099.786.673,36. Kemudian angka itu dibulatkan menjadi  Rp13.099.786.000.

JPU menyebut, dalam menyusun dan menetapkan HPS pembangunan ruang pertemuan Hotel Kuantan Singingi, Fahruddin tidak memisahkan kegiatan pengadaan barang berupa peralatan dan mesin dengan kegiatan pekerjaan konstruksi berupa gedung dan bangunan.

Untuk mengerjakan kegiatan itu, 19 Juni 1015, ditugaskan Pokja 21 ULP untuk laksanakan lelang. Ketuanya ditunjuk Alfion Hendra. Satu bulan kemudian, diumumkan pemenang lelang adalah PT Betania Prima yang dipimpin Robert Tambunan dengan harga negosiasi sebesar Rp12.593.428.000.

Masa kerja kegiatan adalah selama 133 hari kalender terhitung tanggal 21 Agustus 2015 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015. Dalam pekerjaannya, rekanan menyerahkan jaminan pelaksanaan Rp629 juta lebih. Selain itu, pada kegiatan ini terjadi keterlambatan pembayaran uang muka oleh PPTK, sehingga berdampak pada keterlambatan progres pekerjaan.

PT Betania Prima selaku rekanan juga tidak pernah berada di lokasi selama proses pengerjaan proyek tersebut. Mereka hanya datang saat pencairan pembayaran pekerjaan setiap terminnya, dalam hal ini dihadiri Direktur PT Betania Prima.

Hingga masa kontrak berakhir, pekerjaan tidak mampu diselesaikan rekanan. Rekanan hanya mampu menyelesaikan bobot pekerjaaan sebesar 43,898 persen dan total yang telah dibayarkan Rp5.263.454.700. Atas hal itu, PT Betania Prima dikenakan denda atas keterlambatan pekerjaan sebesar Rp352 juta. Namun,  PPTK tidak pernah menagih denda tersebut.

Tidak hanya itu, PPTK juga tidak melakukan klaim terhadap uang jaminan pelaksanaan kegiatan yang dititipkan PT Betania Prima di Bank Riau Kepri sebesar Rp629 juta. Mestinya, uang tersebut disetorkan ke kas daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuansing. 

Hal itu dikarenakan, sejak awal kegiatan, Kepala Dinas CKTR Kuansing selaku KPA tidak pernah membentuk tim Penilai Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP). Sehingga, tidak pernah melakukan serah terima terhadap hasil pekerjaan, dan saat ini hasil pekerjaan tersebut tidak jelas keberadaannya.

Dengan demikian, Hotel Kuansing itu belum bisa dimanfaatkan. Hasil perhitungan kerugian kerugian negara kerugian 5.050.257.046,21.(Dod)



Tags Korupsi